Kawan SMA, Meliput Ahmad Tohari
Hari itu, kawan semasa SMA saya datang berkunjung ke rumah. Ia mengabarkan ingin mampir barang sebentar karena kebetulan baru selesai meliput di dekat rumah. Saya mempersilakan mampir. Kayaknya sudah dua tahun kami tidak bertemu. Terakhir, kami sekeluarga yang datang berkunjung dan menginap di rumahnya, di Jogja.
Saya persilakan dia duduk di tikar di ruang tamu. Kami memang tidak memiliki sofa. Saya tanya, “Habis meliput siapa?” Saya langsung ke pokok pembicaraan karena memang sudah tahu bahwa dia bekerja di studio kreatif yang sering mengerjakan proyek-proyek lepas terkait video dokumenter ataupun video manten.
“Meliput Pak Ahmad Tohari. Ada proyek dari plat merah untuk mendokumentasikan tokoh-tokoh budaya dan sastra yang masih hidup.”
“Wah… tahu gitu saya ikut.”
“Iya, memang mendadak. Ini saja sudah mendekati deadline, jadi kami langsung balik ke Jogja, tidak bisa lama di sini.” Kawanku lalu meneguk sajian teh hangat dari kami.
Mata yang Enak Dipandang
Sejurus kemudian, kawanku bercerita tentang suasana rumah Pak Ahmad Tohari yang memang sangat ‘desa’, “Beliau membuka diri untuk menerima kami. Pembawaannya juga seperti kita ketemu orang tua di desa.”
Sejak saat itu, saya jadi lebih paham saat menikmati karya Ahmad Tohari. Hampir semua karyanya selalu bercerita tentang orang-orang desa. Termasuk buku kumpulan cerpennya yang diberi judul ‘Mata yang Enak Dipandang’.
Buku ini berisi lima belas cerpen yang kesemuanya bercerita tentang kisah subtil orang-orang desa.
Dalam salah satu cerpennya yang berjudul ‘Penipu yang Keempat’, Ahmad Tohari menganggit cerita dengan ide utama ‘menikmati seni menipu’. Alih-alih merasa tertipu, Aku, sang tokoh utama tak bernama, selalu senang jika bertemu dengan penipu yang menyinggahi rumahnya.
Jenis tipuannya pun tipuan ndeso seperti orang memelas karena kehabisan ongkos dan tidak bisa pulang ke rumah; hingga penipu berpakaian agamais berkedok meminta sumbangan untuk yayasan. Jenis tipuan yang jamak kita temui di desa-desa.
‘Aku’ selalu menempatkan diri sebagai korban tipu muslihat yang lugu agar si penipu semakin bergas saat berakting. Di sinilah, ‘Aku’ menikmati betul setiap kepura-puraan yang ditampilkan para penipu ini. Ia sebut sebagai ‘sajian istimewa’.
Warung Penajem dan Pengemis Buta
Atau kisah dalam cerpen yang berjudul Warung Penajem. Kisah entrepreneur desa yang ingin warungnya laris terus dengan cara-cara adat desa: pergi ke dukun penglaris! Kebiasaan ini ditampilkan biasa saja dilakukan oleh masyarakat di mana latar cerita ditampilkan. Namun, yang menjadi tidak biasa adalah apa imbalan yang diberikan kepada si Dukun.
Imbalan inilah yang kemudian menjadi desas desus sekampung, bahwa Jum, sang pemilik warung, rela mempersembahkan begituannya untuk si Dukun. Kontan desas desus ini membuat merah telinga Kartawi, suami Jum. Lalu berujung interogasi dan penghakiman di ruang keluarga.
Dalam cerita lainnya, Ahmad Tohari mencoba mengurai kisah yang mungkin terjadi dari sepasang pengemis buta dan penuntunnya. Jika kebanyakan kita menyangka bahwa mereka adalah sebuah tim kompak yang saling melengkapi: si buta sebagai pendulang iba, dan si petunjuk jalan yang tahu di mana calon donatur yang paling mudah dipancing perasaannya; maka Ahmad Tohari menyuguhkan kemungkinan cerita transaksional kekanak-kanakan atas keduanya.
Sebagai penerima imbalan sedekah dari donatur, jelas uang berada di tangan si buta. Si penuntun perlu cara-cara halus hingga tega agar uang itu juga dapat dinikmatinya. Kalau perlu, menyesatkan si buta di tempat yang ia tak berkutik selain harus meluluskan keinginan sang penuntun.
Kisah-kisah ini disampaikan dengan latar nuansa yang ndeso banget. Kita seperti diajak hidup di desa bersama tokoh-tokoh dalam cerita.
Bersahaja, Bernuansa Desa
Gaya Ahmad Tohari dalam menyusun cerpen-cerpennya di buku ini sederhana belaka. Tidak ada alur maju mundur dan gantungan kisah yang kemudian terangkai di penutup cerita seperti dalam karya-karya pencerita kikinian semacam Eka Kurniawan atau Leila S. Chudori. Juga tidak digunakan diksi-diksi romantis bercitarasa tinggi semacam karya yang dituliskan Aan Mansyur, atau yang generasi yang lebih senior semacam Moammar Emka.
Cara bercerita dan ide ceritanya sepadan dan serasi: bersahaja, apa adanya, dan bernuansa desa. Justru di sinilah saya dibuat kagum dengan karya penulis ini. Sebagai orang yang belajar membuat cerita yang baik, ternyata sebuah kisah dapat diantarkan dengan cara sederhana namun tetap berkesan selama ide yang diusung benar-benar unik. Tidak selalu harus dengan gaya bercerita level advance.
Ide-ide cerita dalam buku ini memang unik sekaligus dekat. Nyaris semua ceritanya pernah saya ‘saksikan’ saat di desa dulu. Bagaimana desas-desus jika ada salah satu anggota masyarakat di desa memiliki profesi tercela, kebiasaan serong bapak-bapak, hingga kebiasaan aneh salah satu warga yang berujung cap sebagai orang sinting.
Epilog: Robeknya Jiwa Paman Doblo
Sebagai penutup, ada satu kisah yang dengan apik diuluk penulisnya berjudul Paman Doblo Merobek Layang-Layang. Kisah ini bercerita tentang orang andalan desa yang menjadi pelindung dan penolong warga, khususnya anak-anak. Namanya Paman Doblo. Ia terkenal baik, rajin, dan berdedikasi.
Atas rekam jejaknya ini, Paman Doblo kemudian diangkat menjadi satpam perusahaan besar yang baru buka di desanya. Segala macam fasilitas dan gaji menyertai posisi barunya ini. Tentu dengan beragam ‘tuntutan’ dari si pemilik usaha untuk melindungi segenap properti perusahaan.
Di sinilah kemudian Paman Doblo berubah 180 derajat. Posisi dan segala fasilitasnya ini kemudian menjadikannya tidak lagi ramah terhadap warga dan anak-anak yang mengancam keamanan usaha tempat ia bekerja. Ujungnya, Paman Doblo tega merobek layang-layang anak desanya.
Peristiwa penyobekan layang-layang ini bukan lagi perkara pengrusakan mainan, namun menjadi pertanda robeknya jiwa penyayang Paman Doblo kepada anak-anak. Persis seperti oknum birokrat yang lupa akan asal usulnya di masyarakat yang harusnya melayani warga, alih-alih mengamankan kepentingan oligarki.
***
Bagi alumni orang-orang desa, cerita-cerita dalam buku ini akan mengingatkan kembali kenangan dan langgam gerak kejadian-kejadian di desa kita dulu.
Bagi orang kota, kisah di buku ini dapat menjadi ‘jendela apartemen’ untuk melongok sejenak agar lebih memahami apa yang biasa terjadi di luar tempat kita.
Buku ini tipis belaka. Ceritanya ringan namun menimbulkan kesan setelah membacanya. Cocok untuk dijadikan teman minum kopi mengisi waktu di rumah selama PPKM.
Identitas Buku
Judul buku: Mata yang Enak Dipandang – Kumpulan Cerpen
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2013
Cetakan: Ketiga – Januari 2019
Jumlah halaman: 216
Saya salah satu penikmat buku-buku Ahmad Tohari. Tapi, Ronggeng Dukuh Paruk, menurut saya masih yang terbaik.
Tulisan-tulisan sederhana Ahmad Tohari, bisa menjadi gambaran bagi kita, bagaimana menulis sederhana, mengemas apik hal-hal yang dekat dengan keseharian kita, tapi tetap dengan perspektif yang kaya.
Terima kasih, Bu Diyan telah mampir dan berkomentar.
Benar, karya yang paling kondang dari Ahmad Tohari memang Ronggeng Dukuh Paruk. Sampai-sampai dijadikan film. Termasuk sudah banyak yang mengulas tentang karya ciamik tersebuk.
Sengaja saya ulas karya-nya yang lain agar lebih menambah semarak khasanah karya-karya Ahmad Tohari. Harapannya agar makin banyak yang tertarik menikmati karya beliau.