Ketukan Tengah Malam: Pengabdian Seorang Dokter Gigi

by | Nov 17, 2022 | Perjalanan/Pengalaman | 1 comment

Ini adalah kisah tentang suatu malam yang paling menegangkan dalam hidup saya. Malam paling menegangkan itu, ternyata bukan hanya  malam pertama setelah walimahan. Bukan.  Tapi tentang sebuah panggilan menjelang jam dua belas tengah malam, beberapa tahun silam.

Saat itu saya baru merintis praktik sore, sebagai pekerjaan nyambi setelah selesai pekerjaan sebagai PNS yang baru diangkat di Tanah Mandar. Pak Suami mendampingi karena kami tinggal di daerah baru, sangat rawan pulang malam.

Dan karena belum mampu menggaji perawat, jadilah pak Suami menjalani tugas rangkap. Sebagai front office, sebagai asisten, juga jika sekali-sekali saya butuhkan,  sebagai teknisi dental unit. Pokoknya kami tandem paling kompak yang pernah ada di muka bumi. Dari urusan bantal sampai urusan dental.

Kabar tentang Pasien Perdarahan

Malam itu, di ruang seluas 2×2,5m yang sedianya hanya praktik sampai jam sepuluh malam, molor ke jam sebelas karena antrian calon bintara kepolisian yang akan mengikuti tes. Masih tersisa dua pasien saat seorang perempuan dengan nafas ngos-ngosan, mengenakan daster yang dibungkus jaket.

Tangannya memegang sapu tangan yang tak henti-hentinya diremas, melarutkan kecemasan dan kegelisahan.

“Maaf, saya mengganggu. Ada pasien perdarahan di Tonyamang,” ucapnya dengan wajah panik perempuan berusia sekitar 30-an awal. Tonyamang adalah satu desa di pesisir pantai.

“Di sini dokter gigi, Bu. Bukan bidan persalinan,” jawab pak Suami. Kata perdarahan memang identiknya dengan pasien persalinan.

“Iya, Bu? Lima menit lagi pasien yang sekarang selesai. Saya tinggal menuliskan resep. Mohon tunggu sebentar,” ucap saya sambil mengedipkan mata pada Pak Suami.

Maksudnya, pasien gigi juga mengalami perdarahan. Ini enaknya kalau yang jadi asisten suami sendiri, bisa main kedip mata, eh, maksudnya pakai bahasa tubuh, itu saja sudah cukup.

Lima menit kemudian, cerita meluncur dari ibu tersebut, yang saya ketahui kemudian bernama Bu Wati.

Sudah Sebaskom Darahnya

“Tadi pagi cabut gigi di Puskesmas Sarampu,” ucapnya.

“Tadi pagi saya tugas lapangan Bu. Saya ada di kegiatan Puskesmas keliling.”

“Iya, yang cabut bukan Dokter. Tapi tolonglah Dok. Perdarahannya makin banyak. Sudah sebaskom darahnya.”

“Baiklah. Saya siapkan alat dulu yah,”

Masih dengan bahasa tubuh, saya menatap suami saya dan pesan segera diterima. Ini kondisi darurat. Panik.

Pak suami menyampaikan kepada dua pasien yang tersisa agar datang kembali besok sore karena kami harus segera berangkat ke Tonyamang, pasien perdarahan dengan deskripsi ‘darah sebaskom’ membuat hati  kami berdua kecut. 

Bu Wati masih menunggu bersama seorang lelaki yang menunggu di atas motor.

Saya segera menyiapkan alat hecting, senter seperangkat alat diagnostic, dan obat anti perdarahan. Kami lalu mengikuti  Bu Wati sebagai navigator memasuki Desa Tonyamang.

Menjelang tengah malam begini, udara terasa semakin dingin dengan misi perjalanan yang tidak biasa, mengatasi pasien darurat dan orang-orang yang panik. Coba kalau ini boncengan berdua dengan tujuan nonton, lain cerita.

Motor Bu Wati mulai memasuki jalan desa tanpa lampu. Sunyi sekali. Bunyi jangkrik yang terdengar kencang, ditingkahi suara serangga malam yang lain. Sesekali suara burung hantu melintas, membuat buku kuduk berdiri. Saya memeluk erat pinggang Pak Suami.

Pemeran Utama

Tiba-tiba motor yang ditumpangi Bu Wati berhenti. Kiri kanan jalan tidak ada rumah. Yang ada hanya kebun pisang. Mengingat mimik pucat dan paniknya, tidak mungkin ibu ini berniat jahat.

Apanya juga sih yang mau ditodong. Saya dokter gigi baru, dengan penampilan sederhana yang sudah jadi bawaan, sama sekali tidak ada potongan untuk jadi sasaran rampok.

“Rumahnya di mana, Bu?”

“Kita lewat jalan motong Bu Dokter. Masuk lewat sini!”

Saya menggamit erat lengan suami, setelah memarkir motor di tepi jalan desa. Kami berdua memasuki jalan setapak di antara celah pohon pisang. Di sisi kanan, rumpun bambu menambah kesan horor. Sekitar lima puluh meter tampak cahaya lampu dari rumah panggung yang berderet di balik rimbun pohon pisang.

Tapi kelegaan karena adanya cahaya segera sirna, cahaya itu segera tertutup oleh banyak kepala yang berkerumun di teras rumah. Terlihat jelas dari bawah di mana kami berempat masih berjarak sepuluh meter.

Datangmi dokternya!”

“Iya, datangmi. Itu yang cabutki giginya Nur.”

Kasi jalan! Kasi jalan!

Mereka meminggir saat saya dan pak Suami menaiki tangga. Bu Wati memilih paling belakang. Sepertinya memang sayalah pemeran utama panggung malam ini.

Seperti Ancaman Pancung Kepala

Saya tersenyum memberi salam. Hening. Tak satupun membalas senyum saya. Saya mengedarkan pandangan menyapu seluruh yang hadir di teras itu. Tak satupun senyum yang menyambut saya.

Kaki saya yang sedari tadi dingin karena angin malam, semakin dingin karena ketegangan yang  melanda. Saya merasa terancam. Pak Suami yang berjalan di depan  tak sedetikpun melepas tangan saya.

“Nur di dalam Bu Dokter. Tidak bisa bangun lagi,” ucap seseorang di pintu. Hati saya tambah kecut.

Saya diantar ke ruangan paling dalam rumah itu. Melewati ruang tamu yang juga dipenuhi ibu-ibu. Ada sekitar sepuluh orang yang langsung heboh berbisik-bisik sambil melirik saya.

Saya setengah mati menahan rasa, mengingat perawat di puskesmas. Saya sangat menghormati beliau yang berusia jauh di atas saya.  Sangat baik dan terampil. Hanya satu, beliau tidak tahan jika pasien merengek meminta ditindaki sesuai maunya.

Jika pasien datang dengan niat mencabut, sekuat apapun kami petugas mengedukasi untuk mempertahankan gigi tersebut, tetap tidak akan pulang sebelum giginya dicabut. Untuk kebandelan pasien yang seperti ini, saya sudah punya trik menghadapinya.

Tapi berbeda dengan beliau, yang sangat percaya jika pasiennya menyampaikan bahwa tidak ada lagi rasa sakit yang diderita,  atau bahwa pasiennya sudah minum obat atau bahkan percaya saja jika  pasien yang menyangkal jika mereka menderita hipertensi atau diabetes yang menjadi kontraindikasi pencabutan gigi.

Rupanya pagi tadi, beliau terpedaya lagi oleh pasien. Sehingga terjadilah perdarahan sebaskom ini. Tapi sebagai penanggung jawab, saya tetap harus menghadapi ini, malam yang paling saya akan ingat dalam hidup saya. Rasanya saya seperti menghadapi ancaman pancung kepala.

Pak Suami di tahah di ruang tamu. Ngga boleh masuk. Saya melangkah masuk dengan gentar diiringi tatapan tidak rela Pak Suami.

Tiba di kamar Nur, terlihat dia berbaring di atas kasur yang dihampar di atas lantai papan. Dengan penerangan lampu yang hanya lima Watt, kamar terasa sangat suram. Juga lembab. Dia berbaring meringkuk. Saya menyapanya dan memintanya berbalik telentang.

Rambutnya lengket. Setengah wajahnya tampak bekas darah yang dihela sembarang. Sudah mengering sebahagian. Dia merintih pelan. Di sisi kepalanya nampaklah baskon yang berwarna gelap. Saya mengarahkan senter.

Saya menghela nafas. Segera memintanya membuka mulut yang menampakkan bekuan darah. Dia segera memuntahkan lagi ke dalam baksom. Mengambil air kumur dan berkumur lagi. Isi baskom bertambah.

“Tolong berikan saya air hangat dan handuk basah!” ucap saya pada ibu yang menemani saya ke dalam kamar Nur.

Saya melakukan pemeriksaan. Luka bekas pencabutan memang besar karena yang dicabut adalah gigi geraham, tapi masih dalam batas yang wajar. Setelah saya bersihkan, saya hecting dan memintanya menggigit tampon.

Dramatisasi dan Penutupan Luka

“Bu Nur, gigit tamponnya paling kurang sejam. Minum obat ini, dan tidak lagi berkumur seperti tadi. Setiap luka, di bagian tubuh mana saja, akan terbentuk bekuan darah. Itu proses alami tubuh untuk menutup luka.

Tapi jika Ibu Nur berkumur, bekuan darah  itu lepas lagi, lepas lagi. Akhirnya berdarah lagi dan lagi. Jika itu Bu Nur lakukan terus menerus, maka luka ini akan berdarah terus.“

“Ibu sudah minum obat dari Puskesmas tadi?”

“Tidak Bu, obatnya tadi jatuh di jalan, tercecer. Tapi Saya pikir biasa saja. Saya biasa kalau cabut gigi, ngga perlu minum obat. Ngga apa-apa.”

Bandel! Kesal saya jadinya. Tapi dalam hati.

Saya meminumkan obat, lalu membersihkan bekas darah di wajah dan rambutnya. Ini yang membuat kejadian tadi terdramatisir membuat heboh orang sekampung.

Setelah dibersihkan dan dirapikan, tampak wajahnya sudah lebih baik. Saya menghela nafas lega. Saya merasakan beberapa orang di pintu bergantian mengintip. Saya meminta Nur duduk. “Segarkan dirimu, Nur, agar saya selamat dari pandangan menuduh orang sekampung!”, ucap saya dalam hati.

Nur tersenyum dan saya memintanya bersalin baju. Ngga perlu saya bawa ke ruang tamu. Berita sehat dan segarnya Nur lebih cepat dari angin, tiba ke ruang tamu dan teras. Saya amat yakin itu.

Panggung yang Sebenarnya

Saya pamit ke ruang tamu. Yang berdiri di pintu segera menyerbu Nur. Tapi saya meminta mereka berkumpul di ruang tamu. Saatnya panggung yang sebenarnya dimulai.

“Ibu-Ibu dan Bapak-bapak, alhamdulillah bu Nur sudah baik. Dan perlu saya tegaskan, yang terjadi bukan perdarahan.”

“Tapi darahnya sebaskom, Bu Dokter,”

“Iya, na hampirmi itu pingsan, kasihan,”

Na loyo sekalimi karena banyaknya darah yang keluar,”

Saling berseru-seru  mereka berucap.

Saya menaikkan tangan meminta izin bicara.

“Darahnya banyak yang keluar karena Bu Nur berkumur terus menerus. Tidak mengikuti instruksi pasca pencabutan yang harus menggigit tampon. Tidak minum obat. Bahkan yang saya dengar dari bu Nur tadi, malah menyapu seluruh halaman sore tadi dan mengangkat galon. Bukan itu saja, Bu Nur berjalan kaki membeli tabung gas.”

“Ooo,…” seperti suara lebah dari belasan mulut di depan saya.

“Diperparah dengan kondisi sakit semalaman yang disembunyikan bu Nur pada petugas, membuat Bu Nur sangat kesakitan saat dicabut. Padahal cukuplah sakit semalaman yang membuat  Bu Nur ingin segera mencabut giginya. Tapi kalau dia jujur, bu Nur khawatir akan ditunda pencabutannya.

Makanya Bu Nur sembunyikan. Padahal menyembunyikan informasi penting ini bisa berakibat buruk pada ibu Nur sendiri. Sakit sekali saat dicabut adalah karena kondisi sedang meradang membuat proses cabutnya sangat sakit.”

“Ooo,….” kembali dengung lebah menggema.

“Jadi Bu, Pak, ada hal-hal yang harus diperhatikan sebelum dan sesudah pencabutan. Mohon diperhatikan demi kebaikan ibu dan Bapak sendiri. Jelas ya?”

Bukan hanya anggukan, namun senyum dan ucapan terimaksih mengiringi “pementasan” saya di tengah malam buta itu.

Kami pamit pulang dalam atmosfir yang jauh lebih bersahabat. Besok-besok, setiap kali saya ke Tonyamang, selalu ada pisang setandan, ikan segar, dan juga penja kering yang selalu menyertai saya pulang.

Pementasan itu tetap saya simpan dan tidak saya ceritakan pada teman-teman di Puskesmas. Biarlah angin yang menyampaikan. Yang jelas sejak itu saya seperti ibu kita Kartini, harum namanya.

2
0
Rahmi_C.Mangi ♥ Associate Writer

Rahmi_C.Mangi ♥ Associate Writer

Author

Rahmi_C.Mangi adalah nama pena dari Rahmi Aziz. Menekuni profesi sebagai Dokter Gigi sejak lulus dari FKG Universitas Hasanuddin sejak tahun 2001. Lahir di Sengkang tepat bersamaan dengan hari Proklamasi. Berinteraksi dengan pasien dan menulis menjadi healing baginya. Mendirikan komunitas BSB (Baca Shiroh Bareng) bersama suami dan kedua anaknya, dan aktif dalam kegiatan wakaf buku menjadi jalan bagi kecintaannya dalam dunia literasi. Saat ini berdomisili di Makassar dan aktif sebagai ASN di Rumah Sakit Kota Makassar. Karyanya dapat ditemui pada buku ”Beri Aku Cerita Yang Tak Biasa”, dan sedang menggarap buku “Sayur Lodeh, pernak-pernik Kehidupan Perempuan” bersama seorang penulis lainnya dan sedang menggarap buku solo Di Ujung Sewindu. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected]

1 Comment

  1. Avatar

    Bu Rahmi, ceritanya menengangkan, salama’ki mengabdi.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post