
Tahun 2025 menjadi penanda kembalinya proteksionisme ekonomi dalam wajah yang lebih tegas dan agresif. Amerika Serikat, melalui kebijakan tarif impor sepihak terhadap negara-negara dengan surplus dagang tinggi, memperlihatkan kembali egonya sebagai kekuatan ekonomi dunia.
Tiongkok dan Uni Eropa, dua mitra dagang utama,
menjadi sasaran utama. Dunia pun sontak kembali ke suasana ketegangan seperti era perang dagang 2018–2019. Namun kali ini, dampaknya terasa jauh lebih dalam dan sistemik.
Kebijakan tarif yang diberlakukan Washington sejatinya bukan kebijakan ekonomi biasa. Ia adalah ekspresi ego nasional yang berpijak pada asumsi bahwa dominasi ekonomi dapat dan harus dipertahankan, meski dengan mengorbankan keteraturan global.
Dalam sistem yang saling terhubung dan bergantung, langkah semacam ini bukan hanya menciptakan gangguan dalam hubungan dagang bilateral, tetapi juga melahirkan ketidakpastian dalam arsitektur ekonomi dunia secara keseluruhan.
Dampak Sistemik Ego Sepihak
Langkah sepihak Amerika telah menciptakan efek berantai. Dari naiknya harga barang konsumsi di pasar domestik AS, terganggunya rantai pasok internasional, hingga meningkatnya tensi geopolitik antara kekuatan besar dunia.
Negara-negara berkembang pun turut terkena imbasnya. Mereka kehilangan kepastian pasar, menghadapi volatilitas mata uang, dan terancam oleh arus modal keluar yang semakin deras. Satu kebijakan di Washington, ternyata bisa mengganggu perekonomian Jakarta, Lagos, hingga Buenos Aires.
Tiongkok merespons kebijakan ini dengan mempercepat strategi substitusi impor dan memperluas kerja sama ekonomi regional, khususnya melalui Belt and Road Initiative.
Upaya ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika dan membangun jejaring perdagangan baru yang lebih tahan guncangan. Sementara itu, Uni Eropa memperkuat diplomasi dagang melalui perjanjian lintas kawasan dan mendorong WTO untuk kembali berfungsi sebagai wasit yang adil dalam konflik perdagangan.
Namun dunia menyadari, kedua kekuatan ini tidak bisa bertindak sendirian. Ketika Amerika menggunakan tarif sebagai senjata ekonomi, ancaman yang dihadapi bukan sekadar soal ekspor atau neraca dagang, melainkan krisis kepercayaan terhadap sistem internasional itu sendiri.
Negara-negara yang selama ini menjadi penganut perdagangan bebas mulai ragu. Aturan yang telah dibangun berpuluh tahun terasa rapuh di hadapan ego unilateral Amerika.
Yang menyedihkan, semua ini terjadi saat dunia baru saja berusaha bangkit dari krisis beruntun: pandemi, gangguan logistik global, serta lonjakan inflasi akibat konflik energi.
Di saat dibutuhkan kepemimpinan kolektif untuk pemulihan bersama,
Amerika justru menarik diri dari semangat multilateral dan bertindak berdasarkan logika kekuasaan. Dunia yang berharap pada stabilitas, justru disodori ketidakpastian baru oleh negara yang seharusnya menjadi jangkar keteraturan global.
Padahal, sejarah telah mengajarkan bahwa proteksionisme ekstrem selalu berakhir buruk. Krisis ekonomi 1930-an membuktikan bahwa menutup diri dan mengedepankan ego nasional hanya akan memperdalam resesi global.
Bahkan di masa modern, perang dagang yang pernah digagas oleh AS terhadap Tiongkok terbukti merugikan kedua belah pihak—dan lebih luas lagi, menekan pertumbuhan ekonomi dunia.
Dalam kondisi ini, muncul kebutuhan mendesak bagi dunia untuk tidak lagi bergantung pada satu pusat kekuatan. Dunia membutuhkan poros ekonomi yang lebih berimbang, jaringan kerja sama yang lebih inklusif, serta forum internasional yang benar-benar efektif menengahi konflik.
WTO harus direformasi, G20 perlu lebih responsif, dan perjanjian lintas kawasan harus diperkuat sebagai penyangga dari setiap guncangan sepihak.
Membayangkan Tatanan Ekonomi yang Lebih Seimbang
Ego Amerika mungkin mampu mengguncang peta perdagangan global dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, langkah sepihak semacam itu justru membuka peluang bagi kekuatan lain untuk tampil sebagai pemimpin dalam format yang berbeda—lebih setara, kolaboratif, dan menjunjung tinggi prinsip saling ketergantungan.
Kini saatnya negara-negara seperti Tiongkok, Jerman, Brasil, India, bahkan Indonesia, mengambil peran lebih aktif dalam membentuk arah baru globalisasi yang lebih adil.
Dampak kebijakan tarif ini tidak semata tercermin dalam angka-angka makroekonomi. Ia menjalar hingga ke kehidupan sehari-hari masyarakat global: harga barang kebutuhan meningkat, investasi tertunda, dan lapangan kerja terganggu.
Industri kecil yang sangat bergantung pada bahan baku atau pasar luar negeri pun terkena imbas, harus menanggung beban dari kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan mereka. Ini adalah wajah nyata dari ego ekonomi yang menafikan proses konsultatif global.
Pemerintah di seluruh dunia harus lebih waspada dan cermat. Ketergantungan yang terlalu besar pada satu pasar, apalagi yang mulai menutup diri terhadap keterbukaan, bisa menjadi titik rapuh dalam sistem perekonomian nasional.
Negara-negara berkembang perlu memperkuat pasar dalam negeri, membangun jalur perdagangan alternatif, serta berinvestasi pada inovasi dan daya saing industri mereka sendiri. Ketahanan ekonomi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan di tengah disrupsi kebijakan global.
Tak kalah penting, masyarakat sipil dan sektor swasta harus turut bersuara. Saat ego negara besar menggoyang stabilitas, kekuatan kolaboratif harus tumbuh dari akar rumput. Dunia usaha mesti mempererat aliansi lintas negara, memperjuangkan keterbukaan pasar, dan menghindari polarisasi.
Di era ekonomi digital dan jejaring lintas batas, solidaritas antar korporasi dan konsumen bisa menjadi kekuatan penyeimbang yang penting dalam menghadapi ego kebijakan negara.
Epilog: Melangkah dari Dominasi ke Kolaborasi
Dunia tidak bisa membiarkan satu negara menjadi arsitek tunggal bagi sistem global. Sudah saatnya kekuasaan ekonomi dunia lebih tersebar dan berbasis pada kolaborasi, bukan dominasi.
Ini bukan tentang melemahkan Amerika, tetapi tentang menyelamatkan dunia dari satu pusat kebijakan yang kian tidak akuntabel. Dalam dunia yang saling terhubung, kekuasaan sepihak bukan solusi, melainkan ancaman.
Kita sedang menyaksikan transformasi penting dalam sejarah ekonomi global.
Jika ego Amerika terus dibiarkan tak tertandingi, maka kerusakan
terhadap stabilitas ekonomi dunia bisa menjadi permanen. Tetapi jika dunia bersatu
membangun sistem baru yang lebih adil dan tangguh, maka dari krisis ini bisa lahir kebangkitan baru: tatanan ekonomi global yang lebih seimbang dan berkelanjutan.
Dalam suasana itulah, kita perlu mengingat: ketika ego satu negara mengguncang dunia, hanya kolaborasi banyak bangsa yang bisa menahannya. Karena dalam ekonomi global, satu keputusan sepihak bukan hanya soal kekuasaan—melainkan ujian atas kedewasaan kolektif umat manusia dalam membangun masa depan bersama.
0 Comments