Ketika Badan Dunia Tersandera Amerika

by | Sep 3, 2025 | Birokrasi Berdaya, Politik | 0 comments

Amerika Serikat (AS) sejak lama dikenal sebagai donor utama badan-badan dunia. Menurut laporan Council on Foreign Relations pada 2023, AS menyumbang hampir US$13 miliar ke berbagai lembaga PBB. Jumlah yang cukup fantastis, senilai lebih dari seperempat total anggaran kolektif organisasi itu.

Setahun berikutnya, Washington menanggung sekitar 22% anggaran reguler PBB dan 27% biaya operasi perdamaian, angka yang jauh melampaui kontribusi negara lain. Dengan bobot finansial sebesar itu, wajar jika setiap ancaman pemotongan dana dari Washington membuat banyak lembaga PBB goyah.

Sayangnya, keistimewaan ini jarang digunakan untuk memperkuat multilateralisme. Sebaliknya, dana kerap dijadikan alat politik untuk memastikan lembaga internasional tunduk pada agenda AS. Dan dalam hampir semua kasus yang menyangkut konflik Israel–Palestina, pola ini berulang dimana Israel dilindungi, sementara Palestina dihukum.

Palestina dan UNESCO

Kasus paling gamblang terjadi di UNESCO. Pada 2011, lembaga kebudayaan PBB ini menerima Palestina sebagai anggota penuh. Sebagai respon, Washington langsung menghentikan 22% kontribusinya atau sekitar US$60 juta yang seharusnya jatuh tempo saat itu.

Seperti dicatat The Guardian, keputusan ini diambil sesuai undang-undang domestik AS yang melarang pendanaan terhadap badan PBB yang menerima Palestina sebagai anggota penuh. Pejabat Washington menyebut langkah UNESCO “prematur” dan “merugikan perdamaian.”

Tindakan tersebut tentu saja meningkatkan sinisme rakyat Palestina terhadap kredibilitas AS sebagai mediator netral. Sementara ketika Donald Trump berkuasa, pola yang digunakan AS semakin keras.

Pada 2017 misalnya, AS kembali keluar dari UNESCO
dengan alasan lembaga itu “anti-Israel” setelah mengakui Palestina. Untungnya, UNESCO tidak tumbang. Negara-negara lain menutup celah anggaran, meskipun hingga saat ini ketergantungan UNESCO pada AS masih di angka sekitar 8%.

Syukurnya, dunia tetap bergerak, meskipun dengan catatan sejarah yang jelas dimana setiap kali Palestina memperoleh sedikit legitimasi, AS memilih bertindak melindungi sekutu utamanya.

ICC dan Siniesme Hukum Internasional

Standar ganda paling telanjang terlihat di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Lembaga ini berwenang menyelidiki kejahatan perang, termasuk yang terjadi di Gaza. Tetapi begitu ICC menyentuh Israel, AS bereaksi keras.

Yang terbaru, setelah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Netanyahu, pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi pribadi pada empat hakim ICC. Menteri Luar Negeri AS menyebut langkah ICC sebagai “tindakan tidak sah dan tak berdasar” yang menarget “Amerika atau sekutu dekat kita, Israel,” menurut laporan Reuters.

Kontrasnya mencolok. Ketika ICC mengeluarkan surat perintah terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin terkait invasi Ukraina, Washington menyambut dan mendukung penuh.

Tetapi ketika giliran Israel yang diperiksa atas dugaan kejahatan perang terhadap warga sipil Palestina, Washington melumpuhkan lembaganya. Hukum internasional, rupanya, berlaku hanya bila menguntungkan AS dan sekutunya.

Dewan Keamanan PBB dan Veto untuk Israel

Di ranah diplomasi, pola ini bahkan lebih terang. Hak veto AS di Dewan Keamanan rutin dipakai untuk melindungi Israel. Pada April 2024 misalnya, 12 dari 15 anggota dewan mendukung rancangan resolusi yang merekomendasikan Palestina sebagai anggota penuh PBB. Namun, resolusi itu gugur seketika karena veto tunggal AS.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengecam langkah itu sebagai “tidak adil, tak etis, dan tak beralasan,” tulis Reuters. Hal yang sama terjadi pada akhir 2023, ketika AS memveto resolusi gencatan senjata kemanusiaan di Gaza.

Organisasi kemanusiaan seperti Médecins Sans Frontières melihat veto tersebut sebagai bentuk pengabaian keras terhadap penderitaan sipil, sebagaimana dikutip Al Jazeera.

Dunia pun melihat betapa absurd situasi. Suara mayoritas internasional bisa ditumbangkan hanya karena satu negara donor terbesar memilih demikian.

UNHRC, WHO, dan UNRWA

Selain tiga contoh besar itu, banyak lembaga lain jadi korban politik pendanaan AS. Sebut saja misalnya:

  • UNHRC (Dewan HAM PBB) pernah ditinggalkan AS dengan alasan bias terhadap Israel.
  • WHO sempat diancam ditinggalkan pada masa Trump, menunjukkan pola bahwa dana kerap dijadikan senjata politik, meski isu yang dipakai berbeda.
  • UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, mungkin merupakan korban yang paling tragis. Sebelum 2018, AS menanggung sekitar sepertiga anggaran UNRWA. Namun pemerintahan Trump memutus pendanaan itu sepenuhnya, memaksa layanan kesehatan dan pendidikan bagi jutaan pengungsi dipangkas drastis.

Di eranya, Biden sempat mengembalikan dana. Tetapi pada 2024 Washington kembali membekukannya dengan alasan tuduhan infiltrasi Hamas. Keputusan tersebut membuat UNRWA terancam lumpuh. Padahal bagi jutaan warga Palestina di kamp pengungsian, badan ini adalah urat nadi kehidupan sehari-hari.

Dana untuk Israel

Kebijakan kontras AS begitu mencolok. Untuk Palestina di satu sisi adalah pemotongan. Sementara untuk Israel di sisi lainnya adalah suntikan. Sejak 1948, Israel telah menerima sekitar US$310 miliar bantuan AS, sebagian besar berbentuk bantuan militer.

Bahkan, saat ini Washington menjamin US$3,8 miliar per tahun bantuan militer, ditambah paket ekstra seperti US$12,5 miliar setelah pecahnya perang Gaza 2023, menurut data CFR. Dengan kata lain, PBB dipaksa kelaparan karena mengakui Palestina, sementara Israel tetap kenyang menerima cek segar.

Sungguh standar ganda yang memprihatinkan.
Bagaimana mungkin Palestina akan mempercayai Washington sebagai penengah perdamaian, apabila setiap langkah kecil menuju legitimasi internasional
langsung dibalas dengan hukuman?

Standar ganda ini juga merusak legitimasi lembaga internasional itu sendiri.

Jika hukum internasional bisa diabaikan demi Israel, mengapa negara lain harus patuh?

Jika satu veto AS bisa membatalkan suara mayoritas dunia, apa gunanya Dewan Keamanan?

Multilateralisme akhirnya terlihat sebagai retorika kosong semata. 

Masihkan Ada Harapan?

Dominasi finansial Amerika atas badan-badan PBB memberi keuntungan besar bagi Israel. Perlindungan diplomatik, kekebalan hukum internasional, dan hukuman finansial terhadap Palestina.

Namun, dominasi itu juga memperlihatkan muka dua Amerika, yang mengaku menjunjung hukum internasional, tapi hanya bila tidak melibatkan Israel. Karena itu, mungkin sudah saatnya dunia belajar bahwa multilateralisme sejati tak bisa bergantung pada kemurahan hati satu negara donor.

Jika badan-badan dunia ingin berwibawa, mereka harus berani mandiri, agar hukum internasional tidak lagi tunduk pada cek yang dikeluarkan Washington. Bisakah Indonesia memelopori demi terwujudnya cita-cita suci kemerdekaan bangsa?

0
0
Agus Sulistiyo ◆ Professional Writer

Agus Sulistiyo ◆ Professional Writer

Author

adalah seorang analis kinerja organisasi di salah satu Instansi Pusat. Saat ini ia tengah memperdalam pengetahuan dan keahliannya sebagai kandidat Doktor Administrasi Bisnis di Abu Dhabi University, UAE, dengan dukungan beasiswa LPDP.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post