Untuk kesekian kalinya, pemerintah mengeluarkan kebijakan di sektor pendidikan berupa pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di masa pandemic, yang diatur melalui SKB 4 Menteri; Mendikbud, Menteri Agama, Menkes dan Mendagri.
Diturunkannya level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) suatu daerah, dari level 4 ke level 3 bahkan 2, memberi ruang beberapa daerah bersiap-siap melaksanakan PTM terbatas ini.
Seperti beberapa daerah lainnya, terhitung mulai Senin 30 Agustus 2021, sebanyak 610 sekolah di DKI Jakarta dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK telah melakukan PTM terbatas. Sebuah keputusan yang paling ditunggu oleh sebagian besar masyarakat. Memang adalah suatu pilihan yang sulit ketika PTM dilakukan di tengah berbagai pertimbangan kesehatan dan keselamatan anak.
Sebaliknya, tidak sedikit masyarakat yang sudah jenuh dengan pembelajaran daring. Siswa mengeluh tidak maksimal dalam belajar, metode kurang bervariasi, dan banyak materi yang sulit dipahami. Sementara itu, orang tua juga mengeluh tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mendampingi semua materi belajar dari rumah (BDR).
Efektifitas Belajar Dari Rumah (BDR)
Tidak ada pilihan. Ketika masyarakat dihadapkan pada terjadinya perubahan cara belajar, mau tidak mau semua harus melakukan perubahan besar memindahkan belajar di depan kelas menjadi belajar daring. Semua serba dituntut: bagaimana kesiapan pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, praktisi, dan stakeholder berpikir agar belajar tetap berjalan maksimal dengan PJJ.
Intinya, banyak dari kita yang tidak siap menerima perubahan cara belajar ini, meski karena kondisi. Namun bagaimanapun, keinginan dan niat kita sangat besar dalam melakukan perubahan tersebut.
Diskusi Forum Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Puslitjak Kemdikbud dengan Disdik dan beberapa kepsek secara offline terbatas dan virtual, tentang Kesiapan PTM, membahas beberapa poin. Di antaranya tentang efek BDR yang berkepanjangan. Selain menimbulkan kejenuhan, juga sulit membina karakter siswa.
Siswa cenderung lebih banyak bermain dan abai, sedangkan orang tua dan sekolah tidak dapat memantau. Kegiatan belajar dilakukan secara daring, sehingga pendidikan karakter selama masa pandemi rasanya terabaikan.
Hal ini yang diterangkan Kepala SMAN 1 Kota Serang bahwa ketika BDR yang berkepanjangan, akan sulit membina karakter siswa. “Siswa pun mengeluh dan merasa tidak puas dengan pembelajaran daring, karena berbagai kendala baik dari insfratruktur maupun SDM”.
Kepala SMAN 1 Purwakarta menyatakan banyak orang tua tidak mampu membagi waktu untuk mendampingi anak belajar. Anak tidak terpantau ketika melakukan kegiatan baik di dalam maupun di luar rumah.
“Siswa sudah mulai jenuh, bahkan para orang tua bertanya-tanya – kapan belajar tatap muka? Dan, ketika sekolah melakukan BDR, banyak anak-anak yang tidak mengikuti atau malah main. Sekolah tidak bisa memantau – kedua orang tuanya bekerja. ‘Malah’ bebas.”
Faktor ekonomi juga dinilai menjadi kendala dengan terbatasnya kepemilikan alat komunikasi/HP, kuota internet, dan lain-lain. Bahkan, HP pun digunakan bersama oleh siswa dan orang tuanya untuk bekerja.
Orang Tua Belum Memberi Izin
Meski pemerintah mulai membuka PTM terbatas di beberapa daerah, belum tentu serta merta disikapi pofitif oleh orang tua. Keselamatan dan kesehatam masih menjadi kunci mengapa banyak orang tua siswa yang masih cemas untuk PTM dalam kondisi pandemi.
Kepala SMA Islam Al-Azhar 1 Kebayoran Jakarta mengatakan bahwa kekhawatiran orang tua masih tinggi dengan kasus Covid ini. “Secara over all, proses pembelajaran daring sudah menjadi model atau style pembelajaran yang sudah dinikmati baik guru maupun siswa di sekolah. Diakui pula, meski tingkat kekhawatiran orang tua di sekolah masih tinggi, jika dari siswa pasti ada kejenuhan dalam BDR.”
Hal serupa disampaikan Kepala SMAN 26 Tebet Jakarta Selatan, “Salah satu kendala menggelar PTM adalah izin dari orang tua”. Kepala SMAN 68 Jakarta menanggapi bahwa PTM terbatas tidaklah wajib.
Dengan kata lain, kebijakan ditinjau kembali dengan melihat kondisi pandemi. Melihat beberapa kasus tentang BDR yang menjenuhkan, sekolah lebih mengutamakan keselamatan, keamanan, serta kenyaman seluruh warga sekolah
Kepala SMA Stella Maris Tangerang Selatan menilai, sebenarnya kejenuhan dan kebosanan siswa masih dapat disiasati, tergantung kepada masing-masing siswa menyikapinya. PJJ pasti ada plus minusnya, karena PJJ karena memang tidak ada pilihan.
“Hanya seperti apa bentuk PJJ harus mulai dibiasakan dan dikembangkan oleh sekolah untuk menghilangkan kebosanan itu. Weakness harus bisa kita jadikan strength, seperti memanfaatkan teknologi misalnya,” jelas Kepsek.
Sebagai alternatif, SMAN 8 Jakarta menerapkan jika ada orang tua yang mengizinkan anaknya ke sekolah pastinya akan dilayani. Sebaliknya, bagi anak yang tidak diizinkan, dilayani secara daring.
Rita Hastuti menjelaskan “Hal ini dimaklumi, karena ketika pembukaan sekolah masih banyak pertimbangan, selain izin orang tua, juga menunggu izin Pemprov melalui dinas pendidikan”.
Strategi Sekolah
Untuk jenjang SMP dan SMA/sederajat, pastinya siswa sudah dianggap mengerti, paham belajar dengan prokes. Hanya saja, rentang waktu kepulangan dari sekolah ke rumah yang harus dikontrol oleh sekolah dan orang tua. Kontrol ini akan lebih sulit dilakukan kepada siswa SD/sederajat, sehingga perlu kerja ekstra dari sekolah, guru, orang tua, dan lingkungan.
Rumitnya lebih dirasakan oleh sekolah kejuruan yang siswanya harus praktik idustri. “Pelaksanaan prokes yang ketat di sekolah dan luar sekolah harus menjadi komitmen semua pihak khususnya orang tua. Artinya pemantauan di luar sekolah harus menjadi bagian orang tua,” jelas Kepala SMKN 9 Bandung.
Berlokasi di daerah, SMA Unggul DEL Toba Samosir juga termasuk salah satu SMA yang sangat ketat menerapkan prokes. Berbagai hal dipersiapkan terkait dengan kelengkapan fasilitas masa kebiasaan baru, baik SOP dan protokol.
Berkaitan dengan domisili siswa yang sangat beragam (berasal dari beberapa lokasi yang berbeda) telah disiapkan skenario yang cukup ketat, memperhatikan zona daerah asal siswa. Sebelum masuk karantina 14 hari, dengan rapid tes sebanyak dua kali pada hari ke-7.
Sekolah juga sudah menyiapkan antisipasi jika terdapat orang tua yang tidak mengizinkan anak, untuk kembali mengikuti pembelajaran tatap muka, dengan alasan keselamatan dan kesehatan.
Persiapan Teknis
Kita tidak pernah tahu kapan pandemi akan berakhir. Di sisi lain PTM, cepat atau lambat, perlu segera diberlakukan. Terkait PTM, pastinya sekolah gencar menyiapkan segalanya, terlebih setelah pemerintah membolehkan penggunaan dana BOS sebagai alokasi penanganan dan pencegahan pandemi di sekolah.
Bupati/Walikota dan Gubernur, satgas, sekolah, dan masyarakat juga harus menyadari risiko dan merencanakan antisipasi bagaimana seandainya terjadi lonjakan kasus setelah PTM diberlakukan. Sarana kesehatan, baik rumah sakit dan puskemas, perlu dipersiapkan. Namun tak lupa, pendekatan preventif lebih utama daripada kuratif.
Vaksinasi memang berperan penting dalam pengendalian pandemi. Namun, kedisiplinan masyarakat menjaga prokes tidak kalah penting guna menekan laju covid-19. Begitupun di lingkungan sekolah. Beberapa hal yang menjadi persiapan wajib sebelum PTM, yaitu:
- Menjaga jarak tempat duduk
- Durasi waktu belajar yang terbatas
- Guru yang telah divaksin
- Ketersediaan sarana sanitasi
- Kebersihan dan kelayakan toilet
- Tempat cuci tangan lengkap dengan sabun di air mengalir
- hand sanitizer dan semprotan rutin disinfektan
- Akses fasilitas pelayanan kesehatan
- Kesiapan menerapkan wajib masker
- Thermogun yang berfungsi baik
- Informasi riwayat kesehatan, perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko Covid-19, atau riwayat kontak dengan orang yang terpapar Covid-19 dari siswa dan guru
- Persetujuan dari komite sekolah atau perwakilan orang tua atau wali
- Peringatan berkala tentang pentingnya 5 M (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, membatasi mobilisasi dan interaksi)
Epilog: Blended Learning
Berkaca kondisi saat ini, pergerakan dan interaksi manusia pada dasarnya bisa dilakukan selama mematuhi protokol kesehatan, serta melihat karakter dari implementasi tatap muka berdasarkan jenjang.
Beberapa sekolah giat bersiap melakukan pembelajaran blended learning. Artinya, dilakukan penggabungan pembelajaran tatap-muka dan virtual, dengan melihat mata pelajaran mana yang dapat dilakukan secara jarak jauh dan mana yang tidak. Hal ini juga akan membantu siswa dalam menghadapi adaptasi perubahan cara belajar.
Sebagai penutup, tabel berikut merangkum hasil tanya jawab tentang kesiapan sekolah menjelang PTM di berbagai daerah. Semoga menjadi bahan referensi yang bermanfaat bagi pembaca.
No. | Sekolah | Persiapan PTM |
1 | Margarice Ratu, S.Pd. Kepala SMPN 1 Kota Kupang | Meski sekolah siap 80%, namum belum PTM karena Kupang masih Level 4. Sekolah juga rusak berat akibat badai Seroja bulan April lalu, dan belum ada penanganan dari Dinas. |
2 | Khoirul Anwar, Kepala SMAN 1 Kota Surabaya | Telah dilaksanakan survei kepada orang tua, menindaklanjutinya dengan simulasi PTM 2 minggu (1 kelas diisi 5-7 siswa), menyusun SOP Simulasi, dan uji coba aplikasi berfungsi ganda (PTM sekaligus PJJ). Pengajaran guru di kelas dapat diikuti langsung oleh siswa dari rumah. |
3 | Dra. Sri Sariwarni, M.Pd. Kepala SMAN 26 Jakarta | Sekolah belum melakukan PTM terbatas, dimungkinkan pada gelombang kedua. Saat ini DKI, jenjang SMA negeri, hanya dua sekolah, yaitu SMAN 77 dan SMAN 46. Banyak yang harus dipersiapkan. |
4 | Arini Desianti Parawi, M.Pd. Kepala SMA Unggul DEL, Toba Samosir | Sebagai sekolah berasrama, dilakukan lockdown total saat siswa kembali ke lingkungan sekolah dan asrama untuk mengurangi potensi interaksi dengan eksternal. Juga ada pembatasan kegiatan ekskul yang bersifat mengumpulkan massa: olahraga dan seni. Kegiatan pembimbingan olimpiade, jurnalistik, penelitian tetap akan berjalan dengan menjalankan berbagai prokes yang ketat. |
5 | Drs. Syamsuddin, M.Pd. Kepala SMA Islam Al-Azhar 1, Kebayoran Baru, Jakarta | Pertimbangan sekolah akan PTM setelah Menteri dan Gubernur memberika izin, ada izin dari orang tua, serta pertimbangan teknis 1 ruangan hanya diisi 50% dari jumlah rombel. |
6. | Caecilia Yenny Aries P,S.E., M.Pd, Kepala SMA Stella Maris Gading Serpong -BSD, Tangsel | Yayasan menyiapkan Satgas Covid-19 sekolah dan kebutuhan sarana kesehatan. Sekolah menanyakan kesiapan masing-masing unit, koordinasi dengan Disdik, dan menyurvei orang tua mengenai kesanggupan siswa masuk sekolah dengan prokes. |
7. | Ignatius Abadi, Kepala SMA Katolik Santo Albertus Kota Malang | Meski sekolah belum memutuskan PTM, kebijakan bersifat fleksibel. Saat kondisi tidak memungkinkan, PTM ditangguhkan. Perencanaan dibuat jauh hari agar orang tua mempunyai waktu untuk mempersiapkan. PTM dilakukan atas petunjuk pengawas sekolah dan Disdik provinsi. Uji coba (jika situasi memungkinkan), membatasi jumlah siswa hanya 7-10% dari total siswa. |
8. | Dr. Anne Sukmawati, KD., M.Pd., Kepala SMKN 9 Kota Bandung | Persiapan PTM terbatas, menggunakan LMS dengan synchronous dan asynchronous serta modul-modul & buku referensi berbagai sumber. Persiapan yang sering terlupakan adalah bagaimana media pembelajaran yang interaktif serta strategi berkonsep blended learning. |
Peneliti Muda pada Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud
Gedung E Lt.19, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
Telp/WA: 081519986789
Email: [email protected]
dibarengi dengan vaksinasi pelajar dan mahasiswa.