Prolog
Artikel ini merupakan resensi dari buku “Kepunahan Keenam: Sebuah Sejarah Tak Alami” yang ditulis oleh Elizabeth Kolbert dan diterjemahkan oleh Zia Anshor. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2020.
Saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (www.detik.com,9/2/2022) mengatakan bahwa perubahan iklim merupakan (potensi) bencana yang tidak kalah berbahaya dibanding wabah Omicron, Pak Menko sesungguhnya langsung maupun tidak langsung sedang mengamini perspektif yang dibangun Elizabeth Kolbert tentang kepunahan keenam.
Peraih Penghargaan Pulitzer
Kolbert menuangkan gagasan tentang kepunahan keenam itu dalam The Sixth Extinction: An Unnatural History (diterjemahkan menjadi Kepunahan Keenam: Sebuah Sejarah Tak Alami).
Kalaupun ada yang kurang dari pernyataan tersebut bisa jadi adalah kesadaran bahwa sangat mungkin Omicron, Covid-19, dan perangai penyakit zoonosis lainnya terjadi di antaranya karena kegagalan manusia menjaga keseimbangan alam. Kegagalan tersebut berakar dari kerakusan dalam mengelola ruang demi kepentingan sesaat.
Di banyak sudut bumi, ruang-ruang alami hilang atau koyak karena kepentingan industrial, hutan habis dirambah, hingga hewan liar punah.
Akibatnya, alam memberi hukuman dalam bentuk transmisi penyakit yang semula mengendap di hewan-hewan buas itu ke manusia. Sayangnya, kesadaran ini mungkin masih menjadi kesadaran dan pernyataan eksplisit dalam buku The Sixth Extinction.
Buku ini mengantarkan Kolbert memenangi penghargaan Pulitzer tahun 2015 untuk kategori Non-Fiksi Umum. Award yang dimulai dari tahun 1971 itu hingga kini dianggap sebagai puncak penghargaan jurnalisme dan seni di Amerika Serikat.
Menyusuri lembar demi lembar buku ini, pembaca akan mafhum dan memaklumi kelayakan penghargaan tersebut. Tak heran pula, buku ini diterjemahkan ke berbagai bahasa karena antusiasme pembacanya. Hingga saat ini, untuk versi terjemahan Bahasa Indonesia, kita mungkin masih akan akan menemuinya di rak buku terlaris toko-toko buku.
Kepunahan dunia dan indikasinya
Cerita tentang lima kepunahan dan satu prediksi kepunahan lainnya pada dasarnya bukan sesuatu yang sama sekali baru. Saat Kolbert menulis tentang punahnya katak emas di El Valle de Anton, Panama, pada bagian pembuka buku ini, ia sebenarnya sedang membangun narasi lima kepunahan tersebut.
Kolbert tidak menjadikan lima kepunahan itu menjadi bab-bab yang berurutan. Di bagian akhir buku, pembaca mungkin baru sadar sepenuhnya bagaimana lima kepunahan lebih banyak berdasar pada temuan fosil dan kepunahan keenam sebagai bentuk dan akibat kesalahan homo sapiens.
Kolbert menggambarkan betapa dunia akan menghadapi kepunahan keenam berdasarkan berbagai indikasi yang didapatnya dari laporan jurnalistik dan panduan literatur. Laporan itu disusunnya di berbagai wilayah, mengikuti berbagai ahli biologi, lingkungan, iklim, dan ahli lainnya dalam melakukan penelitian mendalam.
Dalam perjalanannya, dia menemukan berbagai masalah lingkungan sebagai akibat langsung dari kerakusan manusia, mulai dari tingginya pengasaman alami di lepas pantai Italia, nasib mengenaskan karang di Great Barrier Reef, kondisi hutan tropis di Peru dan Indonesia, hancurnya biota laut di berbagai wilayah, hingga perpindahan spesies global secara massal dari satu tempat ke tempat lain.
Membaca buku ini dari awal hingga akhir terasa seperti menikmati sekuel film Jurassic Park dari sisi ketegangannya, namun dengan data penelitian ilmiah yang kaya dan dalam. Perpaduan ini menjadikan buku ini asyik untuk dibaca, serius dan adventure ke alam sekaligus. Penulis berhasil mengajak imaji pembaca ke gambaran alam dan kepunahan-kepunahan yang terjadi.
Di ujung, apa yang disebut sebagai potensi kepunahan keenam itu seperti monster seram yang tiap saat siap menerkam kelengahan kita. Monster itu lahir dari kesalahan-kesalahan manusia dalam mengelola alam dan lingkungan, lalu makin membesar dan siap melahap kita sebagai indungnya.
Oleh karenanya, kita tidak bisa membaca buku ini sebagai buku antropologi atau arkeologi yang akan dengan tangkas menyajikan satu per satu kepunahan yang dimaksud dengan dalil ilmiah sepenuhnya.
Antara Kolbert, Lomborg, dan Stiglitz
Bersikap tentang krisis iklim kadang juga membutuhkan sikap yang tegas dan kukuh. Sikap demikian menjadi penting untuk menegaskan diri tidak berada dalam sikap “in between”, bukan sikap menolak atau menerima, namun juga tetap berada dalam takaran proporsional. Kolbert telah menunjukkan ketegasan tersebut dalam simpulan kepunahan-kepunahannya.
Menimbang perlunya sikap tegas ini, seorang Joseph E. Stiglitz, pemikir ekonomi terkemuka dan penerima Nobel Bidang Ekonomi pada 2001, sampai memerlukan diri untuk mereviu buku False Alarm, How Climate Change Costs Us Trillion, Hurts The Poor, and Fails to Fix The Planet karya Bjorn Lomborg (2020).
Stiglitz melakukannya di harian ternama The New York Times pada tahun 2020. Mereviu buku, sebagaimana yang diakui Stiglitz, adalah aktivitas yang dihindarinya, semata karena pendapat atau kritik pereviu terhadap objek buku dapat memberi pergeseran makna terhadap buku dan menyakiti pengarangnya.
Gara-garanya, Lomborg dikenal sebagai figur yang lantang bersuara bahwa banyak pihak terlalu larut, menjadi histeris dan over acting, dalam penanganan krisis iklim. Lomborg bersuara dengan keras kepada negara-negara yang dinilainya lebih mengedepankan akal bulus dalam konsesi dan perdagangan karbon, dia juga mengkritik keras berbagai persyarikatan dunia yang hanya mementingkan proyek penanganan krisis iklim dengan berbagai modusnya.
Lomborg terkesan lebih menekankan pentingnya aktivitas perekonomian ketimbang kekhawatiran berlebihan pada krisis iklim. Krisis iklim, dalam pandangannya, is not that bad sebagaimana kekhawatiran para pemikir krisis iklim. Singkatnya, Stiglitz memberikan “omelan” dengan caranya sendiri kepada Lomborg.
Di sisi lain, Stiglitz menyeru pentingnya sikap yang mengakui adanya krisis iklim tersebut dan tidak perlu jatuh pada sikap berlebihan sebagaimana yang disampaikan Lomborg. Kritik terhadap kemungkinan penyelewengan isu dan penanganan yang salah, sebagaimana pandangan umum Lomborg, masih dimungkinkan sebatas peringatan dini, namun sikap dasar yang patut dikedepankan adalah mengakui kualitas iklim dan lingkungan yang telah menjadi sebuah krisis.
Semangat seperti ini tentu saja sejalan dengan pandangan Kolbert dan dengan sendirinya berbeda dengan cara penyadaran Lomborg.
Epilog: Pilihan Paling Tepat
Pada penutup buku, Kolbert memberi catatan optimistik atas lima “petualangan” suram yang dilaluinya dan prediksi menyeramkan tentang kepunahan keenam yang dibuatnya. Baginya, tinggal dan mempertahankan planet bumi adalah pilihan paling tepat dan rasional.
Saat ini, beragam opsi tengah dibangun dan ditawarkan sebagai alternatif mengatasi krisis iklim, mulai dari rekayasa atmosfer (geoengineering) untuk memantulkan panas sinar matahari, menebarkan droplet air di atas kawasan Pasifik untuk mengurangi kepekatan awan, hingga migrasi ke planet lain sebagaimana upaya Elon Musk dan Jeff Bezos.
Pilihan terakhir, untuk bermigrasi ke planet entah berantah itu, bagi Kolbert, bukan merupakan pilihan yang bijak. Sebaliknya, beragam upaya untuk terus bertahan di planet bumi harus diyakini bersama sebagai langkah evolusioner yang terus terbuka dan menjadi warisan penting umat manusia.
Tak kalah pentingnya, optimisme seperti inilah yang menjadi faktor pembeda homo sapiens dibanding makhluk lain di muka bumi. Medan juang sesungguhnya adalah planet bumi, betapapun sedang lebam dan koyak kondisinya oleh ulah manusia sendiri.
Wallahu a’lam.
ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.
0 Comments