Kepemimpinan di Daerah Terpencil, Sebuah Pembelajaran dari Ujung Selatan Garut

by | Jan 3, 2023 | Birokrasi Berdaya | 6 comments

Kepemimpinan selalu menarik untuk diperbincangkan. Berbagai teori dari berbagai perspektif lahir untuk menjelaskan dan memformulasikannya. 

Mulai dari teori kelahiran pemimpin sampai tipe pemimpin ideal, kesemuanya mencoba merangkai sebuah konsep sehingga pemimpin dan seluruh karakter di dalamnya dapat dipahami. 

Berbasis Kondisi Empiris

Basis dari teori kepemimpinan adalah kondisi empiris. Keberhasilan Mahatma Gandhi, keberhasilan Julius Caesar, keberhasilan Muhammad, dan keberhasilan pemimpin-pemimpin lain yang diakui dunia selalu memantik rasa penasaran para kaum cendekia untuk bisa menyusun postulat secara sistematis. 

Begitu pula artikel ini, iapun mencoba merangkai konsep kepemimpinan berdasarkan kondisi empiris. Lebih tepatnya pengalaman dan kondisi yang dihadapi seorang pemimpin. Pengalaman siapa? Pengalaman penulis sendiri. 

Untuk memahami konsep kepemimpinan yang ditawarkan penulis, pembaca perlu mengetahui terlebih dahulu siapa penulis dan dimana penulis memimpin. 

Penulis adalah seorang camat di salah satu kecamatan di Kabupaten Garut. Kecamatan tempat penulis bekerja bernama Kecamatan Talegong, sebuah wilayah di Garut bagian selatan. 

Berjarak 6 jam dari pusat ibu kota Garut, menjadikan wilayah ini sebagai bagian terluar dari wilayah administratif Kabupaten Garut. Dapat dikatakan wilayah ini merupakan wilayah terpencil dari Kabupaten Garut.

Pemasalahan Utama Kecamatan Talegong

Berbicara tentang Talegong, maka kita akan menemukan sebuah wilayah dengan topografi pegunungan dan medan yang ekstrem. Tak mengherankan jika wilayah ini merupakan wilayah dengan kerawanan bencana longsor dan banjir bandang yang sangat tinggi. 

Selain disebabkan oleh kondisi geografis yang terjal, bencana longsor juga disebabkan oleh kondisi geologis yang tidak stabil. Hal ini pernah diteliti oleh para ilmuwan LIPI medio 2010-2012. 

Sebagian tanah di wilayah kecamatan ini memiliki kontur yang rawan pergerakan. Hal ini terbukti di beberapa bagian wilayah ini terdapat pergerakan tanah yang konsisten setiap tahunnya. 

Kondisi ini menyebabkan bencana menjadi salah satu isu strategis yang dihadapi oleh pemerintah di wilayah ini. Hal ini pernah penulis singgung dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “Beradaptasi atau Apriori” di laman ini. 

Selain sebagai wilayah rawan bencana, wilayah ini juga bermasalah dengan infrastruktur jalan dan jembatan. Kondisi ini disebabkan oleh dua hal yaitu Pertama karena memang belum tersentuh oleh pemerintah dan Kedua karena rusak akibat bencana. 

Pemerintah kesulitan untuk menyentuh wilayah ini dengan pembangunan disebabkan oleh setidaknya dua hal. Pertama, biaya untuk membangun daerah ini lebih mahal daripada wilayah lain yang memiliki kontur rata. 

Kedua karena masalah rentang kendali dan keterjangkauan, serta ketiga karena keterbatasan anggaran. 

Masalah utama lain wilayah ini adalah kondisi perekonomian yang rendah. Belum ada data akurat berkenaan dengan hal ini, namun dapat dilihat dari terbatasnya pusat-pusat dan fasilitas perekonomian. 

Belum ada lembaga keuangan semacam bank yang berdiri di wilayah ini. Pasar tradisional beroperasi seminggu sekali dan belum berkembangnya sektor swasta. 

Kondisi ini memang sulit, akan tetapi melalui situasi ini penulis menemukan pembelajaran tentang pentingnya kepemimpinan yang mampu membangun kolaborasi berbagai pihak kepentingan untuk merubah keadaan. 

Karakter kepemimpinan tersebut disebut dengan kepemimpinan kolaboratif.

 

Kepemimpinan Camat di Wilayah Terpencil

Status camat sebagai kepala wilayah memang telah hilang semenjak terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan tidak pernah dikembalikan pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 

Akan tetapi status sebagai perangkat daerah kewilayahan menyebabkan fungsinya tidak pernah hilang. 

Tugas camat untuk mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan (Pasal 10 huruf f PP Nomor 17 Tahun 2018) ditambah tugas camat untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang ada di Kecamatan (Pasal 10 huruf h PP 17 Tahun 2018), dihubungkan dengan konsep kepemimpinan saat ini yang tidak bersifat feodal, maka camat memiliki peran kepemimpinan di wilayahnya. 

Oleh karena itu kepemimpinan yang dibicarakan dalam artikel ini adalah kepemimpinan camat di daerah terpencil dengan berbagai permasalahannya. 

Kepemimpinan Kolaboratif

Menghadapi 3 permasalahan utama di wilayah penulis selama 7 bulan penugasan, penulis menjadi semakin yakin bahwa dalam konteks kekinian pemerintahan kolaboratif sangatlah relevan. 

Selama kurun waktu tersebut, penulis mendapatkan bukti empiris yang meyakinkan bahwa Pemerintah tidak mungkin melakukan segalanya sendirian!

Konsep pemerintahan kolaboratif tentu tidak mungkin penulis jelaskan secara detail dalam artikel ini. Namun, secara umum pemerintahan kolaboratif adalah pemerintahan yang mampu menyelenggarakan urusannya dengan menggandeng keterlibatan semua pihak berkepentingan (pemerintah, masyarakat, akademisi, sektor usaha, dan diaspora). 

Untuk memastikan implementasi pemerintahan kolaborasi diterapkan, dibutuhkan kepemimpinan kolaboratif. Kozes dan Posner dalam Wargadinata (2016) mengemukakan ‘leadership is not a solo act, it’s a team effort’. 

Ungkapan tersebut mengandung arti bahwa pemimpin pada saat ini telah mengalami perubahan. Prinsip-prinsip terutama hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tidak bersifat hierarkial melainkan menjadi lebih setara (equal), sehingga pemimpin tidak memiliki dominasi yang kuat atas yang dipimpinnya. 

Hal tersebut kemudian menyebabkan peran pemimpin bukan lagi sebagai pengambil kebijakan utama melainkan sebagai fasilitator dan katalisator, pembuka jalan menuju sebuah kondisi yang diharapkan. 

Dalam konteks kolaborasi maka pemimpin memiliki fungsi untuk menemukan celah kolaborasi, mengomunikasikanya secara efektif, dan membuka diskursus untuk pengambilan keputusan bersama. 

Chrislip & Larson menyebutkan bahwa peran kepemimpinan dalam pemerintahan kolaboratif adalah membantu stakeholder menemukan solusi yang bersifat win-win. Pemimpin adalah fasilitator atas proses kolaboratif. 

Dapat disimpulkan, kepemimpinan kolaborasi adalah sebuah tipe kepemimpinan yang mampu merangkul seluruh pihak berkepentingan untuk terjadinya kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan Bersama di suatu lokasi dimana pemimpin tersebut berada. 

Urgensi Kepemimpinan Kolaborasi Saat ini

Mengacu pada permasalahan-permasalahan yang dihadapi penulis sebagaimana disebutkan pada bagian awal artikel ini, kepemimpinan kolaboratif sangatlah dibutuhkan. 

Di daerah terpencil, urgensi tersebut menjadi tiga kali lebih tinggi karena dihadapkan pada tiga tantangan, yang tidak dihadapi oleh daerah atau wilayah lain yang berada di perkotaan atau dekat dengan pusat pemerintahan. 

Tantangan pertama adalah lebih mahalnya biaya produksi. Karena jauh dari perkotaan maka harga barang menjadi lebih tinggi akibat langkanya ketersediaan dan meningkatnya biaya pengiriman. 

Untuk beberapa lokasi yang tidak terakses oleh sarana transportasi biaya tersebut ditambah juga dengan ongkos kuli panggul. 

Tantangan kedua adalah minimnya perhatian pemerintah dari pusat pemerintahan (Pemerintah Kabupaten Garut untuk konteks Talegong). 

Karena berada jauh dari pusat pemerintahan, maka sangat rasional jika wilayah-wilayah terpencil sulit terperhatikan secara optimal oleh pemerintah baik itu pemerintah kabupaten, provinsi, maupun pusat. 

Tantangan ketiga adalah belum berkembangnya sektor swasta. Daerah terpencil memiliki pangsa pasar yang kecil sehingga sektor swasta yang terlibat atau berusaha sangatlah sedikit. Hal ini menyebabkan pembangunan masyarakat berjalan lambat. 

Tiga tantangan tersebut memaksa pemimpin di daerah terpencil melakukan upaya kolaborasi secara inovatif untuk melengkapi minimnya kehadiran pemerintah dan sektor swasta dengan menggandeng semua pihak berkepentingan yang ada, sehingga permasalahan-permasalahan yang dihadapi dapat tersentuh pembangunan. 

Implementasi Kepemimpinan Kolaborasi di Kecamatan Talegong 

Upaya kolaborasi pertama yang dilaksanakan oleh Kecamatan Talegong adalah Pembangunan Masjid Besar Kecamatan. Karena merupakan upaya kolaborasi, maka pembangunan Masjid Besar Talegong dilaksanakan oleh tiga elemen yaitu Yayasan Penyandang Dana, Pemerintah, dan masyarakat. 

Ketiga elemen tersebut terlibat dalam setiap tahapan pembangunan dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pemanfaatan. Setelah pelaksanaan selama kurang lebih delapan bulan masjid tersebut berdiri megah di pusat denyut nadi kecamatan, berdampingan dengan Alun-alun Kecamatan Talegong.

Pembangunan masjid-masjid lainnya juga tidak luput dari pendekatan kolaborasi seperti Masjid Taman Surga di Desa Mekarwangi dan Masjid Al Barokah di Kp. Tipar Desa Sukamaju.

Selain pembangunan dari nol terdapat juga rehabilitasi mushola yang dibangun dengan pendekatan ini yaitu di Kp. Ciranca Desa Sukamulya. 

Baru-baru ini kolaborasi juga bahkan dilaksanakan pada proyek-proyek infrastruktur, yaitu Jembatan Rawayan Leuwigengge dan Leuwi Gandol di Desa Mekarmulya Kecamatan Talegong. 

Permasalahan dan Tantangan 

Kolaborasi yang sudah berjalan di atas tentu hanya menyelesaikan sebagian kecil permasalahan yang dihadapi oleh daerah terpencil seperti Talegong. 

Akan tetapi melalui beberapa contoh tersebut, secara praktikal collaborative governance ternyata bukanlah sebatas konsep yang mustahil dilaksanakan. Ini telah terbukti mujarab. 

Meskipun begitu, terdapat tantangan untuk mengaplikasi ini di ranah yang lebih besar dan rumit. Tantangan tersebut di antaranya: 

  • bagaimana memastikan kolaborasi ini berkelanjutan, 
  • bagaimana memastikan permasalahan yang diselesaikan selaras dengan arah pembangunan pemerintah yang sistematis dan berbasis skala prioritas, dan 
  • bagaimana memastikan pemerintah menerima konsep ini. 

Tantangan terakhir berkaitan dengan mindset dan paradigma birokrasi yang memperumit proses kolaborasi. Untuk area di mana kegiatan itu biasanya/seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah, kolaborasi sulit diterapkan. 

Misalnya pada jalan milik pemerintah, aset milik pemerintah dan lain sebagainya yang dimiliki atau setidaknya dianggap menjadi garapan pemerintah. 

“Mereka memilih untuk tidak dibantu meskipun kenyataannya tidak mampu”.

Penulis pernah menghadapi ini. Keengganan birokrasi untuk menerima hibah dari pihak ketiga untuk proyek yang seharusnya dibiayai oleh pemerintah begitu kentara. 

Epilog: Membangun Konsensus

Argumentasi-argumentasi yang hadir dari keengganan itu variatif mulai dari rasa malu karena pemerintah seolah tidak mampu melaksanakan pembangunan tersebut hingga kepada ketidaktahuan aturan terkait hibah dari pihak ketiga kepada pemerintah. 

Di sinilah pentingnya pemimpin kolaboratif yang mampu membangun konsensus dan komitmen bersama untuk memastikan kolaborasi berjalan secara berkelanjutan dan proses berjalan secara mulus. 

Bagi kami di daerah terpencil, kami menyadari posisi kami yang jauh dari pusat pemerintahan menyebabkan kesulitan tersendiri untuk diperhatikan. Akan tetapi, melalui konsep ini banyak permasalahan yang sulit tersentuh itu masih tetap bisa disentuh meskipun bukan oleh pemerintah langsung. 

Hakikatnya, sebenarnya pemerintah hadir dengan membangun konsensus melalui pemimpinnya di daerah meskipun tidak membiayai langsung proyek tersebut. 

Wallahu-a’lam bissawwab

3
0
Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Author

Praktisi pemerintahan yang bernama pena inspekturrojali. Penulis adalah seorang PNS Camat Talegong Kabupaten Garut, Jawa Barat.

6 Comments

  1. Avatar

    Tulisannya keren dan sangat bermanfaat,keren pak camat

    Reply
    • Muhamad Badar

      matur nuwun mas iwan

      Reply
  2. Avatar

    Inti collaborative govenance adalah gotong royong. Satu konsep traditional yang telah eksis ratusan tahun lalu namun mati suri dalam genggaman bangsa ini, tapi berkembang jadi model yang kita import kembali menjadi collaborative governance.

    Salah satu keengganan pemerintah tak menerima hibah karena selain ribetnya akuntabilitas para donatur (apalagi asing), juga keterbatasan sumber daya manusia sebagai pengelola. Itulah mengapa (Pemda apalagi) lebih suka bersandar pada APBD yang terbatas. Trims tulisannya.

    Reply
    • Muhamad Badar Hamid

      Siap senior, berkenaan dengan gotong royong saya sepakat. Hanya saja karena space untuk artikel sangat terbatas saya tidak mengeksplore lebih jauh terkait colaborative governance. 🙏🙏🙏

      Reply
    • Muhamad Badar Hamid

      Sepakat senior. Bahkan dalam setiap bentuk kerjasama swadaya masyarakat sekitar tetap menjadi prasyarat. Sebagai contoh untuk pembangunan mesjid besar terkumpul dana swadaya masyarakat sebesar 600 juta.

      Reply
    • Avatar

      wah, cocok ini kalo pembahasan selanjutnya ttg collaborative governance dituliskan juga oleh pak Muhadam…

      *tidak sabar untuk membaca 😀

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post