Pernahkah Anda melihat pemulung mengumpulkan kertas dari tempat sampah di suatu kawasan? Pernahkah juga menemukan fenomena permukiman padat mengimpit selokan yang berada di suatu kawasan?
Atau pernahkah Anda menengok pemandangan warga mandi dengan menggunakan air dari aliran sungai yang di pinggirnya terdapat sampah? Bahkan, mungkin pernah melihat cakrawala kota dari daerah kumuh di suatu daerah?
Sebagian peristiwa tersebut menjadi penanda adanya kemiskinan. Kemudian, dalam pikiran sebagian orang bisa jadi terlintas “Mengapa kemiskinan dapat terjadi? Kenapa pula seolah sulit sekali untuk keluar dari jerat kemiskinan?”
Dilansir dari situs BPS, persentase penduduk miskin pada September 2022 sebesar 9,57 persen, meningkat 0,03 persen poin terhadap Maret 2022. Sementara, jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022.
Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep basic needs approach. Konsep ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh World Bank.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
M. Yuwono (Kepala BPS) mencatat sejumlah hal pada periode itu, yakni upah buruh tani harian yang turun, konsumsi rumah tangga yang turun, pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya, serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sementara itu, Y. R. Manilet (Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia) menyebut, bahwa tingkat kemiskinan pada 2023 juga dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk angkatan kerja yang diperkirakan akan mengalami peningkatan.
Jika ditarik garis teoritis lebih dalam, pelbagai alasan timbulnya kemiskinan dapat dianalisis sebagaimana berikut.
Sharp dkk., mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Terakhir, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori vicious circle of poverty menurut Nurkse (Kuncoro, 1997).
Dalam dimensi sosial budaya, kemiskinan memang tidak dapat dihitung dengan angka-angka, namun muncul dalam bentuk budaya kemiskinan.
Lewis (Djamaludin Ancok, 1995) misalnya, menyatakan adanya respons tertentu yang dilakukan oleh masyarakat miskin dalam menyikapi hidup, seperti boros dalam membelanjakan uang, mudah putus asa, merasa tidak berdaya, dan apatis.
Walaupun tidak seluruhnya benar, kondisi yang demikian memang nyata terjadi. Selain itu, kemiskinan juga mengenai persoalan tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidup.
Bagi Nasikun (2001), kemiskinan dapat disimpulkan dalam empat bentuk.
- Pertama (kemiskinan absolut), bila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan.
- Kedua (kemiskinan relatif), bila kondisinya karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat.
- Ketiga (kemiskinan kultural), mengacu pada persoalan sikap yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif.
- Terakhir (kemiskinan struktural), situasi yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam sistem sosial-budaya-politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan.
Pelbagai teori cakupan kemiskinan telah disampaikan oleh para ahli dan pelbagai program didesain untuk menanggulangi persoalan kemiskinan. Realitanya, belum juga menghasilkan perubahan sesuai harapan semua pihak.
Jika ditelisik, hal ini terjadi karena masih adanya beberapa kekeliruan. Menurut Ritonga (2003), program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil disebabkan oleh pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan kurang memperhatikan aspek pemerataan, cenderung lebih menekankan pendekatan sektoral yang kurang terintegrasi, dan kurang mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi.
Huraerah (2005) juga mencatat beberapa kekeliruan penyebab belum berhasilnya program penanggulangan kemiskinan, yakni sebab masih berorientasi pada aspek ekonomi daripada aspek multidimensional.
Penanggulangan kemiskinan lebih bernuansa karitatif ketimbang produktivitas, memosisikan masyarakat miskin sebagai objek daripada subjek, serta pemerintah masih berperan sebagai penguasa daripada fasilitator.
Oleh sebab itu, Royat memandang, bahwa upaya pengentasan kemiskinan utamanya dapat ditempuh melalui dua strategi.
- Pertama, melindungi keluarga dan kelompok masyarakat miskin melalui pemenuhan kebutuhan mereka.
- Kedua, melakukan pelatihan kepada mereka agar mempunyai kemampuan untuk melakukan usaha pencegahan terjadinya kemiskinan baru.
Walaupun belum berhasil, tetapi upaya pengentasan kemiskinan adalah hal yang wajib terus dilakukan guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Bagaimana pun selama ini, pemerintah Indonesia telah banyak memiliki program-program untuk pengentasan kemiskinan.
Patut diapresiasi sekaligus partisipasi, namun bukan berarti laju kemiskinan dapat segera berhenti. Sekali lagi, perlu peran pelbagai pihak dalam mengatasi permasalahan ini.
Anak dari Pak A. Juwahir & Bu Romlah. Berasal dari Cirebon.
0 Comments