Makan tak makan yang penting kumpul. Ini adalah sebuah retorika zaman dahulu yang menggambarkan bahwa eratnya kebersamaan dapat mengalahkan rasa lapar yang melanda.
Orang dulu lebih mementingkan untuk berusaha selagi bisa di negeri sendiri, dibandingkan harus merantau jauh ke negeri orang. Biar bagaimanapun, dapat berkumpul bersama keluarga adalah sebuah kebanggaan tersendiri dalam menjaga kearifan lokal suatu daerah yang ada.
Cukuplah Sang Maha Esa melalui bumi-Nya memberikan rezeki untuk makan hari ini, tanpa harus pergi meninggalkannya menuju ke negeri orang, jika yang dicari hanyalah nafkah dan makanan hingga hari esok.
Indonesia Damai dan Sejahtera
Urusan “perut” memang tidak bisa dibohongi. Semua bisa terjadi demi memenuhi kebutuhan pangan setiap insan. Demi urusan perut saja, sengketa antarsaudara hingga mengambil yang bukan haknya seolah sudah jadi barang halal.
Sekarang, sudah bukan zamannya lagi duduk berdiam diri di kampung untuk sekedar makan cukup. Orang-orang rela berhamburan untuk mengais rezeki agar bisa makan lebih kenyang.
Bila perlu, menabung lebih karena khawatir buminya tidak lagi memberikan cukup hasil di kemudian hari. Hal ini seharusnya bukan menjadi perkara, jika bumi tempat ia berpijak adalah Indonesia.
Indonesia damai kehidupannya karena perutnya kenyang. Tidak ada agresi Black Lives Matter, demo kaum feminis, hingga pemberontakan dari imigran karena memang Indonesia ini sejahtera.
Terkadang masyarakat di bumi ini lupa, jika di sini Etnis Cina, Bugis, Jawa, Madura dan Melayu dapat hidup beriringan dan rukun tanpa harus saling menyombongkan diri. Eloknya lagi toleransi menjadi budaya yang harum dan terjaga wanginya di kehidupan sehari-sehari.
Lumrah kita temui di pasar-pasar melihat sesama etnis Cina masih bisa bercakap dengan menggunakan Bahasa Cina tanpa perlu canggung dengan orang-orang di sekitarnya. Namun, saat berkomunikasi dengan Orang Melayu, mereka dapat membaur berbahasa melayu ataupun Indonesia yang fasih seolah tanpa sekat warna kulit, ras dan suku.
Bisa jadi memang hanya di sinilah, pluralisme dapat tetap dipijak dengan senantiasa menjunjung tinggi perdamaian dan kesatuan.
Swasembada dan Pemenuhan Logistik Beras
Kekuatan pangan Indonesia karena kekayaan alamnya pun bukanlah buah bibir belaka. Setiap tahunnya produktivitas beras terus mengalami peningkatan, sehingga Indonesia mampu meraih swasembada beras sejak 2019.
Dengan ketersediaan beras domestik yang tercukupi, harga beras di tingkat konsumen menjadi terkendali. Andil harga beras pada penghitungan inflasi sangat tinggi mencapai 2,77 persen. Dengan terkendalinya harga beras, masyarakat dapat dipastikan bisa kenyang perutnya.
Bicara soal beras memang tak akan ada habisnya. Indonesia sudah lama jadi net importir beras sejak tahun 2000, karena pelbagai problematikanya dari hulu ke hilirnya. Salah satu alasan BULOG melakukan impor beras adalah untuk menjaga stok beras di gudang yang akan menipis.
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 04/M-DAG/PER/1/2012 Tentang Cadangan Beras Pemerintah Untuk Stabilisasi Harga, harus ada minimal satu juta ton cadangan beras.
Oleh karena itu, BULOG seolah mau tak mau akan mengimpor beras karena dirasa produksi beras nasional belum optimal dan ujung-ujungnya terpaksa harus impor dari luar. Tidak hanya itu, produksi petani juga belum efisien dan kalah saing jika dibandingkan dengan produk impor yang kualitasnya sama.
Padahal, jika barang impor pastinya lebih mahal, karena harus ada biaya pengiriman dan penyimpanan. Nah, di sinilah masalah klasik pertanian khususnya tanaman pangan perihal kejelasan data produksi hingga pendistribusiannya ke masyarakat.
Kebijakan Impor Berbasis Data
Pemenuhan akan beras terkait keputusan impornya telah diukur dengan data terkini dengan teknologi termutakhir. Data ini diperoleh melalui survei Kerangka Sampel Area (KSA) yang merupakan kerja sama antara Badan Pusat Statistik (BPS), BPN, Lapan dan instansi terkait lainnya.
Data ini terjaga keakuratannya karena di setiap bulannya mitra statistik diharuskan mengecek langsung ke lapangan dan di-tracking lewat GPS sesuai dengan koordinat lahan yang telah ditentukan.
Terlebih, tahun ini akan ada Sensus Pertanian 2023, di mana seluruh pelaku tani dan usaha tani tercatat seluruhnya. Missmatch data pertanian harusnya dapat teratasi melalui pencatatan menyeluruh ini.
Membangun di Negeri Sendiri
Bibit padi yang tumbuh di Indonesia ini seolah pertanda akan potensi pangan di masa-masa yang akan datang. Tidak perlu kita jauh-jauh kerja di negeri orang membangun negeri di sana, padahal bumi kita sendiri masih “hidup” potensinya.
Bukan hanya padi saja. Kiri kanan jalan terhampar luas kebun kopi di Aceh, berkilaunya tambang pasir di Babel, hingga rimbunnya sawit di Pulau Kalimantan. Harusnya sudah cukup bagi kita untuk bertahan dan membangun buminya sendiri.
Mari pemuda kita kembali dan bekerja di sini, untuk membangun bumi kita tercinta, bumi yang Gemah Ripah Loh Jinawi.
0 Comments