Keadilan Sosial dan Paradoks Hukum Adalah Panglima

by | Apr 19, 2021 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Dalam tulisan terdahulu, saya menyimpulkan bahwa tujuan bernegara adalah untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam epilog saya pun merekomendasikan agar masa pandemi ini dimanfaatkan untuk mengevaluasi orientasi atau arah tujuan bernegara agar kembali ke khittah yaitu falsafah Pancasila.

Artikel ini mencoba mengelaborasi makna keadilan sosial. Tentu dengan disclaimer bahwa tulisan ini hanya merupakan opini subjektif. Bila mengandung nilai-nilai kebenaran, mungkin hanya bersifat kontekstual dinamis tidak tekstual statis.

Makna Keadilan Sosial

Keadilan sosial secara etimologi berasal dari dua kata serapan. Keadilan kata dasarnya adil, kata serapan dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur, lurus, dan tulus. Secara istilah Adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sesuai maqomnya, pas dan proporsional.

Sedangkan sosial kata serapan dari bahasa latin yaitu ‘socius’ yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan bersama. Secara intuitif saya memaknai keadilan sosial sebagai suatu kondisi dimana manusia Indonesia sesuai dengan identitas suku bangsa, agama dan keyakinan hidupnya masing-masing secara bersama-sama tumbuh dan berkembang dengan penuh kejujuran, ketulusan dan harmonis.

Penyempitan Makna Keadlilan

Keadilan mengalami penyempitan makna ketika sering kali digunakan dalam konteks solusi konflik dalam masyarakat. Sehingga keadilan diidentikan dengan hukum. Hukum dijadikan alat utama dalam mencapai keadilan. Sehingga muncul aksioma bahwa Indonesia adalah negara hukum. Munculah kemudian anggapan “hukum adalah panglima”.

Dulu ketika mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan dalam Pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) di bangku sekolah, guru dan penatar mengajarkan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Dengan Paradigma di atas maka tata negara Indonesia dibangun dengan Pancasila didudukan sebagai sistem nilai tertinggi. Di bawahnya adalah Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian di bawahnya lagi ada Undang-Undang. Selanjutnya ada peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan mentri, dan seterusnya. Di tingkat daerah ada peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati, dan seterusnya.

Pada praktik penyelenggaran negara khususnya dalam bidang legislasi, yang dijadikan indikator kinerja salah satunya adalah jumlah produk hukum yang diterbitkan. Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat diukur dengan seberapa banyak undang undang yang dihasilkan dalam satu tahun anggaran sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas atau Prolegda untuk DPRD).

Begitu pula kinerja Kementerian/Lembaga Negara, salah satu parameternya adalah berapa jumlah Peraturan Menteri (Permen) yang diterbitkan. Demikian halnya pemerintahan di daerah, seolah-olah sudah bekerja dengan baik bila telah menerbitkan sejumlah Perda dalam setiap isu atau permasalahan.

Paradoks Hukum Adalah Panglima

Alih-alih membuat kehidupan bernegara menjadi lebih tertib dan teratur, paradigma “hukum adalah panglima” membuat Indonesia menjadi over-regulated. Presiden mengeluhkan rumitnya birokrasi karena banyak aturan (menurut perhitungan Presiden ada sekitar 42.000 aturan) yang tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lain. Kerumitan birokrasi ini menurut Presiden membuat perekonomian terhambat.

Selain dinilai menghambat roda perekonomian, over-dosis peraturan ternyata menciptakan masalah sosial dalam hubungan antarmasyarakat. Contoh terakhir adalah Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dikeluhkan banyak pihak,  termasuk presiden sendiri. Bukannya menciptakan kerukunan di tengah masyarakat, UU ITE malah dijadikan alat kriminalisasi satu sama lain hanya karena perdebatan sepele di media sosial.

Sebelumnya, tentu kita masih ingat kejadian demontrasi berbagai elemen masyarakat termasuk siswa STM yang menjadi viral. Mereka memprotes beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kontroversial. Meskipun saya menilai demonstrasi itu timbul karena disinformasi dan kesalahpahaman, tetapi media memberitakan bahwa  para demonstran memprotes rencana aturan yang terlalu remeh dan terlalu pribadi, seperrti hukuman bagi pemilik ayam yang mengotori rumah tetangga sampai urusan suami istri di atas ranjang.

Meskipun saya menilai demonstrasi itu timbul karena disinformasi dan kesalahpahaman, tetapi media memberitakan bahwa  para demonstran memprotes rencana aturan yang terlalu remeh dan terlalu pribadi, seperrti hukuman bagi pemilik ayam yang mengotori rumah tetangga sampai urusan suami istri di atas ranjang.

Seorang kawan pernah bercanda bahwa dengan sistem hukum yang ada sekarang, dia bisa memperkarakan atau melaporkan siapa saja yang dia tidak sukai, dengan satu tuduhan: melakukan perbuatan tidak menyenangkan.

Nilai Hukum dan Nilai Kebajikan

Hukum atau padanan kata lainnya syariat membantu manusia untuk membedakan benar dan salah, halal dan haram, boleh dan tidak boleh. Ia bersifat hitam putih. Dalam kehidupan, manusia memang membutuhkan panduan untuk membedakan keduanya. Manusia membutuhkan kejelasan, membutuhkan kepastian hukum.

Hukum berfungsi seperti pagar agar dalam menjalani hidup manusia tidak keluar dari batas-batas kemanusiaannya. Di dalam pagar batas kemanusiaan itulah manusia berdialektika dengan nilai-nilai. Nilai-nilai kemanusiaan itu tidaklah hitam putih tetapi penuh warna dengan berbagai gradasinya. Hidup tidak melulu perkara benar-salah. Tidak selalu pilihannya boleh atau tidak boleh. Tetapi sering kali perkara pilihan antara baik atau kurang baik.

Hukum atau syariat merupakan sebuah perangkat aturan yang paling minimal agar kehidupan manusia tertib dan teratur. Tapi hukum belum tentu efektif menciptakan masyarakat yang adil, beradab dan bermartabat.

Sebagai contoh apabila ada pengemis yang kelaparan di pinggir jalan dan Anda kemudian tidak menolongnya. Jangankan memberi sedekah, mempedulikannya pun tidak, bahkan Anda membuang muka.

Dalam kaca mata hukum anda tidak bersalah. Tidak ada pasal hukum yang membuat anda masuk penjara. Tetapi dalam kaca mata akhlak Anda bisa dinilai kurang terpuji.

Siapa yang Layak Jadi Panglima?

Menurut saya paradigma “hukum adalah panglima” keliru diterapakan di Indonesia. Apalagi filsafat hukum dan kitab hukum positif kita copy-paste dari bangsa asing yang justru adalah penjajah. Menurut saya hukum tidak pantas jadi panglima di Negara Pancasila. Cukuplah hukum menjadi prajurit atau ujung tombak dalam menanggulangi perilaku manusia menyimpang.

Bila negara dianalogikan sebagai kendaraan dan rakyat adalah penumpangnya, maka hukum ibarat alat penerang di tengah malam agar kendaraan tidak terjerumus pada jurang kesalahan. Ia juga berfungsi seperti sabuk pengaman agar penumpang tidak celaka bila kendaran mengalami kecelakaan, gangguan, atau ketidak-stabilan. Sedangkan agar kendaraan dapat berjalan menuju ke arah yang benar mencapai tujuan, ia membutuhkan pemimpin atau pengarah (driver) dan juga alat penunjuk arah.

Lantas dengan alat apa ”kendaraan Indonesia” dapat mencapai tujuan hidupnya yaitu keadilan sosial? Siapa yang pantas dijadikan panglima untuk memimpin Rakyat Indonesia menuju keadilan? dan dengan senjata atau alat apa panglima itu memimpin? Dengan panduan apa agar driver kendaraan Indonesia dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan?

Jawaban dari pertanyaan di atas adalah sila keempat Pancasila. Secara eksplisit dinyatakan bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Yang jadi panglima rakyat indonesia menuju keadilan sosial adalah hikmat kebijaksanaan, bukan aturan hukum. Senjata atau alat yang digunakan oleh sang panglima adalah permusyawaratan.

Falsafah Pancasila dan Ajaran Agama

Falsafah pancasila ini sesuai dengan akidah saya sebagai seorang muslim. Guru mengaji sering mengajarkan kami dengan ayat Alquran: “Ud ‘uu ilaa sabiili Robbika bil hikmah wal mauidzotil hasanah” yang artinya “Serulah manusia kepada jalan Tuhan mu dengan hikmah dan suri tauladan yang baik”.

Beliau berdialektika dengan mangajak kami, para muridnya, untuk menggali hikmah mengapa Tuhan tidak berfirman: “Ud’uu ila sabili robbika bil haq”. Yaitu: “Serulah manusia kepada jalan Tuhan mu dengan kebenaran” Dimana kebenaran itu identik dengan hukum atau ketentuan syariat.

Sebagai seorang muslim dan sebagai orang Indonesia, saya tidak menemukan pertentangan antara ajaran Islam dengan Pancasila. Saya diajarkan oleh orang tua dan guru ngaji untuk tidak cukup hanya mengerti hukum agama, paham ilmu fikih mengenai tata cara ibadah, atau tentang ketaatan melaksanakan syariat (ketentuan hukum) saja. Mereka selalu berusaha mendidik saya supaya memiliki adab, perilaku, tindak tanduk, dan akhlak yang baik.

Sang guru juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus bukan sekadar membawa hukum syariat agama semata, atau mengajarkan agar umatnya patuh kepada hukum Tuhan, tapi yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia “Inna maa buistu liutamimma makarimal akhlak”, begitu bahasa hadisnya.

Menurut tata bahasa Arab “Inna maa” itu artinya: Sesungguhnya hanya. Digunakan untuk membatasi, hanya itu tidak ada selain itu.

Kemudian guru mengaji saya juga selalu mengingatkan dengan mengutip ayat Alquran bahwa Tuhan menciptakan kehidupan dan menetapkan kematian manusia untuk menguji siapa diantara manusia yang paling baik amalnya. Bukan yang paling benar amalnya.

Maka apabila saat ini banyak kelompok masyarakat yang (merasa) berada di front pembela kebenaran, maka ke depan menurut saya perlu lebih banyak lagi “front penegak kebaikan”.

Penyelesaian konflik atau masalah di tengah masyarakat hendaknya tidak melulu dengan pendekatan hukum tapi lebih mengedepankan dialog, musyawarah dengan akhlak yang baik dan mulia, jujur dan tulus sesuai definisi adil yang dibahas di bagian awal tulisan ini.

Dengan demikian akan tercipta keadilan sosial dengan suasana yang rukun, harmonis dan cinta damai. Meski hal ini pun harus sesuai dengan konteksnya. Jangan sampai slogan cinta damai tidak tepat penggunannya atau disalahgunakan. Misalnya ada seloroh: bagi rakyat damai itu indah, tapi bagi street level bureaucracydamai” itu 50 ribu.

Epilog

Indonesia tidak cukup bermartabat bila “hanya menjadi negara hukum”. Indonesia harus menjadi negara yang berbudi pekerti luhur. Atau dengan istilah lain Indonesia tidak cukup mulia jika “hanya bersyariah”. Indonesia harus berakhlakul-karimah.

Anak-anak Indonesia jangan hanya diajarkan syariat atau hukum semata sehingga mereka percaya kepada hukuman-hukuman. Anak-anak Indonesia harus punya kesadaran kemanusiaan untuk patuh kepada norma dan nilai (misalnya untuk tidak mencuri, korupsi, atau curang) bukan karena takut melanggar hukum atau takut dihukum.

Sebagai Insan yang berketuhanan yang Mahaesa (bertauhid), anak-anak Indonesia harus mampu menjaga diri sebagai sebaik-baik makhluk (ahsani takwim). Tidak menjerumuskan diri kepada kejahatan, kenistaan dan kerendahan (asfala safilin) namun sebaliknya, dapat menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. (*)


3
0
Satya Laksana ◆ Active Writer

Satya Laksana ◆ Active Writer

Author

Fungsional Perencana Muda di Pemerintah Daerah. Berlatar pendidikan Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Publik.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post