Pada Bagian Pertama (Kanban dan Pengendalian – Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Bagian Pertama) – Birokrat Menulis), saya telah mengisahkan bagaimana kata Kanban secara out of the blue muncul di timeline. Curiosity kemudian menuntun saya menyusuri Sistem Produksi Toyota, hingga sampai pada adopsi Lean Six Sigma dalam manajemen kinerja sektor publik. Semua itu karena obsesi saya, sebagai seorang perencana, menerapkan filosofi Kanban dalam pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan.
The Tip of The Iceberg
Mengapa saya terobsesi menerapkan filosofi Kanban dalam pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan? Karena tahapan perencanaan pembangunan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang SPPN, sebenarnya dimulai dari hasil evaluasi pelaksanaan rencana. Kemendagri menyebut pengendalian dan evaluasi sebagai titik tolak pembangunan daerah.
Dalam penyusunan rencana pembangunan, Peraturan Pemerintah turunan Undang-Undang SPPN menentukan, hasil evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan periode sebelumnya menjadi bahan rancangan awal rencana pembangunan, melalui pendekatan teknokratik, baik untuk jangka panjang, jangka menengah, maupun rencana tahunan.
Pada praktiknya, evaluasi pelaksanaan rencana merupakan bagian yang paling sulit. Misalnya, betapa sulitnya kita mengevaluasi pencapaian sasaran pembangunan pada akhir tahun anggaran.
Kesulitan dalam melakukan evaluasi, terutama di negara “dunia ketiga”, merupakan masalah klasik. Memetakan kendala teknis dan praktis dalam melakukan evaluasi, Thomas B. Smith menemukan bahwa yang paling umum adalah kekurangan data dasar, serta sulitnya mengumpulkan data, untuk menyediakan informasi yang memadai guna tujuan evaluatif.
Di daerah, Kemendagri menilai kesulitan dalam pengendalian dan evaluasi, salah satunya, disebabkan oleh pengelolaan sistem informasi pembangunan daerah yang belum optimal. Pengelolaan data dan informasi hanyalah the tip of the iceberg dari kesulitan melakukan pengendalian dan evaluasi.
Secara empiris, menurut saya, hal ini disebabkan oleh problem lain yang lebih mendasar dalam menerapkan manajemen kinerja sektor publik di Indonesia. Ketika pengendalian dan evaluasi perlu diintegrasikan serta dihubungkan dengan siklus perencanaan dan penganggaran, sebagaimana Michael Quinn Patton mengingatkan, terdapat permasalahan pada tahapan perencanaan dan penganggaran kinerja.
The Logical Framework Analysis
Dalam rangka anggaran berbasis kinerja, Undang-Undang Keuangan Negara mengintegrasikan sistem akuntabilitas kinerja ke dalam sistem penganggaran, dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran (RKA), sehingga kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja dapat terpenuhi sekaligus.
RKA menggunakan pendekatan kerangka logis (logic model), yang menggambarkan hubungan antara sumber daya (input) yang digunakan, aktivitas yang dilaksanakan, keluaran (output) yang dihasilkan, dan manfaat atau perubahan (outcome) yang dicapai.
Kerangka logis diadopsi dari Logical Framework, atau populer disebut LogFrame, sebuah matriks ringkas yang digunakan oleh USAID pada awal tahun 1970-an untuk manajemen siklus proyek, agar tujuan proyek didefinisikan secara eksplisit sejak tahap awal, guna memperkuat logika perencanaan pada berbagai tingkat kinerja, dan evaluasi saat proyek diimplementasikan.
Di pusat, penerapan pendekatan logic model dalam penyusunan RKA senantiasa disempurnakan, dengan petunjuk dan petunjuk teknis, untuk memperbaiki Arsitektur dan Informasi Kinerja (ADIK). Perbaikan secara terus-menerus ini sama halnya dengan kaizen di sistem produksi Toyota.
Logic Less Frame: Kesulitan Membuktikan Kinerja
Dalam pengelolaan keuangan daerah, Kemendagri mendelegasikan pedoman penyusunan RKA kepada kepala daerah. Di daerah, penyusunan RKA belum mengadopsi konsep logic model secara utuh.
Apabila dibandingkan dengan gagasan aslinya, yang berupa matriks 5×4, seperti yang digunakan oleh Asian Development Bank, atau Bappenas, terdapat perbedaan yang signifikan. RKA melewatkan dua kolom penting: kolom sumber data/mekanisme pelaporan, atau means of verification, serta kolom asumsi dan risiko.
Dengan melewatkan kolom sumber data, kerap terjadi diskoneksi antara indikator dan target kinerja dengan bagaimana mengukur capaian kinerja. Akibatnya, perangkat daerah menjadi kurang tanggap mengenai data apa yang harus dihasilkan, sehingga tidak dapat menyelenggarakan statistik sektoral dengan optimal. Imbasnya, perangkat daerah acap kali mengalami kesulitan untuk membuktikan kinerjanya sendiri.
Tidak adanya kolom asumsi dan risiko membuat kerangka logis menjadi tidak realistis. Ketika desain dan metode evaluasi kontemporer justru diperluas, misalnya menggunakan Theory of Change, untuk membuat lebih eksplisit asumsi dasar tentang bagaimana dan mengapa perubahan mungkin terjadi sebagai outcome dari suatu inisiatif, mengabaikan asumsi dan risiko menjadikan kerangka logis seperti berjalan linier.
Kerangka logis hanya akan memberikan ilusi hasil, yang Des Gasper sebut sebagai “logic-less frame”.
Seolah-olah, setiap input menjadi output, setiap output menghasilkan outcome, dan setiap outcome menjadi impact. Apabila demikian realitanya, maka kerangka logis merupakan penerapan sempurna dari Toyota Production System: tanpa pemborosan sedikit pun.
Kenyataannya, riset oleh Ateh, Berman, dan Prasojo menemukan bahwa masih banyak daerah yang hasil evaluasi SAKIP-nya berada di level D, yang artinya perlu perubahan mendasar dalam sistem manajemen kinerja.
Asumsi dan risiko melengkapi logika sebab-akibat. Bukan sekadar if-then, namun if-and-then, di mana penyelesaian aktivitas akan menghasilkan output hanya jika asumsi tertentu benar dan risiko tidak terjadi. Demikian pula untuk outcome, dan impact, yang akan tercapai hanya jika asumsinya terpenuhi dan risiko tidak berlangsung.
Kolom asumsi dan risiko membantu mengidentifikasi faktor kontekstual lain yang diperlukan agar mata rantai dalam rantai hasil berfungsi. Juga memudahkan manajemen risiko yang lebih optimal, yang terintegrasi dengan manajemen kinerja, seperti yang diterapkan Kementerian Keuangan.
Asumsi dan risiko dapat pula memetakan konsekuensi yang tidak diinginkan, atau tersembunyi, yang seringkali berupa dampak negatif. Kesadaran tentang adanya faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja membantu perangkat daerah untuk berfungsi secara lebih organik, dalam sebuah living system, bukan dengan penalaran linier-konvensional.
Dengan demikian, perangkat daerah akan lebih mafhum untuk saling bersinergi satu sama lain, untuk pendekatan tematik-holistik, integratif dan spasial dalam perencanaan pembangunan.
Memahami Interkonektivitas Permasalahan Pembangunan
RKA memang mengikuti format baku. Namun, setidaknya, kertas kerja dalam menyusunnya perlu menerapkan pendekatan logic model yang utuh. Lagi pula, berbeda dengan peraturan sebelumnya yang menentukan format RKA, Permendagri yang baru dalam pengelolaan keuangan daerah menyerahkan pengaturan format RKA kepada daerah.
Selain dua kolom penting yang tidak ada, adopsi LogFrame yang tidak utuh juga tercermin dari prosesnya. Tanpa mengikuti tahapan yang semestinya, matriks RKA hanya akan memiliki fungsi yang sangat terbatas, pada memeriksa alur logika hasil kinerja, padahal proses di mana elemen-elemen matriks dinegosiasikan jauh lebih penting.
Informasi kinerja dalam RKA bukanlah sesuatu yang out of the blue, akan tetapi hasil dari rangkaian panjang: analisis situasi, yang terdiri dari analisis stakeholder dan analisis permasalahan; serta identifikasi kegiatan, yang terdiri dari analisis tujuan dan analisis alternatif.
Untuk dapat menjadi sebuah alat perencanaan yang bermanfaat, dan dapat mendorong strategic thinking, LogFrame harus merupakan hasil, dan ringkasan, dari analisis situasi yang sistematis. Teoritis, memang.
Namun, tidak ada knowledge tanpa teori; pengalaman tidak mengajarkan apapun tanpa teori. Kecuali memiliki tacit knowledge, sehingga mampu melakukan mental leap, tahapan tersebut perlu ditempuh, agar sampai pada systems thinking, untuk dapat memahami interkonektivitas permasalahan pembangunan yang sangat kompleks.
Ketidakmampuan memahami sistem yang kompleks dan dinamikanya **menyebabkan asystemic thinking, seperti, misalnya, yang ditulis The Atlantic mengenai respons terhadap coronavirus di Amerika.
Lagi pula, sebagai teknokrat, pengambilan keputusan memang perlu dilakukan berdasarkan metodologi objektif yang didukung oleh sains, bukan sekadar intuisi. Informasi kinerja dalam RKA tentu harus merujuk pada dokumen perencanaan. Namun, adopsi logic model dalam penyusunan dokumen perencanaan juga tidak utuh.
Permendagri mengenai Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah sebenarnya telah mengamanatkan analisis permasalahan, hingga ke akar masalah, tepatnya di Pasal 163 ayat (2) dan (3), yang harus dituangkan pula ke dalam kertas kerja, namun cenderung belum dilakukan.
Memahami akar masalah, serta mengidentifikasi variabel proses utama yang menyebabkan cacat, merupakan langkah penting “Analyze” dalam Six Sigma. Seperti dikisahkan pada Bagian Pertama artikel ini, Six Sigma menggunakan DMAIC sebagai metodologi pemecahan masalah umum.
DMAIC memungkinkan identifikasi penyebab dan pengembangan rencana tindakan korektif yang efektif melalui prosedur sistematis, untuk menghilangkan non-value added pada proses yang ada. Analisis permasalahan memungkinkan penentuan prioritas yang lebih jelas dan membantu fokus pada tujuan.
Lemahnya Analisis: Penyebab Bluffocracy dan Consultocracy
Ketidakmampuan memahami situasi dan mendiagnosa masalah yang terjadi, hingga ke akar penyebab masalah, dan merumuskan intervensi yang tepat dengan mempertimbangkan tujuan yang hendak dicapai serta pilihan alternatif strategi mencapainya, barangkali merupakan penyebab utama rendahnya kompetensi driving for results dan planning-organizing JPT di daerah yang mengakibatkan gejala bluffocracy dan consultocracy.
Dokumen perencanaan, baik di tingkat daerah maupun perangkat daerah, semestinya, merupakan komposit dari banyak LogFrame yang koheren, saling melengkapi, dan mendukung satu sama lain untuk mengatasi permasalahan pembangunan.
Untuk mengeksplorasi dan memperkuat hubungan means-ends guna mengatasi permasalahan pembangunan, dalam perencanaan maupun evaluasi, akan selalu melibatkan analisis faktor kontekstual yang komprehensif dan substansial.
Dokumen perencanaan yang merupakan hasil analisis permasalahan secara komprehensif akan memudahkan penyelarasan vertikal: konfigurasi strategi, tujuan, rencana aksi, dan keputusan di berbagai tingkatan dalam satu urusan atau unit, maupun penyelarasan horizontal: koordinasi dan integrasi lintas urusan atau lintas unit dalam suatu urusan. Dokumen perencanaan yang demikian akan memudahkan penyusunan pohon kinerja.
Dalam penyusunan rencana pembangunan, selain analisis permasalahan, Forum Konsultasi Publik dan Forum Perangkat Daerah, yang semestinya merupakan tahap analisis stakeholder, juga belum optimal sesuai fungsinya.
Analisis stakeholder diperlukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan kepentingan stakeholder yang berbeda-beda. Pemetaan perspektif stakeholder pada tahap perencanaan membantu pembangunan untuk lebih responsif terhadap kebutuhan aktual penerima manfaat.
Analisis stakeholder dan analisis permasalahan merupakan analisis situasi awal yang meletakkan dasar untuk memperjelas tujuan, komponen kinerja, indikator, dan asumsi utama. Tanpa analisis situasi yang mencakup berbagai rentang peluang, kendala, dan ancaman, yang semestinya harus dieksplorasi dalam perencanaan, LogFrame hanya akan menjadi sebuah “straitjacket”. Analisis situasi merupakan tahapan kritis dalam penyusunan anggaran berbasis logic model.
The Deadly Sins in Public Administration
Penerapan logic model yang tidak utuh dalam perencanaan dan penganggaran kinerja menimbulkan the deadly sins in public administration, yang diidentifikasi Peter Drucker pada tahun 1980-an. Dosa-dosa tersebut adalah:
1. Program tanpa tujuan yang jelas: tidak spesifik, tidak membumi dan tidak fokus;
2. Melakukan banyak hal secara bersamaan: enggan menetapkan prioritas dan berkomitmen terhadap nya;
3. Boros sumber daya;
4. Spekulatif: tanpa didukung bukti empiris;
5. Tidak belajar dari pengalaman: tidak mau menyadari kelemahan, keterbatasan dan blind spots, umpan balik dipandang secara skeptis;
6. Serta yang paling umum: the inability to abandon: kecenderungan business as usual, tidak menyadari kapan harus memulai hal yang baru.
The deadly sins tersebut merupakan antitesis dari Sistem Produksi Toyota.
Kesulitan dalam pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan, yang tampaknya karena pengelolaan data dan informasi yang belum optimal, menurut saya, disebabkan oleh permasalahan pada tahapan perencanaan dan penganggaran kinerja, yaitu adopsi logic model yang tidak utuh.
Untuk itu, saya terobsesi menerapkan filosofi Kanban dalam pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan. Mengapa saya tidak terobsesi menerapkan sistem produksi Toyota secara utuh, atau Lean Six Sigma, dapat dibaca di Bagian Ketiga (Kanban dan Pengendalian – Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Bagian Ketiga) – Birokrat Menulis).
Perencana Ahli Muda di Bappeda Provinsi Banten. Seorang lifelong learner, yang mengikuti semboyan Albert Einstein: “I have no special talent. I am only passionately curious”.
0 Comments