Dalam bahasa Latin klasik, terdapat sebuah kalimat fenomenal “Si Vis Pacem Para Bellum”. Kalimat ini seringkali digunakan berbagai organisasi formal, baik pemerintahan atau organisasi nonpemerintahan, sebagai jargon dalam operasionalnya.
Secara sederhana, Si Vis Pacem Para Bellum memiliki arti apabila ada pihak yang akan berdamai, maka pihak tersebut juga bersiap untuk berperang. Makna ungkapan itu sangat dalam, apabila dipahami oleh para pemangku kebijakan dan ahli strategi yang mau bertempur dalam medan pertempuran.
Apabila ada pihak yang mau berdamai, maka seharusnya pihak yang mau berdamai tadi juga mempersiapkan diri untuk bertempur kembali. Perdamaian akan langgeng ketika setiap pihak memiliki kemampuan setara untuk bertempur.
Berdamai tanpa kemampuan berperang, akan berakhir menjadi pihak yang tertindas atau terjajah, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Pentingnya Si Vis Pacem Para Bellum dalam Penanganan Pandemi Covid-19
Wabah covid-19 ini telah berlangsung sejak awal 2020 sampai dengan hari ini. Wabah ini terjadi di hampir seluruh negara di belahan dunia manapun. Seluruh negara terdampak, telah melakukan berbagai upaya baik promotif, preventif dan kuratif serta rehabilitatif dalam rangka penanggulangan covid-19 ini.
Mulai dari promotif, dengan cara memberikan edukasi di berbagai media kepada segenap warga masyarakatnya. Dengan cara preventif, dengan memaksimalkan berbagai protokol kesehatan, vaksinasi, dan pembatasan pergerakan.
Dengan cara kuratif, yaitu menambah kemampuan layanan kesehatan dan pendukungnya dalam menangani lonjakan pasien. Dengan cara rehabilitatif, yaitu melakukan pemantauan dan perbaikan terhadap para penyintas covid-19 dan keluarganya.
Semua upaya tersebut masih perlu dilakukan secara masif, karena gelombang demi gelombang wabah kemungkinan masih akan terjadi.
Yang menarik pada gelombang kedua pandemi di negeri ini, adalah mulai masifnya pendekatan komando dalam penanganan di lapangan. Bahkan beberapa elit menyatakan bahwa negeri sedang berada dalam zona perang, negeri sedang berperang melawan virus ini.
Selain itu ada juga lontaran dari para petinggi, yang menyatakan seluruh rakyat harus mau berdamai dengan wabah ini. Perang, berdamai, dan wabah? Sebuah korelasi yang menarik yang akan dicoba diurai dalam tulisan singkat ini.
Dalam setiap perang, dibutuhkan panglima yang memiliki berbagai pengetahuan, keahlian, dan pengalaman tempur yang memadai. Perang yang dahsyat menuntut segenap kesiapan logistik, artileri, kavaleri dan armada yang tangguh. Perang yang panjang, menuntut kesiapan finansial yang harus secara kontinyu disediakan.
Maka dalam setiap perang, kesatuan komando akan menjadi tonggak utama kemenangan. Sejarah di muka bumi mencatat, kekacauan komando dan perbedaan pengambilan strategi, akan mengantarkan kepada kekalahan atau bahkan kehancuran.
Si Vis Pacem Para Bellum vs. Covid?
Mampukah kita berdamai dengan covid? Tentu saja ini tidak mustahil, karena dunia ini adalah alam kemungkinan. Salah seorang pakar telah menyampaikan, bahwa dalam sejarah kehidupan di dunia ini, tidak ada homo sapiens yang musnah karena virus.
Manusia dengan keanekaragaman genetikanya, akan mampu melawan wabah yang ada. Namun, harus ditekankan kembali kepada setiap panglima perang melawan covid-19, kalaulah siap berdamai dengan wabah ini, maka prasayarat awalnya adalah siap pula berperang dengan wabah ini.
Penulis menganalogikan diri sebagai panglima perang yang akan memimpin segenap bangsa dan negara, melawan virus covid-19. Panglima yang menyelesaikan wabah ini dengan pendekatan komando. Mungkin berkhayal atau bermimpi, tetapi berbagi mimpi indah ini, semoga bisa menggerakkan pemangku kepentingan negeri.
“Kalau saya menjadi Panglima, akan saya perkuat kesatuan dan prajurit tempur.”
Garda terdepan dalam penanganan wabah ini adalah sektor kesehatan, maka fokus dan prioritas utamanya dalam perang ini adalah menjaga kesehatan bangsa dan negara. Keselamatan segenap tumpah darah Indonesia.
Rumah sakit, instansi Kesehatan, dan fasilitas kesehatan merupakan kesatuan tempur yang selalu harus dikuatkan. Petugas kesehatan, baik medis, paramedis, ataupun petugas kesehatan lain, merupakan prajurit-prajurit tempur yang menjadi kekuatan utama.
Setiap prajurit harus dibangun mentalitas dan imunitasnya. Menjaga ketangguhan kesatuan dan prajurit tempur, harus secara kontinyu dilakukan dengan menjaga ikatan batin dan emosional.
Kesatuan batin dan emosional inilah, yang menggerakkan arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945. Niatan jihad suci yang mampu menghancurkan moralitas bangsa asing yang hendak kembali menjajah bumi pertiwi.
Kesatuan batin dan emosional ini dibangun tidak dengan sekedar agitasi atau motivasi, tetapi dengan contoh yang nyata. Blusukan kepada kesatuan dan prajurit, harus selalu dilakukan seorang panglima.
“Kalau saya menjadi Panglima, akan saya bersihkan anasir-anasir perpecahan.”
Sejarah bangsa ini mencatat dengan pena berdarah, ketika negeri sedang menghadapi agresi militer Belanda, ada sekelompok manusia tidak bertanggung jawab mengambil alih daerah Madiun dan sekitarnya.
Anasir perpecahan bahkan pemberontakan seperti itu tidak bisa dibiarkan terjadi. Dalam pandemi ini pun, masih terdapat anasir-anasir perpecahan yang terjadi di banyak tempat.
Negeri ini memang bukan negeri otoriter, terdapat konsensus negeri untuk menjalankan roda demokrasi. Namun, dalam berperang melawan covid-19 ini, seorang Panglima akan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan agar anasir-anasir perpecahan dapat dihentikan.
Berperang butuh persatuan, dan setiap pepecahan hanya akan menghasilkan keraguan tindakan. Panglima akan menerapkan hukum perang, setiap pemberitaan dan informasi menyesatkan perlu dilokalisir dan dinetralisir dengan berbagai cara.
“Kalau saya menjadi Panglima, akan saya bangun sistem logistik.“
Kekurangan oksigen, kekurangan suplai obat, kekurangan peti mati, pemulasaraan jenazah yang mengantri, ditutupnya sementara layanan IGD, hanyalah sedikit ilustrasi lemahnya penguasaan logistik di dalam perang melawan covid-19 ini.
Sebagai panglima, saya membutuhkan penasihat-penasihat yang mumpuni, butuh perwira-perwira yang cakap.
Panglima haruslah seperti Raja Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada, pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Seperti Panglima Diponegoro dengan Kyai Mojo, pada saat menghancurkan armada kompeni.
Setiap informasi logistik dan rantai pasok di layanan kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat perlu diinventaris, didata kapasitasnya, dijaga proses produksinya. Ahli-ahli berkompeten dikumpulkan menjadi think tank, agar setiap detil kebutuhan logistik dapat terpetakan dan siap sedia mensuplai kebutuhan kesatuan dan prajurit tempurnya.
Sehebat apapun armada tempur, sebanyak apapun pasukan digelar, akan menjadi rapuh ketika logistik dan rantai pasok perang terganggu. Bukankah ini yang terjadi kepada Kekaisaran Perancis pada masa akhir Napoleon Bonaparte?
“Kalau saya menjadi Panglima, saya akan selalu berada dalam barisan terdepan.”
Panglima harus memberikan teladan yang nyata. Kehadiran panglima dalam pertempuran akan menjadi energi luar biasa bagi seluruh kesatuan dan prajurit. Kehadiran panglima akan selalu menjadi penjaga mental tempur.
Bukan tanpa risiko, tetapi menunjukkan sebuah keagungan watak dan kemuliaan ahlak, bahwa panglima juga mampu bertempur sebagaimana panglima mampu memberikan instruksi.
Keahlian dan kelihaian yang paripurna berpadu, akan menyatu dalam strategi peperangan. Peperangan tanpa kehadiran panglima, hanyalah seperti mengorbankan kesatuan dan prajurit menjadi tumbal.
Panglima harus memberikan teladan dalam menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Panglima tampil di dalam upaya promotif dan preventif. Panglima memberikan dukungan terus menerus terhadap segenap kesatuan dan prajuritnya.
Setiap panglima harus selalu mengingat perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang turut serta bergerilya melawan Agresi Belanda. Menyusuri lembah, hutan, dan gunung, berjalan ataupun ditandu. Keteladanan Panglima Besar Jenderal Soedirman, mampu menjaga semangat pertempuran di segala lapisan, bahkan dirindukan segenap rakyat di masa itu.
“Kalau saya menjadi Panglima, saya akan menegakkan keadilan.”
Dalam situasi perang atau darurat militer, sangat dimungkinkan terjadi beberapa pelanggaran. Pada dasarnya setiap manusia tidak menyukai kondisi perang dan darurat, yang mampu bertahan hanya mereka yang memiliki kesabaran dan kesadaran.
Dalam penerapan pembatasan pergerakan, seringkali dilakukan upaya penertiban. Disiplin itu penting, tetapi terhadap perut-perut yang lapar, maka perlu diberikan keadilan. Disiplin tanpa keadilan, hanya akan mengantarkan kepada konflik berkepanjangan.
Rakyat akan taat, tapi pastikan kebutuhan dasarnya terpenuhi. Mereka yang sekedar mencari sesuap nasi, maka berilah nasi. Sedang mereka yang mencari sebongkah berlian, maka haruslah menahan diri terlebih dahulu, ini bukan masanya.
Panglima harus selalu menjaga keadilan ini di dalam zona perangnya. Mengajak gotong royong segenap warga menjadi sokoguru dalam bertahan (survival). Gotong royong ini perlu dicontohkan dengan aksi nyata Panglima, bukan sekedar instruksi kosong.
Ketika prajurit atau perwira melanggar, maka keadilan juga harus diterapkan. Keadilan bukanlah sekedar bertindak keras kepada rakyat jelata, tetapi loyo kepada prajurit dan perwira yang melakukan pelanggaran. Keadilan dalam perang tetap harus dijaga.
“Kalau saya menjadi Panglima, saya akan menggunakan strategi total menyerang (ofensif).”
Strategi bertahan dalam perang lebih sulit dibanding menyerang atau ofensif. Ibarat tetesan air yang menghunjam ke batu karang, akhirnya bisa menjadikan batu karang tersebut berlubang bahkan terbelah.
Konsistensi tetesan air mampu memberikan dampak luar biasa ke batu karang. Bayangkan ketika tetesan air tadi adalah gempuran virus ini dalam berbagai bentuknya.
Virus pada dasarnya tidak dapat bergerak sendiri. Ia memerlukan inang untuk bisa bertahan hidup. Manusia yang bergerak secara masif, dari kota ke kota, dari kota ke desa, atau bahkan dari satu pulau ke pulau lain. Dalam berperang melawan covid-19 maka harus mengetahui letak keberadaan musuh-musuh itu.
Strategi total menyerang ini dilakukan dengan cara melakukan pengetesan setiap jiwa yang berpotensi menjadi inang virus. Setiap pelaku perjalanan, setiap birokrat yang bekerja di lapangan, dan setiap orang yang senantiasa berinteraksi dengan banyak orang.
Secara otomatis, kapasitas tes dan laboratorium harus ditingkatkan menjadi 10-20 kali lipat. Pengetesan selama ini, sedari awal sudah jauh dari standar negara-negara maju yang ada, entah diakui atau tidak. Bagaimana mungkin bisa menyerang, sedangkan musuhnya tidak terdeteksi.
Bertahan membiarkan virus dan inangnya bergerak secara bebas, seolah seperti membiarkan api membakar dedaunan kering, akan menimbulkan kobaran besar pada akhirnya.
Penyiapan lokasi-lokasi penampungan terhadap yang terindikasi tidak bergejala atau bergejala ringan perlu ditingkatkan. Pelibatan birokrat-birokrat di sektor non-esensial perlu ditingkatkan sebagai agen penyuluh atau pemantau masyarakat. Bukan malah berpura-pura membuat kebijakan kerja dari rumah tetapi ternyata hanyalah presensi di atas kertas atau sistem informasi.
Pelibatan pelanggar aturan perang atau darurat militer, dipusatkan di titik-titik kritikal pertempuran. Para pelanggar aturan protokol kesehatan apalagi pemberontak anti covid, perlu dimanfaatkan energinya di relawan ambulan, relawan pemakaman, relawan pemantauan isolasi mandiri, atau bahkan di relawan oksigen atau relawan donor.
Epilog
Pada akhirnya, menjadi panglima perang melawan covid harus benar-benar paham filosofi ‘Si Vis Pacem Para Bellum’. Janganlah teriak-teriak menginginkan perdamaian, sedangkan tidak pernah siap untuk berperang.
Jangan pula sekadar berperang tetapi ternyata tidak mempunyai kapasitas yang mumpuni. Pesan agung sepanjang masa selalu berlaku di setiap zaman, apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
Bangsa dan negara ini terlalu indah untuk dikorbankan, rakyat negeri ini terlalu berharga untuk ditumbalkan. Kebangkitan dalam pertempuran melawan covid-19 hanya akan terjadi, selama setiap pemangku kepentingan berlandaskan keilmuan yang benar, bukan kepada aspek ekonomi yang semakin lama semakin terpuruk.
Keyakinan akan kemenangan adalah pijakan awal untuk kebangkitan negeri yang sesungguhnya.
Konsultan independen bidang pengadaan barang dan jasa. Sebelumnya pernah berkiprah di birokrasi sebagai PNS dan resign dari PNS setelah dipinang oleh sebuah consulting firm dari USA. Ditengah kesibukannya sebagai praktisi, narasumber, konsultan di beberapa KLDI dan aktif mendorong fleksibilitas pengadaan sektor BLU berbasis manajemen rantai pasok, serta pemberi keterangan ahli dalam perkara terkait pengadaan barang dan jasa.
Masya Allah,
Keren sekali mas Atas, Sang Panglima
Maturnuwun mbak, semoga bermanfaat bagi oemangku kepentingan yg mungkin membaca
Saya sudah baca & cermati tulisan anda sampai habis termasuk profil anda sebagai Konsultan independen bidang pengadaan barang dan jasa.
Tetapi pada paragraf kedua epilog tertulis Pesan agung sepanjang masa selalu berlaku di setiap zaman, apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
Akhirnya saya menjadi tidak percaya tulisan anda, khawatir terjadi kehancuran.
Itu khan fantasi atau mimpi, jadi jangan dipercayai., kecuali memang ada kebaikan disana. Hehehe
Mrinding broo…panglima-panglima kecil harus bersatu padu melawan satan covid, beri dukungan konkrit kepada panglima besar. Majuuuu…serbuuuu…seraaang !!!
Tulisan ini adalah ajakan kebaikan untuk segenap komponen bangsa. Saatnya sadar dan menengok kembali ke para pahlawan negeri, yang telah berkorban harta, jiwa dan raga
Mantap 👍Semoga panglima di negeri ini tahu akan kedudukan dan fungsinya, tahu akan nasib rakyatnya …..
Doakan umaro dan ahli ilmu serta ulama negeri, agar pandemi segera berlalu
keren mas yudha.
barokallah
Tulisan ini adalah ajakan kebaikan untuk segenap komponen bangsa. Saatnya sadar dan menengok kembali ke para pahlawan negeri, yang telah berkorban harta, jiwa dan raga