Bela Negara adalah kewajiban semua warga negara untuk mempertahankan eksistensi bangsa di tengah gempuran berbagai ancaman yang dapat meruntuhkan. Bela Negara di masa sekarang tentu saja berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pendahulu.
Namun demikian, kita tetap perlu belajar dari perjuangan para pendahulu yang dengan kemampuannya melakukan bela negara untuk mengusir para penjajah.
Dari sejarah kita tahu, upaya bela negara secara langsung dengan senjata dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia dari berbagai usia, dan juga dilakukan oleh pria dan wanita.
Perjuangan dengan Bersenjata dan Pemikiran
Pada umumnya, perjuangan bersenjata melawan penjajahan dilakukan oleh kaum pria karena peperangan adalah situasi berbahaya bagi wanita. Namun ternyata, di antara para pahlawan itu, terselip kisah-kisah heroik dari para pejuang wanita, yang dengan gagah berani melawan penjajah yang dilengkapi dengan senapan dan meriam.
Laksamana Malahayati dan Cut Nya’ Dhien dari Aceh, Nyimas Gamparan dari Banten, Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah, dll. Merekalah di antara para perempuan pejuang tersebut.
Selain itu, para wanita melawan penjajahan dengan cara yang lebih halus yaitu menyadarkan bangsa bahwa bangsa Indonesia harus merdeka dan penjajahan harus dilenyapkan.
R.A. Kartini dari Jepara, Dewi Sartika dari Jawa Barat, H.R. Rasuna Said dari Padang adalah nama-nama para pahlawan wanita yang mengambil jalan yang berbeda.
Namun kedua upaya perlawanan itu memberikan pengaruh yang luar biasa dan kelak di kemudian hari menginspirasi para pemuda untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan.
Jepara: Melahirkan Keduanya
Berbicara tentang pahlawan wanita, ada sebuah fakta menarik tentang Jepara, sebuah daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Jepara melahirkan para pejuang wanita yang memiliki 2 karakter yang sangat berlawanan, yaitu pejuang yang gigih mengangkat senjata melawan penjajah di medan perang dan yang melakukan perlawanan dengan “pena” untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat di sekitarnya agar berjuang melawan penjajahan untuk mendapatkan kemerdekaan.
Jepara memiliki 3 pejuang wanita yang memiliki 2 karakter tersebut, yaitu pejuang wanita yang berjuang di garis terdepan peperangan dan yang berjuang di garis depan pendidikan kesadaran berbangsa.
Selama ini masyarakat hanya tahu bahwa Jepara adalah daerah penghasil kerajinan ukiran pada kayu yang dibuat menjadi furnitur atau pernak-pernik hiasan di rumah. Sampai saat ini, kerajinan ukiran kayu Jepara masih bertahan dan menjadi sumber penghasilan masyarakat Jepara.
Di seluruh wilayah Jepara, masyarakat membuat ukiran kayu yang produknya dijual ke seluruh wilayah Indonesia dan bahkan banyak pula yang diekspor ke luar negeri.
Jepara juga terkenal dengan wisata alamnya yaitu pantai-pantai berpasir putih yang membentang sepanjang garis pantai kabupaten Jepara. Garis pantai Jepara adalah sepanjang 80 KM.
Selain itu ada tempat wisata yang juga sudah sangat terkenal, yaitu Karimun Jawa di mana wisatawan dapat melaksanakan kegiatan bawah laut seperti snorkeling atau diving untuk menikmati keindahan alam bawah laut. Jepara juga berada di kaki Gunung Muria sehingga wisata gunung pun sudah banyak didirikan.
Dari sisi perjuangan, Jepara juga dikenal dengan sosok pahlawan wanita, R.A. Kartini. Namun rupanya jejak kepahlawanan Kartini itu mengikuti jejak perjuangan wanita-wanita hebat di masa sebelumnya, yaitu Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat.
Dengan kondisi itu, maka Pemerintah Kabupaten Jepara mendirikan Monumen Tiga Pejuang Wanita di pintu masuk kota Jepara.
Selain RA Kartini: Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat
Sosok R.A. Kartini sudah banyak diteliti dan ditulis oleh banyak tokoh, bahkan tanggal lahirnya pun ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional, sebuah tonggak perjuangan kaum wanita untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan.
Namun informasi tentang 2 pejuang wanita lainnya, yaitu Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat sangatlah minim.
- RATU SHIMA: Cerdas, Adil, dan Emansipatif
Ratu Shima yang hidup pada abad ke-6 adalah ratu kerajaan Kalingga yang terletak di Jepara. Ratu Shima memerintah kerajaan Kalingga setelah suaminya wafat. Ratu Shima berhasil membawa Kerajaan Kalingga mencapai puncak kejayaan.
Ratu Shima memerintah dengan sangat keras, tegas, tetapi juga adil, sehingga rakyatnya hidup dengan aman, tertib, dan teratur. Dengan kondisi seperti itu, maka Kalingga menjadi pusat agama Buddha dan Hindu di Pulau Jawa.
Hal ini bisa dilihat dari peninggalannya berupa Candi Bubrah dan Candi Angin yang terletak di lereng Gunung Muria, tepatnya di desa Tempur.
Selain terkenal karena kecantikan dan kecerdasannya, Ratu Shima juga masyhur dengan ketegasannya. Ratu Shima memberlakukan hukuman potong tangan bagi siapapun yang melakukan pencurian termasuk keluarga kerajaan. Karena sikapnya yang tegas, seluruh rakyat Kalingga menaati hukum tersebut.
Sikap ketegasannya lebih terlihat ketika Sang Ratu memerintahkan memotong kaki anaknya, Pangeran Narayana, karena menyenggol barang berharga yang ditinggalkan di alun-alun kerajaan oleh orang asing yang ingin menguji ketaatan rakyat Kalingga akan aturan yang tegas pencurian barang orang lain.
Awalnya Sang Ratu ingin menghukum mati anaknya karena hukuman untuk anggota kerajaan lebih berat daripada hukuman yang diterima oleh rakyatnya.
Namun, Dewan Menteri memohon pengampuan sehingga hukuman diringankan menjadi memotong ibu jari kaki yang menyenggol barang berharga tadi. Pada akhirnya, Pangeran Narayana ini akan menjadi raja Kalingga Selatan setelah Ratu Shima wafat.
Dari pernikahannya dengan Raja Kartikeyasingha, Ratu Shima mempunyai 2 anak yaitu Putri Parwati dan Pangeran Narayana. Sebelum wafat, Ratu Shima membagi 2 kerajaan Kalingga untuk kedua anaknya.
Putri Parwati menjadi Ratu di Kerajaan Kalingga Utara dan Pangeran Narayana menjadi Raja di Kerajaan Kalingga Selatan. Dengan adanya pembagian yang setara antara kedua anaknya ini, maka sepeninggal Ratu Shima, tidak ada perebutan kekuasaan atas tahta Kerajaan Kalingga.
Keputusan pembagian kerajaan secara adil menyiratkan bahwa Ratu Shima sudah melakukan emansipasi dan kesetaraan perlakuan kepada kedua anaknya yang berbeda gender.
- RATU KALINYAMAT
“Rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige dame” adalah gelar yang disematkan Portugis kepada Ratu Kalinyamat, wanita pejuang dari Jepara selanjutnya.
Gelar ini berarti “Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani.” Ratu Kalinyamat memerintah di Jepara selama 30 tahun, yaitu pada tahun 1549-1579.
Ratu Kalinyamat bernama asli Retno Kencono, putri dari Sultan Trenggono (Demak). Ia kemudian menikah dengan Sultan Hadlirin, seorang pendakwah asal Aceh yang bernama asli Thoyib dan mengembangkan daerah Kalinyamat di wilayah Jepara.
Sultan Hadlirin dibunuh oleh suruhan Arya Penangsang dalam perjalanan kembali ke Jepara setelah menghadap Sunan Kudus untuk menyampaikan protes atas pembunuhan kakak kandung Ratu Kalinyamat oleh Arya Penangsang.
Dengan gugurnya Sultan Hadlirin, Retno Kencono akhirnya meneruskan tahta menjadi Ratu Kalinyamat dan memerintah Jepara selama 30 tahun.
Kekuatan Politik, Militer, dan Ekonomi
Sang Ratu memberi perhatian besar pada bidang politik dan militer. Dia berhasil membangun kekuatan angkatan laut yang besar dan kuat, serta mengembangkan potensi kemaritiman yang dimiliki Jepara.
Selama pemerintahannya, Jepara menjadi kerajaan bahari di mana rakyatnya hidup tenteram dengan mengandalkan laut sebagai sumber utama penghidupannya.
Seorang ahli sejarah bernama Burger menyatakan bahwa Ratu Kalinyamat memiliki empat kota pelabuhan yaitu Jepara, Juana, Rembang, dan Lasem.
Pelabuhan-pelabuhan itu berfungsi sebagai tempat transit dan juga menjadi pengekspor gula, madu, kayu, kelapa, dan palawija, komoditas perdagangan antarpulau bahkan antarbangsa.
Bahkan pada saat itu, Pelabuhan Jepara sudah bisa melayani kapal dagang yang memiliki muatan 200 ton. Ratu Kalinyamat pun sangat disegani rakyatnya berkat jasanya membawa Jepara mencapai masa keemasan dengan menjadi kota pelabuhan yang maju dan dilengkapi armada laut yang kuat.
Tak Terkalahkan oleh Portugis
Dengan kekuatan armada lautnya, Pulau Jawa tidak berhasil diinvasi oleh Portugis karena memperhitungkan kekuatan armada laut Jepara di bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Ratu Kalinyamat, sebagaimana kakeknya Raja Demak Raden Patah, sangat anti kepada Portugis karena berupaya mengganggu kedaulatan Kerajaan Demak setelah Portugis menguasai Malaka.
Perlawanan terhadap Portugis diteruskan oleh Pati Unus, menantu dari Raden Patah yang tak lain adalah kakak ipar dari Ratu Kalinyamat. Walaupun mengalami kegagalan dalam penyerangannya, Pati Unus terus melakukan perlawanan sehingga akhirnya ia pun gugur di medan perang.
Hidup di dalam lingkungan yang selalu melakukan perlawanan terhadap Portugis membentuk sikap yang sama dari Ratu Kalinyamat. Sang Ratu beberapa kali melakukan pengiriman tentara Jepara untuk memerangi Portugis di berbagai tempat.
Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan Portugis. Pasukan Jepara itu kemudian bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang.
Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka. Namun dengan persenjataan yang lebih banyak dan lebih modern Portugis berhasil membalikkan keadaan.
Pasukan Persekutuan Melayu dapat dipukul mundur, sementara pasukan Jepara masih bertahan. Dengan 2000 tentara yang selamat, tentara Jepara ini melakukan pertempuran di laut melawan Portugis yang memiliki senjata yang lebih modern.
Namun demikian, upaya perlawanan tentara Jepara dapat diatasi dan akhirnya tentara Ratu Kalinyamat kembali ke Jepara.
Membantu Ambon, Aceh, dan Malaka
Pada tahun 1565 Ratu Kalinyamat mengirimkan pasukan ke Maluku untuk memenuhi permintaan Sultan Tanah Hitu di Ambon yang sedang menghadapi gangguan dari bangsa Portugis dan kaum Hative.
Dengan bantuan tentara dari Jepara, Sultan Hitu berhasil mengusir Portugis dari Ambon. Pada tahun 1573, Sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk menyerang Portugis di Malaka kembali.
Belajar dari pertempuran tahun 1550, Ratu mengirimkan armada yang lebih besar, yaitu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara.
Pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana itu baru tiba di Malaka bulan Oktober 1574 di mana pasukan Aceh sudah dikalahkan oleh Portugis.
Perjuangan Ratu Kalinyamat sebagai pemimpin Jepara akhirnya diteruskan oleh anak angkatnya yang sebenarnya adalah adik sepupunya, Pangeran Arya Jepara.
Ratu Kalinyamat tidak memiliki anak kandung dari pernikahannya dengan Sultan Hadllirin sehingga penerus tahta diserahkan kepada anak angkatnya yang merupakan anak dari Sultan Banten Sultan Maulana Hasanuddin yang menikah dengan Ratu Ayu Kirana (bibi dari Ratu Kalinyamat).
Inspirasi dari 3 Pejuang Wanita
Semangat 3 pejuang wanita Jepara ini pada akhirnya menginspirasi para pemuda untuk berjuang mendapatkan kemerdekaan.
Perjuangan mengangkat senjata di berbagai tempat serupa dengan perjuangan Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat, sementara perjuangan dengan pena yang dilakukan oleh para pemuda seperti Ir. Soekarno, Sutan Syahrir, M. Hatta, H. Agus Salim.
Kombinasi dari kedua perjuangan ini membuat kemerdekaan Indonesia dapat diraih pada tahun 1945. Lalu kini, setelah bangsa Indonesia merdeka, apakah para wanita pejuang inspiratif penerus Kartini, Ratu Shima, dan Kalinyamat masih ada?
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Ratu_Kalinyamat
Seorang PNS yang menjalani pekerjaan di bidang diklat selama 21 tahun, pemegang Magister Ilmu Ekonomi dari FEUI dan sempat mencicipi dunia early childhood education ketika CTLN selama 3 tahun karena mengikuti suami di Melbourne. Lahir dan besar di Jakarta, tetapi sempat mencicipi penugasan di Palembang dan Cimahi.
0 Comments