Indonesia pertama kali meluncurkan kebijakan jaring pengaman sosial pada krisis ekonomi 1997-1998. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat yang tergolong ke dalam kategori miskin dan sangat miskin.
Bentuk kebijakan jaring pengaman sosial yang dilaksanakan pertama kali, yaitu ketahanan pangan (operasi pasar terbuka beras), pendidikan (JPS beasiswa miskin), kesehatan (kartu sehat), penciptaan lapangan kerja (program padat karya), dan pemberdayaan masyarakat (PDM-DKE).
Pada tahun 2008, dunia mengalami krisis keuangan yang dimulai dari Amerika. Pemerintah Indonesia kembali menerapkan kebijakan jaring pengaman sosial dengan perubahan yang jauh lebih signifikan dari tahun 1998.
Namun pada tahun 2008, pemerintah hanya berfokus pada jaringan sistem keuangan atau pengentasan masalah di level makro ekonomi. Alasannya, karena tidak semua kalangan terdampak oleh krisis ini.
JPS di Masa Pandemi
Krisis pandemi Covid-19 kembali memaksa pemerintah untuk menerapkan kebijakan jaring pengaman sosial (JPS) secara besar-besaran. Pandemi covid-19 menyebabkan angka kemiskinan dan ketimpangan meningkat secara signifikan, begitupun dengan pertumbuhan ekonomi yang juga menurun secara signifikan.
Kebijakan JPS yang berlaku pada krisis karena pandemi covid-19 ini mirip dengan kebijakan serupa pada tahun 1998, yaitu berupa Program Keluarga Harapan (BLT), kartu sembako dan cadangan pemenuhan kebutuhan bahan pokok yang mirip dengan operasi pasar terbuka, kartu Pra-Kerja dengan program Padat Karya, diskon tarif listrik, dan keringanan pembayaran kredit untuk sektor informal.
Terlepas dari 3 krisis besar yang pernah melanda Indonesia, yang menyebabkan munculnya kebijakan jaring pengaman sosial di sejumlah sektor, beberapa jaring pengaman sosial tetap berjalan walaupun tidak terjadi krisis.
Hasil Riset Bank Dunia mengestimasi bahwa jaring pengaman sosial telah membantu sekitar 36% penduduk termiskin di dunia. Jaring pengaman sosial juga membantu mengurangi ketimpangan sosial, yakni dengan mengurangi kedalaman kemiskinan absolut sebesar 45%.
Artinya, jaring pengaman sosial juga berfungsi mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Berdasar pada beberapa hasil riset yang sejalan dengan hasil riset Bank dunia tersebut, Indonesia menerapkan pula jaring pengaman sosial guna mengentaskan kemiskinan.
Namun, apakah kebijakan tersebut benar- benar mengurangi angka kemiskinan di Indonesia atau justru sebaliknya? Padahal, anggaran negara yang digelontorkan untuk pengentasan kemiskinan ini tidaklah sedikit.
JKN dan Pengentasan Kemiskinan
Faktor yang berperan penting dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia antara lain pendapatan, upah, Kesehatan dan Pendidikan. Pemerintah telah menyelenggarakan berbagai kebijakan jaring pengaman sosial guna mengentaskan kemiskinan di Indonesia, salah satunya melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS) sejak awal tahun 2014.
Salah satu kebijakan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan program JKN adalah pembayaran iuran JKN bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Kelompok masyarakat yang menerima subsidi iuran JKN ini disebut sebagai kelompok peserta Penerima Bantuan Iuran atau PBI, yang dapat digolongkan sebagai masyarakat miskin dan rentan kemiskinan.
Jumlah PBI yang jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional yang berkisar 9,41% di tahun 2019 menunjukkan dukungan pemerintah dalam percepatan capaian cakupan Kesehatan semesta (Universal Health Coverage – UHC). Besaran total subsidi PBI yang dibiayai Anggaran Pusat Belanja Negara (APBN) di tahun 2019 telah mencapai Rp 48,8 triliun.
Penduduk yang dimasukkan ke dalam kepesertaan Penerima Bantuan iuran (PBI) tidak hanya penduduk miskin sesuai perhitungan BPS. Sebab secara internasional, jaminan sosial lazimnya diberikan kepada 40% penduduk yang memiliki penghasilan terendah, bukan hanya yang masuk dalam kategori penduduk miskin.
Jumlah PBI JKN sejak tahun 2016 hingga tahun 2019 terus mengalami peningkatan. Hal tersebut berdampak pada jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun 2016 – 2019 yang mengalami penurunan.
Bahkan, jumlah PBI JKN pada tahun 2019, 5 kali lipat lebih banyak dari jumlah penduduk miskin di Indonesia. Penduduk yang masuk kategori PBI adalah penduduk miskin dan 40% penduduk yang memiliki penghasilan terendah.
Hal ini menunjukkan bahwa, 40% penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan terendah adalah sebanyak 135 juta jiwa dari total 270 juta jiwa penduduk Indonesia pada tahun 2019. Setengah dari total populasi penduduk Indonesia sangat rentan jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Lantas, yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kebijakan jaring pengaman sosial ini, benar-benar dapat menolong masyarakat yang berada di pinggir jurang kemiskinan?
Epilog: Mengubah Mindset “Miskin”?
Memang benar, bantuan pemerintah yang disalurkan dalam bentuk JKN membantu masyarakat miskin dari segi kesehatan, tetapi kebijakan ini tidak mengubah mindset masyarakat miskin di Indonesia. Data di atas menunjukkan bahwa hingga tahun 2019 (data sebelum covid-19), pemerintah harus membayar iuran BPJS setengah dari populasi penduduk Indonesia.
Bagaimana setelah pandemi Covid-19 melanda? Memperhatikan berbagai fenomena, data kemiskinan dan jumlah penerima bantuan ini bisa jadi meningkat menjadi lebih tinggi.
Yang dikhawatirkan, bahwa hingga saat ini mindset penduduk miskin di Indonesia, hanya terbiasa untuk menerima bantuan/iuran yang berasal dari pemerintah tanpa pernah berpikir untuk memanfaatkan bantuan yang ada tersebut untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.
Lalu, menjadi refleksi bagi kita semua, di mana kah masalahnya, dan bagaimana memperbaikinya. Agar puluhan hingga ratusan Triliun Rupiah uang negara yang dianggarkan untuk kesejahteraan masyarakat, benar-benar ada manfaatnya.
Seorang ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seseorang yang sedang belajar untuk mewujudkan cita-citanya, menjadi seorang penulis.
0 Comments