Jangan Mau Jadi Presiden Indonesia!

by | Aug 5, 2021 | Motivasi, Refleksi Birokrasi | 0 comments

Picture by: Viqha Felayati

Setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertangungjawaban!!!

Bagi setiap muslim dewasa, kalimat di atas pasti sudah terhafal di luar kepala. Perkataan Sang Nabi tentang kepemimpinan tersebut sudah menjadi materi yang diajarkan oleh ustadz, ajengan maupun kyai dalam setiap ceramah, pengajian, atau sekedar haflah kecil; ketika membahas tentang kepemimpinan.

Adalah sebuah kalimat yang berat. Yang jika kita renungi, memiliki daya magis yang mampu menggerakkan setiap kita untuk berbuat terbaik dalam setiap kapasitas kita. Kalimat di ataslah yang mampu menciptakan pemimpin-pemimpin hebat di masa-masa yang lalu. Pemimpin seperti Sayyidiina Umar bin Khatab, Umar Bin Abdul Azis, atau bahkan yang paling akrab dengan kita, Sang Proklamator yang Jujur, Muhamad Hatta.

Jujur hati penulis selalu bergetar setiap kali mendengar kalimat ini. Kalimat ini seolah menegur dan mengingatkan penulis,  bahwa jika bukan karena belas kasihan Tuhan, kobaran api neraka berada sepelemparan batu dari wajah, bahkan mungkin lebih dekat lagi.

Hitung-hitungannya sederhana. Jika setiap manusia adalah pemimpin dan jika setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban, maka seseorang yang tidak memiliki apapun misalnya, akan dimintai pertanggungjawaban setidaknya atas tangan yang ia miliki, atas kaki yang ia langkahkan, atas mata yang ia gunakan untuk melihat, atau yang paling kecil atas bisikan di dalam hati.

Renungan Pribadi: Memikul Bumi di Atas Pundak

Kepada penulis yang saat ini mendapatkan amanah menduduki jabatan administrator, sudah pasti lebih banyak lagi yang akan diperhitungkan. Setiap keputusan yang dibuat, setiap imbalan yang diterima, setiap perintah yang terlontar. Pasti! Itu semua akan menjadi komponen penentu nasib penulis di akhirat kelak.

Itu untuk setiap hal yang penulis lakukan. Bagaimana dengan bawahan penulis? Setiap perilaku bawahan yang datang akibat keabaian penulis, setiap pelencengan yang dilakukan bawahan akibat kelengahan penulis. Tentu saja itu akan menjadi faktor kunci masa depan penulis.

Bayangkan! Memastikan diri sendiri saja luput dari kesalahan bukanlah hal mudah. Memastikan setiap ucapan tak menyakiti saja tidak gampang. Memastikan setiap langkah ke arah yang baik saja bukan perkara enteng. Apalagi untuk mempertanggungjawabkan anak buah dan rakyat.

Seperti memikul seluruh bumi di atas pundak.

Mungkin, pemikiran inilah yang menyebabkan para pemimpin soleh jaman dahulu kurus kering saat menjadi pemimpin. Lihatlah bagaimana Sayyidina Umar tak dikenali sebagai khalifah oleh seorang pengembara karena tampilannya yang seperti gelandangan.

Sebuah penampilan yang mungkin belum pernah kita temui pada pemimpin-pemimpin di masa sekarang ini (termasuk penulis jika penulis dapat dianggap sebagai pemimpin). Dengan demikian, tulisan ini bukanlah untuk mengkritisi siapapun selain penulis sendiri.

Jelas tulisan ini tidak ditujukan kepada siapapun agar mulai merenung tentang posisinya selain kepada penulis sendiri. Clear! Tulisan ini bukan untuk menjewer telinga siapapun selain telinga penulis sendiri. Apalagi jika ditujukan kepada Bapak Presiden, meski namanya disebut dalam judul. Bukan! Sama sekali bukan ditujukan pada beliau.

Arti Menjadi Pemimpin

Meskipun sesungguhnya beban yang dipikul oleh seorang pemimpin begitu berat, rupanya hal tersebut tidak menyurutkan antusiasme untuk menjadi pemimpin. Pemimpin pemerintahan terutama, tetap menjadi daya tarik bagi banyak manusia untuk berlomba-lomba mendudukinya.

Di dalam birokrasi organisasi pemerintahanpun, tak kalah ramai orang berburu jabatan. Di kursi-kursi panas jabatan sektor privat, hal yang sama berlaku. Sesungguhnya apa yang mendorong seseorang begitu berapi-api merengkuh jabatan?

Sebenarnya tidak perlu pembahasan mendalam tentang hal ini. Secara terang benderang hal itu jelas dikarenakan begitu menariknya segala kemewahan pemimpin. Penghasilan, fasilitas, penghormatan, bahkan kekuasaan melekat pada posisi seorang pemimpin.

Semua hierakhi kebutuhannya Maslow dapat terpenuhi dengan menduduki kursi-kursi kepemimpinan. Kebutuhan fisiologi, rasa aman, penghormatan, aktualisasi diri, semua itu menunggu untuk dinikmati dengan berada dalam posisi seorang pemimpin.

Maka jargon seperti:

“Menjadi pemimpin karena dorongan rakyat!”

“Jika orang baik berdiam diri maka kejahatan akan menang”

“Menjadi pemimpin adalah panggilan hati”

Mohon maaf semua itu omong kosong. Sejujurnya, menariknya menjadi pemimpin adalah karena berbagai kemudahan bagi kehidupan kita yang fana ini. Kemudahan penghasilan, kemudahan akses dan segala kemudahan lainnya.

Jika orang lain harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya, pemimpin tinggal menunggu tanggal yang tepat untuk menarik tunai dari rekening pribadinya. Jika yang lain harus antri, pemimpin memiliki keistimewaan. Jika orang lain was-was atas keamanannya, pemimpin mendapatkan perlindungan dari sekeliling kekuasaannya.

Lantas Apakah Menjadi Pemimpin Adalah Salah?

Tidak! Sama sekali tidak. Meskipun tujuannya sesederhana seperti yang saya sebutkan di atas. Tidak! Menjadi seorang pemimpin dan keinginan untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah salah. Bukankah memang naluri manusia untuk mempertahankan hidupnya dan membuat hidupnya senyaman mungkin?

Hanya saja menjadi pemimpin tidaklah mudah! Ia tidak tidak hanya berarti berbagai keistimewaan dan kemudahan saja. Bersamanya hadir juga tanggung jawab dan pengorbanan. Dua hal terakhir itulah yang jika kita luput  memaknainya akan menjadikan kesalahan bagi seorang pemimpin.

Seorang kepala desa wajar mendapatkan berbagai keistimewaan sebagai pemimpin sebuah desa. Tapi ingat perangkat desa, sistem pemerintahan desa dan seluruh rakyat di desa itu adalah tanggung jawabnya.

Tanggung jawab yang akan menuntut pengorbanan yang seharga dengan berbagai keistimewaan itu. Satu orang warga desa tersebut tidak makan lantas kelaparan hingga meninggal dunia, adalah tanggung jawab Sang Kepala Desa.

Seorang kepala daerah lumrah dan sah mendapatkan pengawalan pribadi. Keamanannya menjadi prioritas utama daerah. Tapi  ingat, satu orang perempuan berjalan di tengah malam lantas mendapatkan pelecehan oleh segerombolan lelaki di wilayah paling ujung daerahnya, menjadi tanggung jawab Sang Kepala Daerah.

Tanggung jawab ini yang akan menuntut pengorbanan seharga nyawa Sang Kepala Daerah.

Bagaimana bagi seorang Presiden? Dari ujung timur sampai ujung barat, dari utara sampai selatan. Setiap jengkal wilayah kekuasaannya, setiap jiwa yang yang berada di atasnya, setiap tawa dan tangis di sana, semuanya menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab yang akan menuntut pengorbanan melebihi nyawanya.

Kalau demikain, masih ingin menjadi Presiden?

Kondisi Indonesia (Lebih Berat)

Mungkin saja beban yang dipikul di atas pundak itu tidak akan bertambah berat jika aspek penunjang pemerintahan kuat dan mampu saling menguatkan. Namun ada syaratnya: jika dan hanya jika.

Jika sumber daya berlimpah dengan pengelolaan yang berjalan efektif dan efisien. Jika masyarakat dan pemerintah serta dunia usaha berjalan beriringan dan saling mendukung. Jika setiap kelompok kepentingan memahami posisi dan kondisi bangsa untuk saling memperhatikan dalam kebaikan.

Permasalahannya Indonesia jauh dari kondisi ideal tersebut. Pada aspek sumber daya, Indonesia bukannya kekurangan potensi melainkan gagal mengolah potensi menjadi barang jadi yang siap pakai.

Memang bukan perkara mudah untuk melakukan hal ini. Potensi yang begitu terhampar luas mulai dari jumlah penduduk,  kondisi geografi, kekayaan alam di perut buminya, heterogenitas budaya dan kesenian, semua itu hanya terhenti sebatas potensi, belum menjadi sebuah barang jadi yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pada aspek pengelolaan, harus jujur kita akui bahwa hingga saat ini kita masih gagal untuk menciptakan pengelolaan yang efektif. Sistem politik dan sistem pemerintahan (birokrasi) belum berjalan sesuai harapan, sehingga setiap rencana dan keinginan bangsa belum dapat menemui kenyataan.

Kebiasaan negatif, seperti korupsi, kelalaian, ketumpangtindihan, miskoordinasi, mismanajeman, maladministrasi masih mengkhiasi jalannya roda pemerintahan hingga saat ini. Kolaborasi antara: pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha di satu sisi juga masih berjalan dengan kecenderungan pragmatisme ketimbang idealisme.

Jangan Mau Jadi Presiden

Kritikan dan pressure mengarah pada adegium yang selama ini kita kenal “UUD”. Sebuah kondisi yang kontraproduktif terhadap upaya perbaikan bangsa. Hal ini tentu saja menambah beban yang dipikul di pundak setiap pemimpin sebuah negeri yang bernama Indonesia. Yang semula berat menjadi lebih berat.

Kenyataannya kesejahteraan rakyat masih belum terwujud, korupsi yang masih memuncaki perilaku para birokrat, kelalaian dan ketumpangtindihan yang masih menggerogoti organisasi pemerintah, praktik-praktik persekutuan menyimpang antara pemerintah dan dunia usaha yang masih kental dalam proyek raksasasa maupun proyek kurcaci, serta perilaku masyarakat yang cenderung pragmatis.

Semua itu adalah tanggung jawab seorang presiden Indonesia. Tanggung jawab yang akan menuntut pengorbanan seluruh hidupnya.

Maka jika tidak terpaksa, jangan mau menjadi Presiden Indonesia. Sebab, dari Sabang sampai Merauke, setiap jengkal tanahnya, setiap jiwa di atasnya, setiap tangis dan tawanya, semua itu adalah beban yang akan dipikul di pundak seorang presiden. Akan tetapi, jika memang sanggup, silakan.

Epilog

Sekali lagi tulisan ini bukan untuk mengingatkan siapapun selain penulis sendiri bahwa setiap posisi sebagai pemimpin atau pimpinan, bersamanya terdapat keistimewaan, fasilitas, kemudahan, di satu sisi. Dan, terdapat tanggung jawab dan pengorbanan di sisi yang lain. Jangan picik dengan hanya memilih sisi yang indah dan menolak sisi lainnya.

Jika menghendaki untuk merengkuh posisi seorang pemimpin, maka terimalah dengan segenap kesadaran semua atribut yang melekat bersamanya. Fasilitasnya, keistimewaanya, semuanya halal selama telah tersurat dalam ketentuan. Namun, bersiap pulalah dengan segala tanggung jawab dan pengorbanannya.

Ingat! Seorang pemimpin tidak pernah mengambil keputusan yang mudah. Tidak pernah berada dalam kondisi yang nyaman. Tidak pernah pernah hanya dikelilingi para sahabat. Pemimpin selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan terbaik di antara pilihan yang buruk.

Pemimpin selalu harus bertanggung jawab terhadap kesalahan bawahannya. Pemimpin selalu memiliki lawan selain kawan. Pahamilah itu. Lalu, silakan memilih.

Wallahu a’lam bisshawwab

5
0
Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Author

Praktisi pemerintahan yang bernama pena inspekturrojali. Penulis adalah seorang PNS Camat Talegong Kabupaten Garut, Jawa Barat.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post