Malam itu, kantin mess pertambangan di tengah sebuah hutan Kalimantan mulai sepi. Seorang laki-laki setengah baya mendatangi meja saya yang masih kosong dan meminta izin untuk bergabung. Saya mempersilakan dengan senang hati, dan tak lama kemudian kami pun terlibat dalam obrolan yang akan selalu saya ingat bertahun-tahun kemudian.
Siapa dia? Namanya, sebut saja, N. Ia bekerja sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan Amerika yang memasok material khusus untuk berbagai industri. Saya sendiri saat itu sedang dalam penugasan sebagai konsultan untuk implementasi UK Bribery Act (UKBA), yakni undang-undang anti-penyuapan Inggris.
Ketika N bertanya lebih jauh mengenai pekerjaan saya, saya hanya menjawab seperlunya. Bertahun-tahun bekerja sebagai konsultan kejahatan keuangan mengajarkan saya untuk tahu diri.
Ya tahu diri, karena hampir setiap kali saya terlibat obrolan mengenai penerapan sistem anti-penyuapan pada perusahaan swasta, lawan bicara saya selalu menjawab dengan skeptis.
Frase “ini Indonesia”, “suap sudah menjadi budaya”, “bisnis memang begitu”, dan seterusnya, selalu saya dengar.
Jadi saya benar-benar terkejut waktu N merespon, “Wah, menarik Mas. Sudah waktunya pencegahan korupsi di sektor swasta ditangani dengan lebih serius.”
Dari situlah N menceritakan pengalaman uniknya sebagai manajer di perusahaan Amerika yang wajib menetapkan US Foreign Corrupt Practices Act (FCPA). Mirip dengan UKBA, FCPA adalah undang-undang Amerika yang melarang perusahaan Amerika menyuap pejabat pemerintah di luar negeri.
Beberapa tahun sebelumnya, menurut ceritanya, N hampir saja mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Ia mengambil keputusan itu setelah diminta memimpin tim penjualan dengan target khusus proyek -proyek pemerintah dan BUMN.
Sambil menyerahkan surat pengunduran diri, N mengatakan kepada atasannya, Direktur Pemasaran, “Boss, this is Indonesia. There’s no way you can sell to government entities without paying anything.”
Atasannya, seorang warga negara India, memintanya duduk dan mengajaknya bicara. Direktur tersebut bercerita bahwa ia pernah berada dalam posisi yang sama sewaktu menjadi manajer penjualan di India.
Sambil tersenyum sang bos mengatakan, “Kamu tahu India kan, kurang korup apa coba?” Tapi pada saat itu ia bersedia untuk menerima posisi tersebut karena percaya bahwa tidak semua orang bisa dibeli dengan uang. Lalu dengan gaya meyakinkan sang bos menambahkan, “Masa sih, dari seratus pintu yang kamu ketuk semuanya minta suap?”
Rupanya atasan N adalah orang yang sangat persuasif. Setelah mendengarkan paparan sang bos, N memutuskan untuk membatalkan pengunduran dirinya.
Sambil menyeruput kopinya, N mengatakan kepada saya bahwa itu adalah keputusan yang tidak pernah ia sesali. Bukan karena akhirnya berhasil mencapai target penjualan, tetapi karena pengalaman berharga yang didapatnya dari sana.
Ia melanjutkan kisahnya. Ada suatu saat ia memenangkan tender pengadaan perangkat rambu-rambu lalu lintas senilai belasan milyar di Kementerian Perhubungan. Sejak proses tender sampai dengan pekerjaan selesai, tak sepeserpun ia dimintai uang oleh counterpart-nya di Kementerian.
Karena penasaran, suatu ketika ia menanyakan hal itu ke pimpinan proyek. Jawabannya mengejutkan, “Pak N, saya punya mimpi suatu hari nanti standar keselamatan lalu lintas di Indonesia akan sama dengan di negara-negara maju.
Cuma itu yang saya inginkan. Kalau Bapak menanyakan apa yang bisa Bapak bantu, bantu saja staf secara maksimal untuk memastikan perangkat yang sudah kita pasang ini terpelihara dengan baik.”
Di lain kesempatan lagi, ia memenangkan tender pengadaan material di sebuah bank BUMN. Hal yang sama terjadi. Tak ada “permintaan khusus” dari pejabat bank tersebut kepada pemenang tender.
Suatu hari mereka mengadakan rapat teknis dengan pihak bank di kantor bank tersebut. Ketika waktu makan malam tiba, mereka reses dari rapat untuk makan malam sebentar.
Tak ada undangan untuk fancy dinner atau jamuan. Lucunya, kedua tim tersebut kemudian bertemu secara tidak sengaja di gerobak nasi goreng di belakang kantor bank tersebut. Dan mereka membayar sendiri-sendiri makan malamnya.
Banyak cerita positif lain yang akhirnya membuka mata N – dan mata saya sendiri – bahwa kita punya banyak orang baik yang menempuh jalan sunyi ketika mereka melakukan pekerjaannya dengan penuh integritas. Bukan saja karena dianggap aneh oleh lingkungannya, melainkan juga karena tak seorangpun mengangkat cerita mereka.
Kami terus berbicara sampai larut malam, dan baru berhenti setelah pengelola kantin mengusir kami secara halus.
Sesampainya di kamar, saya tidak bisa berhenti memikirkan obrolan tadi. Selama bertahun-tahun, kita bukan hanya nrimo terhadap pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa, tetapi juga membesar-besarkannya melalui obrolan dengan teman, famili, sampai sopir taksi.
Saking tidak percaya dirinya, bahkan kemajuan yang kita buat sendiri pun disikapi dengan skeptis.
Saya ingat pada awal KPK berdiri, begitu banyak para pelaku kejahatan keuangan terkena operasi tangkap tangan. Hal itu membuat sebagian besar orang berpikir bahwa korupsi di zaman reformasi lebih gila daripada zaman orde baru (Orba), karena lebih banyak orang yang ditangkap.
Entah mengapa tidak terpikir oleh mereka bahwa fenomena itu justru disebabkan adanya penegakan hukum yang lebih efektif dibandingkan pada masa Orba.
Skeptisisme memang diperlukan untuk mencegah kita berpuas diri. Sikap ini juga merupakan prinsip dasar ketika melakukan audit/investigasi. Namun, jika konteksnya adalah merintis perubahan, skeptisme bisa membahayakan.
Dari pengalaman saya membantu klien menerapkan sistem anti-penyuapan, masalah terbesar yang sering muncul adalah skeptisme dari para pemangku kepentingan, bahkan dari manajemen senior sendiri.
Dalam suatu rapat, seorang CEO perusahaan asing pernah berbisik-bisik kepada saya mengatakan bahwa percuma perusahaan menerapkan sistem anti-penyuapan karena di Indonesia korupsi sudah membudaya.
Saya membalas,
“Beware of your own thinking. You’re the tone at the top here, what you believe can be a self-fulfilling prophecy.”
Kepercayaan bahwa korupsi adalah budaya yang tak tersembuhkan akan menumbuhkan pesimisme, dan pesimisme akan mengakibatkan “self-fulfilling prophecy”, kegagalan yang terjadi karena kita sendiri meyakininya sejak awal. Sebaliknya, menyebarluaskan success story akan menumbuhkan optimisme yang berdampak positif pada lingkungan di sekitar kita.
Seorang direktur dari salah satu perusahaan klien pernah menghampiri saya ketika kami sedang rehat kopi dalam suatu rapat. Ia bercerita bahwa akhir pekan sebelumnya ia diminta mewakili perusahaan menghadiri acara pernikahan anak Bupati yang membawahi area operasinya.
“Dan untuk pertama kalinya,” katanya, “Saya datang sebagai wakil perusahaan, tetapi tidak menyumbang sepeserpun.”
Ia menyebutkan bahwa biasanya untuk keluarga kepala daerah, sumbangan perusahaan bisa mencapai belasan juta rupiah. Beberapa orang yang ikut mendengarkan obrolan kami terpana oleh “kenekatan” si bapak tersebut.
Namun, saya merasakan adanya atmosfer positif yang menular di sana. Sesuatu yang selama ini diterima sebagai budaya ternyata bisa ditumbangkan. Saya yakin, kita memiliki banyak sekali cerita tentang integritas dan keberanian yang bisa kita tularkan.
Tidak ada resep instan untuk memberantas korupsi. Di sisi lain, mengumbar skeptisisme jelas bukanlah awal yang baik. Tindakan ini bukan saja akan menghabisi rasa percaya diri kita sebagai bangsa, tetapi juga merupakan dosa besar kepada mereka yang selama ini telah merintis jalan menuju pemerintahan yang bersih.
Martin Luther King Jr. pernah mengatakan, “In the end, we will remember not the words of our enemies, but the silence of our friends.”
Mari hargai integritas para pemberani ini, supaya jalan mereka tak terlalu sunyi lagi.
Deni adalah mantan auditor BPKP yang kini bekerja sebagai Partner pada Forensic & Integrity Services, EY Indonesia. Sebagai profesional, dia menekuni bidang Anti-Fraud dan Anti-Money Laundering/Terrorist Financing. Namun untuk berjaga-jaga seandainya terjadi apa-apa dengan kariernya, dia juga belajar menjadi artis amatir. Sebagian tulisan dan coretan gambarnya dapat dilihat di media sosial dan blognya.
0 Comments