Ironi Hidup di Ujung Negeri yang Kaya Namun Terpinggirkan – Terinspirasi dari Film Kabut Berduri

by Sofia Mahardianingtyas ◆ Expert Writer | Nov 11, 2024 | Birokrasi Melayani, Resensi/Ulasan Buku dan Film | 0 comments

Di sebuah wilayah hutan perbatasan terluar Indonesia, batas antara harapan dan kenyataan hidup terasa mengabur. Daerah yang kaya akan sumber daya alam ini menyimpan ironi yang menyesakkan.

Seperti dalam film Kabut Berduri, kita melihat betapa kemiskinan, ketidakadilan, dan kejahatan terstruktur berakar dalam, merayap hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat. Menit-menit awal film ini dibuka dengan nuansa khas film bergenre thriller: kelam, misterius, menegangkan, tapi memancing rasa penasaran.

Betapa tidak, sejak awal penonton sudah disuguhi dengan adegan penemuan mayat dengan kepala terpenggal, sebagai awal dari serangkaian misteri yang lebih dalam dan mengerikan. Semuanya berlatar belakang di hutan, yang bukan cuma sekadar latar, tetapi juga melambangkan misteri, kegelapan, dan kekuatan alam yang tak terkendali.

Di tengah perlawanan terhadap ketidakadilan, muncul tokoh-tokoh seperti Sanja, polisi perempuan yang mempertaruhkan idealismenya dalam menghadapi dilema moral. Terinspirasi dari kisah ini, artikel ini mengupas kenyataan hidup di perbatasan, tempat di mana potensi alam bertemu dengan kelicikan manusia yang menggenggam kekuasaan.

Sejuta Kekayaan di Tanah yang Terlupakan

Di ujung perbatasan, hidup tidak seindah kota besar. Kekayaan alam yang melimpah, hutan yang rimbun dan sungai yang kaya hasil, seakan-akan tidak ada artinya bagi masyarakat di sana yang hidup dalam kemiskinan.

Jalan rusak, berkubang dan berdebu, rumah yang reot, dan infrastruktur seadanya jauh dari kecanggihan teknologi informasi dan transportasi, melukiskan kehidupan yang jauh dari sentuhan peradaban modern. Bagaikan kabut yang menyelimuti, kehidupan di sini diselimuti oleh ketidakpastian yang pekat.

Kabut Berduri menggambarkan suasana ini dengan begitu realistis. Pemandangan hutan yang indah dan lebat dalam adegan pembuka film, yang kemudian kontras dengan hunian kumuh dan warga yang terjebak dalam jeratan kemiskinan, menjadi simbol dari potensi yang tak tersentuh, seolah-olah alam berteriak namun diabaikan oleh mereka yang punya kuasa.

Ironisnya, alam yang begitu indah dan kaya, tidak luput dari keserakahan manusia. Kenyataan pahitnya adalah bahwa wilayah kaya ini menjadi ladang eksploitasi tanpa henti. Hutan yang mestinya dijaga justru dikeruk oleh para pemodal besar.

Pembalakan liar terjadi dengan dukungan terselubung dari oknum aparat yang menerima upeti. Demi uang, mereka menutup mata terhadap kerusakan alam yang mengancam kehidupan warga lokal.

Masyarakat perbatasan hidup di bawah bayang-bayang ketakutan; ketakutan akan kehilangan sumber daya, dan ketakutan akan hidup yang terus memburuk. Film Kabut Berduri menyentuh aspek ini melalui jaringan kejahatan terstruktur yang melibatkan aparat dalam perdagangan manusia, sebuah realitas pahit yang juga sering terjadi di wilayah perbatasan.

Dalam salah satu adegan, Sanja mendapati kenyataan pahit tentang betapa dalamnya korupsi merasuk di lingkungannya. Ia menemukan bahwa salah satu atasannya, yang semestinya melindungi warga, justru terlibat dalam jaringan perdagangan manusia, mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain.

Sedih dan menyesakkan. Begitu perasaan saya ketika menyaksikan banyak adegan di film ini. Tapi, barangkali, ini hanya cerita fiksi.

Dilema Moral: Antara Tanggung Jawab dan Kepentingan Pribadi

Kembali menyelami film ini. Di tengah lingkungan yang penuh kebobrokan moral, tidak semua aparat terbuai oleh kepentingan pribadi. Ada sosok-sosok yang masih memegang idealisme, yang tetap berdiri tegak meski harus menghadapi dilema besar.

Di sini, karakter Sanja Arunika di Kabut Berduri menjadi cerminan dari mereka yang berjuang mempertahankan nilai keadilan. Sebagai polisi perempuan, Sanja bukan hanya harus melawan para pelaku kejahatan, tetapi juga melawan sistem di sekitarnya, sistem yang tak jarang berusaha menenggelamkan suara hatinya.

Konflik batin yang dialami Sanja menjadi gambaran nyata dari dilema moral yang kerap dihadapi aparat di daerah perbatasan. Dalam satu adegan dramatis, Sanja berdebat dengan koleganya yang merasa bahwa mengikuti arus kepentingan pribadi adalah satu-satunya cara untuk bertahan.

Di saat yang sama, ia teringat akan sumpah jabatannya—untuk melindungi dan melayani rakyat. Namun, ketika sistem di sekitarnya tak mendukung, pilihan untuk tetap teguh pada keadilan bukan tanpa risiko. Seperti kabut berduri yang menutupi pandangan, jalan yang ditempuh Sanja penuh dengan rintangan dan bahaya yang sewaktu-waktu bisa melukainya.

Di bagian akhir cerita, sekali lagi, Sanja sang tokoh utama harus menghadapi kenyataan pahit terbunuhnya kawan terbaiknya, yang sekaligus menguji semangatnya untuk berjuang melawan ketidakadilan.

Kabut yang Terus Menyelimuti Perbatasan

Melalui cerita di Kabut Berduri, kita mendapatkan gambaran tentang realitas masyarakat perbatasan yang terpinggirkan. Kekayaan alam yang melimpah dan kekuatan sosio-kultural mereka seolah menjadi ironi, sebab semua itu berada di bawah ancaman eksploitasi yang justru dilanggengkan oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan.

Pada akhirnya, perbatasan Indonesia tidak hanya memisahkan negara
dari wilayah lain, tetapi juga memisahkan keadilan dari mereka yang membutuhkannya.
Warga perbatasan hidup di antara dua dunia—antara kemiskinan dan potensi,
antara harapan dan ketidakberdayaan.

Kabut yang menyelimuti mereka adalah kabut kebijakan yang belum mampu menjawab kebutuhan mereka, kabut korupsi yang menutup cahaya keadilan. Dan seperti Sanja yang terus berjuang di dalam film, kita hanya bisa berharap akan adanya orang-orang yang berani menyibak kabut itu, untuk menegakkan keadilan yang selama ini hanya menjadi angan.

Sedih dan menyesakkan memang, tapi sekali lagi, mungkin film yang telah memenangi beberapa penghargaan ini tidak begitu penting untuk disaksikan. Sebab, ia hanyalah cerita fiksi, dan kekelaman di perbatasan semacam itu tak pernah terjadi.

Buktinya, para pemimpin di pusaran kekuasaan di pusat selalu optimis bahwa pembangunan terus berlanjut ke segala penjuru. Mereka yakin bahwa perekonomian perbatasan berkembang, bahwa keadilan tercapai, dan bahwa aparatur negara bertugas dengan amanah tanpa pamrih.

Namun, kisah Sanja mengingatkan kita pada kenyataan pahit di lapangan: bahwa terkadang, aparat yang seharusnya melindungi justru terjebak dalam dilema moral yang rumit. Sanja mewakili suara-suara dari mereka yang mencoba menerangi jalur yang dipenuhi kabut tebal, berharap bisa menemukan jalan bagi keadilan di tengah ketidakpastian.

Perjuangan Melawan Kebobrokan Sistem

Sanja terus berusaha mengungkap kebobrokan yang menyelimuti daerah perbatasan, namun sistem tempatnya bekerja justru sering kali menghalangi usahanya. Ia berjuang, bukan hanya melawan penjahat dan pelaku kriminal, tapi juga melawan struktur birokrasi dan kekuasaan yang melekat pada kepentingan tertentu.

Sebagai aparat, Sanja terjebak dalam dilema moral yang tak mudah.
Apakah ia harus mempertaruhkan segalanya demi idealismenya? Ataukah ia menyerah pada kenyataan pahit bahwa perjuangan melawan sistem korup bukan hanya menguras tenaga, tapi juga berisiko mengancam keselamatannya sendiri?

Kisah Sanja ini mencerminkan dilema moral yang dihadapi oleh banyak aparat di daerah perbatasan, di mana kebijakan dan idealisme sering kali dikalahkan oleh tekanan dan godaan untuk melanggengkan status quo.

Kabut yang terus menyelimuti kehidupan di perbatasan Indonesia adalah kabut kebijakan yang tidak pernah sepenuhnya berpihak pada masyarakat setempat. Di balik wajah tegas aparat yang seharusnya melindungi, terselubung kepentingan pribadi dan kompromi moral yang memunculkan lebih banyak ironi.

Masyarakat hidup di antara dua dunia—antara batas negara dan keadilan yang tak kunjung datang. Mereka ada di bawah bayang-bayang kabut yang tak pernah reda, terjebak dalam kenyataan yang membuat mereka bertanya-tanya apakah harapan itu masih ada.

Dari Sanja untuk “Para Pejuang

Film Kabut Berduri menyentuh isu-isu yang mungkin tidak kasatmata, namun terasa nyata bagi mereka yang hidup di daerah perbatasan. Ironis, sebab di sana terhampar kekayaan alam yang melimpah, yang justru menjadi sumber eksploitasi, bukan kesejahteraan.

Di akhir cerita,
kita melihat Sanja memilih untuk melanjutkan perjuangannya,
meski ia tahu tantangannya akan terus bertambah. Melalui tokoh Sanja,
kita disadarkan bahwa keadilan dan keberanian adalah dua sisi mata uang
yang sering kali mahal harganya di dunia nyata.

Kabut yang menyelimuti perbatasan adalah metafora dari kebijakan yang tak menyentuh akar persoalan, dari struktur kekuasaan yang abai pada kepentingan mereka yang paling rentan.

Melalui perjalanan Sanja, film ini mengajak kita untuk melihat dengan lebih jernih, untuk tidak menganggap kabut itu hanya sekadar fiksi, tapi sebagai realitas yang perlu dibongkar agar cahaya keadilan bisa menyentuh mereka yang selama ini hanya bisa berharap dari balik bayang-bayang.

1
0
Sofia Mahardianingtyas ◆ Expert Writer

Sofia Mahardianingtyas ◆ Expert Writer

Author

Seorang pekerja sektor publik yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post