Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di penghujung 2011 sudah mengeluh bahwa sistem pelaporan keuangan pemerintah daerah tidak efisien dari sisi waktu maupun anggaran. Setiap tahun anggaran, pemerintah daerah mesti membuat minimal empat pelaporan keuangan yang ditujukan ke pemerintah pusat dan DPRD.
Walapun rezim telah berganti, Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan masih mengeluhkan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) terlalu sibuk mengurusi surat pertangggungjawaban (SPJ). Ia menilai PNS lalai mengerjakan fungsi utama karena terlalu sibuk mengurus SPJ. Kemudian, ia menginstruksikan agar laporan keuangan instansi pemerintah dibuat lebih singkat dan mudah dibaca, serta diperiksa. Dengan demikian, energi PNS tidak terbuang percuma hanya untuk membuat SPJ.
Presiden Jokowi meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk mengubah rezim akuntansi dan sistem pelaporan keuangan di Indonesia. Sebab, pekerjaan yang bertele-tele ini mengakibatkan 60-70% PNS di Indonesia hanya sibuk mengurus surat SPJ. Menyedihkan!
Kegundahan Presiden diamini oleh Sri Mulyani. Ia mengulang bahwa Presiden Jokowi melihat begitu banyaknya pemborosan SPJ. Sialnya, birokrasi bergeming. Sepertinya, arahan Presiden tidak didengar.
Sebagai contoh, hingga saat ini pemerintah daerah masih saja membuat berbagai pelaporan, yaitu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Laporan Kinerja Pemerintahan Daerah (LAKIP), Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), dan Laporan Keterangan Pertanggung jawaban (LKPJ) (lihat Tabel 1).
Tabel 1.
Berbagai Pelaporan Pemerintah Daerah
Laporan |
Tujuan |
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) | Badan Pemeriksa Keuangan |
Laporan Kinerja Pemerintahan Daerah (LAKIP) | Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi |
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) | Kementerian Dalam Negeri |
Laporan Keterangan Pertanggung jawaban (LKPJ) | Dewan Perwakilan Rakyat Daerah |
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
Berbagai laporan pada Tabel 1 itu belum mencakup laporan ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk kepentingan perencanaan. Selain itu, terdapat juga laporan yang bersifat insidental ke Kementerian Keuangan untuk kepentingan perhitungan dana bagi hasil pembangunan dan ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk kepentingan pengukuran maturitas sistem pengendalian internal pemerintah (SPIP).
Berbagai laporan pemerintah daerah ini memang untuk menjaga akuntabilitas pemerintah daerah. Namun, berbagai pelaporan ini sangat memboroskan anggaran pemerintah daerah dan menguras waktu mereka. Sebab, penyusunan berbagai laporan tersebut membutuhkan anggaran dan waktu yang tidak sedikit. Padahal, isi keempat laporan tersebut pada dasarnya berasal dari sumber yang sama. Yang berbeda di antara keempat laporan ini hanyalah sistematika atau penyajian data dan informasinya.
Ketidakhematan ini, sebagai contoh, terjadi pada Pemerintah Provinsi Banten. Untuk kepentingan penyusunan LKPD tahun 2016 oleh Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah mereka mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,1 miliar. Kemudian, penyusunan LAKIP tahun 2016 oleh Biro Organisasi Sekretariat Daerah membutuhkan anggaran Rp699 juta.
Selanjutnya, penyusunan LPPD tahun 2016 oleh Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah mengalokasikan anggaran Rp985 juta. Terakhir, penyusunan LKPJ tahun 2016 oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah menghabiskan anggaran sebesar Rp1,3 miliar. Jika ditotal, anggaran kebutuhan penyusunan keempat laporan tersebut mencapai Rp4,2 miliar.
Alokasi anggaran ini belum memperhitungkan anggaran yang digunakan setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Banten untuk mendukung penyusunan berbagai laporan tersebut. Bila dirata-rata, setiap SKPD mengalokasikan anggaran sebesar Rp200 juta untuk penyusunan berbagai pelaporan tersebut. Bila dikalikan dengan 42 SKPD di Pemerintah Provinsi Banten, maka akan diperoleh angka Rp8 milyar lebih.
Alternatif Pemanfaatan Anggaran dan SDM
Tentunya, anggaran tersebut akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk kepentingan lain. Pertama, anggaran ini bisa digunakan untuk pendidikan. Bila saja Rp8 milyar ini dialokasikan untuk Pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB), maka akan diperoleh 13 RKB lebih di Banten. Sebab, rata-rata Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten mengalokasikan anggaran 600 juta untuk satu sekolah pada tahun 2017 ini.
Bila dialokasikan untuk Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) dengan besaran Rp900 ribu rupiah per siswa, anggaran ini dapat membantu hampir 9.000 siswa sekolah lanjutan atas setiap tahunnya.
Kedua, waktu PNS bisa digunakan untuk pengawasan fisik pembangunan. Paling tidak dibutuhkan waktu tiga bulan untuk menyusun berbagai laporan tersebut. Bisa dibayangkan, jika saja para PNS di Banten difungsikan untuk pekerjaan lain pada waktu tersebut.
Misalnya, mereka bisa diarahkan untuk mengawasi pembangunan berbagai jalan di Banten. Tidak terbayang, berapa panjang jalan yang bisa diawasi oleh mereka. Setiap hari PNS bisa diminta untuk mengukur per meter jalan untuk melihat mana jalan yang rusak dan mana yang perlu diperbaiki. Kemudian, dalam waktu tiga bulan lebih itu, mereka bisa mengukur per meter setiap harinya mana jalan yang telah diperbaiki oleh kontraktor dan kualitas pembangunannya.
Integrasi Berbagai Pelaporan
Apakah berbagai pelaporan keuangan tersebut dapat diintegrasikan? Bila melihat sistematika masing-masing pelaporan, akan ditemukan kesamaan dari berbagai pelaporan tersebut, khususnya LPPD, LAKIP, dan LKPJ. LKPD memang sedikit berbeda. Artinya, bila kita ingin mengintegrasikan berbagai pelaporan tersebut, tentunya kita dapat memulai dengan mengintegrasikan LPPD, LAKIP, dan LKPJ dalam satu pelaporan.
Semangat integrasi pelaporan ini pun sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 69 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa kepala daerah wajib menyampaikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban, dan ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kemudian, ayat (2) pasal ini menyebutkan bahwa Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah mencakup Laporan Kinerja Pemerintah Daerah. Dalam penjelasan ayat (2), yang dimaksud dengan Laporan Kinerja Pemerintah Daerah adalah laporan kinerja setiap satuan kerja perangkat daerah. Artinya, Pasal 69 ini telah mensyaratkan diintegrasikannya LPPD dan LAKIP, tetapi untuk LKPJ tetap dibuat secara terpisah. Sialnya, sampai sekarang tidak ada panduan lebih lanjut terkait UU ini.
Pemerintah daerah pada dasarnya bersifat pasif dan menunggu kebijakan presiden melalui menteri-menterinya untuk mengintegrasikan berbagai pelaporan tersebut. Para menteri pembantu presiden ini mesti menghilangkan ego sektoralnya terlebih dahulu untuk dapat mengintegrasikan berbagai pelaporan tersebut.
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan tempat penulis bekerja ataupun lembaga lain.
0 Comments