
Kematian tragis Charlie Kirk, aktivis konservatif berusia 31 tahun dan pendiri Turning Point USA (10/9/2025) telah menjadi topik panas dan titik api baru dalam konteks politik Amerika Serikat.
Kirk ditembak di titik yang mematikan tepat di leher saat berdialog dalam forum “Prove Me Wrong” di Utah Valley University, Orem, Utah, di hadapan ribuan mahasiswa, pekerja, dan warga setempat.
Insiden yang digambarkan Gubernur Utah Spencer Cox
sebagai “pembunuhan politik” ini tidak hanya memicu perdebatan tentang kekerasan politik, tetapi juga menghidupkan kembali salah satu perhatian besarnya berupa narasi
kontroversial tentang Islam.
Kondisi ini merupakan modal penting yang dapat dimanfaatkan banyak pihak untuk memperkuat “industri” Islamofobia.
Dalam relasi demikian, pertanyaan mendasar muncul: apakah kematian Kirk, yang banyak disebut sebagai anak emas Trump ini, justru menjadi bahan bakar bagi mesin ketakutan anti-Muslim yang telah lama beroperasi di AS?
Industri Islamofobia, seperti yang dideskripsikan dalam laporan Center for American Progress, Fear, Inc. (2011, diperbarui 2016), adalah jaringan think tank, donor, dan media yang memonetisasi ketakutan terhadap muslim.
Kirk adalah bagian integral dari ekosistem ini dengan fakta bahwa Turning Point USA kerap bekerja sama dengan kelompok seperti Center for Security Policy (CSP) dan ACT for America untuk menerima jutaan dolar dari donor seperti Donors Capital Fund untuk kampanye anti-syariah.
Pernyataannya tentang Gaza, di mana ia menolak tuduhan genosida Israel dan malah menyalahkan Hamas atas problem kemanusiaan berupa kelaparan yang terjadi di Gaza, memperkuat pandangan ini, terutama pasca 7 Oktober 2023.
Pendukung Trump dan Israel
Charlie Kirk bukanlah figur asing dalam wacana anti-muslim. Sebagai sekutu dekat Trump dan pendukung kuat Israel, Kirk kerap menggeneralisasi Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai Barat.
Pada Mei 2025, dalam siniar-nya, ia menyatakan bahwa sejatinya Islam tidak kompatibel dengan Barat. Seolah kurang dalam menyudutkan Islam, ia menambahi pernyataan tersebut dengan menggambarkan Islam sebagai sistem tiran yang mengekang kebebasan individu di dalamnya.
Pernyataan ini bukan yang pertama kali disampaikannya. Pada April 2025, ia menyerang Senator Minnesota Omar Fateh, seorang muslim, dengan klaim bahwa “muslim diperintahkan untuk mengambil alih pemerintahan di tanah yang mereka tempati”.
Serangan ke Fateh senada dengan hal yang sama yang ditujukan ke kandidat walikota New York Zohran Mamdani yang dikatakannya sebagai seorang muslim sosialis yang siap memimpin New York, padahal 24 tahun lalu sekelompok muslim membunuh 2.753 orang pada tragedi 9/11.
Dalam konteks industri Islamofobia, pandangan John L Esposito rasanya masih sangat relevan. Dalam The Future of Islam (2010) Ia mengidentifikasi bagaimana ketakutan terhadap Islam dimanfaatkan sedemikian rupa, dimonetisasi, dan dipolitisasi.
Hal demikian merupakan sebuah fenomena yang masih terlihat pada 2025, terutama dengan kembalinya retorika anti-muslim di bawah pemerintahan Trump kedua dan eskalasi konflik Gaza.
Sejarah Panjang Ketegangan
Esposito, seorang profesor terkemuka dalam bidang agama dan urusan internasional di Georgetown University, melihat Islamofobia sebagai produk dari sejarah panjang ketegangan antara Islam dan Barat, yang diperparah oleh peristiwa modern seperti 9/11.
Masih dalam The Future of Islam, ia berargumen bahwa Islamofobia bukan sekadar kebencian individu, melainkan narasi sistematis yang didorong oleh tiga pilar utama, yakni:
- konstruksi sejarah yang bias,
- peran media yang sengak, dan
- kebijakan politik serta industri ketakutan yang terus dipiara,
yang dijejalkan dalam berbagai kesempatan, dan dikembangkan. Esposito berargumen bahwa industri ini “laku” karena memenuhi kebutuhan politik dan sosial.
Secara politik, narasi anti-muslim membantu kandidat konservatif menggalang pemilih dengan menjanjikan keamanan nasional, seperti terlihat dalam kampanye Trump 2024 yang menghidupkan kembali retorika “muslim ban“. Secara sosial, Islamofobia menciptakan rasa solidaritas di kalangan non-muslim yang merasa terancam oleh perubahan demografis.
Pandangan Esposito sangat relevan di tengah konteks 2025, di mana industri Islamofobia terus berkembang. Hal demikian ditandai dengan kembalinya Trump ke tampuk kekuasaan yang membawa kembali retorika anti-muslim, semisal tuduhan terhadap aktivis muslim sebagai pendukung terorisme.
Konflik Gaza, yang memicu protes besar di berbagai kampus di AS, telah dimanfaatkan oleh kelompok anti-muslim untuk men-stigmatisasi mahasiswa muslim sebagai ekstremis, tindakan yang memperkuat narasi yang dikritik Esposito.
Sebuah Pesan
Industri Islamofobia merekam dan mengamplifikasi dengan baik kebencian terhadap Islam dan menyulut berbagai kekisruhan. Dengan melihat perbedaan yang ada, Esposito menunjukkan bahwa Islamofobia bukanlah fenomena tidak terelakkan.
Namun begitu, ia melihat tindakan ini sebagai konstruksi yang dapat dibongkar melalui pendidikan, dialog, dan reformasi.
Di tengah polarisasi tajam di Amerika saat ini,
visinya mengingatkan bahwa masa depan Islam dan Barat tidak harus ditentukan oleh konflik, tetapi oleh kemauan untuk memahami dan hidup berdampingan.
Ia dengan tegas mengatakan bahwa Islam bukan musuh, ketidaktahuan dan ketakutanlah sesungguhnya musuh sejati.
Kematian Charlie Kirk adalah pengingat pahit bahwa kekerasan politik—seperti penembakan kongres 2017 atau upaya pembunuhan Trump 2024– hanya memperdalam dan mempertajam jurang perbedaan.
Pernyataannya yang kontroversial jelas memprovokasi banyak pihak dan menimbulkan pro-kontra yang cenderung mengeras. Meski demikian, kematiannya tidak boleh menjadi alasan untuk membenarkan Islamofobia.
Dipahami, siapa yang merayakan pembunuhan tidak berhak berteriak Islamofobia. Kematian tragis Charlie Kirk bukan pula untuk dirayakan dan disyukuri dalam konteks penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.
Industri Islamofobia “laku” karena memanfaatkan tragedi seperti ini untuk keuntungan, tapi solusinya ada pada dialog, bukan pembalasan.
Otoritas dan masyarakat Amerika harus belajar dari Kirk: kritik boleh, tapi kekerasan tidak. Kecenderungan ini akan membawa pada sikap bahwa hanya dengan menolak siklus kebencian, entitas pluralisme dan menghargai perbedaan bisa bertahan.
0 Comments