Peripheral Based Development
Pembangunan bukan hanya untuk kelompok tertentu, tetapi untuk seluruh masyarakat di seluruh wilayah. Paham pembangunan yang merata ini juga diterapkan di indonesia melalui konsep pemerataan pembangunan daerah pinggiran (Peripheral Based Development) sejak 2015 s.d. 2024, dibentuk dalam perencanaan jangka menengah dan diterapkan di lapangan.
Salah satu dimensi dalam RPJMN 2015 – 2019 menyebutkan bahwa pembangunan harus dapat menghilangkan/memperkecil kesenjangan yang ada, baik kesenjangan antar kelompok pendapatan, maupun kesenjangan antarwilayah, dengan prioritas:
- Wilayah desa, untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, karena penduduk miskin sebagian besar tinggal di desa;
- Wilayah pinggiran; Luar Jawa; dan
- Kawasan Timur.
Konsep Pembangunan dari pinggiran dilanjutkan pada periode RPJMN 2020 – 2024 yang merupakan salah satu prioritas nasional yang diarahkan untuk menyelesaikan isu strategis utama yaitu ketimpangan antarwilayah.
Berbeda dengan perencanaan sebelumnya, perencanaan pada tahun 2020 – 2024 lebih spesifik menunjukkan locus dan focus pembangunan yang dijadikan sasaran antara lain:
- meningkatnya pemerataan antarwilayah (KBI-KTI, Jawa-luar Jawa);
- meningkatnya keunggulan kompetitif pusat-pusat pertumbuhan wilayah;
- meningkatnya kualitas dan akses pelayanan dasar, daya saing serta kemandirian daerah;
- meningkatnya sinergi pemanfaatan ruang wilayah.
Salah satu agenda Pembangunan tahun 2020-2024 yakni mengembangkan wilayah dan masyarakat untuk mengurangi kesenjangan.
Koridor Pertumbuhan dan Pemerataan
Pengembangan wilayah yang dimaksud dilakukan melalui dua pendekatan utama, yaitu pendekatan pertumbuhan dan pendekatan pemerataan, sebagaimana tercermin dari pendekatan koridor pertumbuhan dan koridor pemerataan berbasis wilayah pulau.
Koridor pertumbuhan dan pemerataan wilayah secara spasial adalah sebagai berikut:
Pada peta koridor di atas kita dapat melihat bahwa letak geografis Kepulauan Indonesia menjadi tantangan tersendiri dalam menyukseskan pemerataan pembangunan.
Tergambar daerah pemerataan cenderung berlokasi pada pinggiran dari sebuah wilayah dapat disebabkan oleh terbatasnya aksesibilitas, serta peninggalan pembangunan jaman dulu yang masih bersifat sentralistik/terpusat.
Setelah kita memahami agenda pembangunan yang disusun dan dilaksanakan serta gambaran koridor pertumbuhan dan pemerataan wilayah di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pembangunan dari pinggiran / Peripheral Based Development itu nyata dilakukan sebagai strategi pemerataan.
Melalui konsep pembangunan ini pemerintah berharap dapat mengejar ketertinggalan daerah, memperkecil kesenjangan dan meningkatkan kesejahteraan secara umum.
Apakah IKN = Kembali ke Pembangunan Terpusat?
Hal yang cukup mengejutkan terjadi pada pertengahan tahun 2019. Bapak Joko Widodo selaku Presiden Indonesia menyampaikan informasi bahwa ibu kota Indonesia akan dipindahkan ke wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur.
Di sanalah akan dibangun IKN (Ibu Kota Nusantara) dengan konsep green city yang akan dipadukan dengan kota yang smart, forest, sustainable dan blue. Tak tanggung-tanggung keputusan dan skenario yang dipergunakan Presiden Joko Widodo berbeda dengan presiden pendahulu.
Presiden terdahulu juga telah menggagas rencana pemindahan pemerintahan yakni secara total memindahkan ibu kota pemerintahan ke IKN. Hitungan sementara untuk pembangunan IKN setidaknya menghabiskan Rp 466 triliun, kurang lebih 19-20 persen berasal dari APBN, dan sisanya bisa berasal dari Public Private Partnership.
Agenda pemindahan Ibu Kota tersebut tentunya terlihat cukup ambisius di tengah perjalanan menyukseskan pembangunan dari pinggiran. Apa yang ada di benak Presiden dan tim, kita tidak 100% mengetahui bagaimana cara menyukseskan perjalanan dua agenda tersebut.
Akankah salah satu agenda akan dilakukan pemangkasan atau refocusing
kembali program? Kita tidak akan pernah tahu.
Dilema ini juga bertambah di saat Presiden terpilih 2025 – 2029 mengagendakan
program makan bergizi gratis yang sama sekali tidak ada dalam program
presiden sebelumnya dan tentunya akan menyerap
anggaran yang cukup besar.
Kabar baiknya, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran untuk program tersebut tanpa membebani rasio utang pemerintah sehingga terjaga keberlanjutannya dan pengelolaan fiskal yang prudent.
Sebagai pandangan awam, makan bergizi gratis tentunya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat terutama kelas bawah dibanding memilih mega proyek yang tidak langsung menyentuh mereka.
Beberapa pendapat juga menilai program makan bergizi gratis masih bisa memberi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding keberadaan IKN.
Lalu, pertanyaan yang menggelayut di benak kita saat ini adalah keberadaan IKN ini sifatnya seperti apa? Apakah kembali pembangunan terpusat ataukah tetap membangun dari pinggiran?
Presiden memberikan statement bahwa berdasarkan kajian, Kalimantan Timur berada di tengah-tengah Indonesia dan adanya ketersediaan lahan yang dapat dipergunakan sebagai IKN.
Dari dasar tersebut memang secara teori akan dapat memunculkan trickle down effect pembangunan ke wilayah di sekitarnya baik yang masuk kategori daerah pertumbuhan dan pemerataan.
Semisentralistik: Tanpa Bonus Booster Daerah Lain
Pemerataan pembangunan kemungkinan akan cepat terwujud di daerah sekitar IKN tetapi pembangunan daerah lain yang telah menjadi lokasi pembangunan tentu tidak akan mendapat bonus booster pembangunan.
Konsep pembangunan semi sentralistik sangat dimungkinkan terjadi di IKN dan sekitarnya dengan segala akses prioritasnya. IKN dirancang berkelas dunia dan untuk dapat bersaing dengan negara lainnya. Hasilnya, sampai 5 tahap pembangunan ke depan akan terpusat pada wilayah tersebut.
Tidak berhenti pada pemerintahan saat ini, program ini dilanjutkan dengan Agenda RPJMN 2025 – 2029 untuk transformasi ekonomi yang bermuatan kewilayahan berfokus pada integrasi infrastruktur konektivitas dengan kawasan pertumbuhan ekonomi; dan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Kedua Program tersebut diletakkan sebagai Game Changer upaya transformatif super prioritas pada RPJMN 2025 – 2029. Maka, ketiadaan agenda pembangunan dari pinggiran dapat dinilai sebagai perubahan menuju dua skenario pembangunan next level yang berfokus pada:
- Pertama, optimalisasi Konektivitas kawasan pertumbuhan ekonomi. Program pembangunan dari pinggiran menggunakan koridor pertumbuhan yang telah dijalankan pada periode pemerintahan sebelumnya, lebih lanjut akan dikelola periode pemerintahan berikutnya dengan meningkatkan konektivitas dan integrasi antar wilayah.
- Kedua, menyukseskan tahap pembangunan IKN di mana pada tahun 2025 – 2029 memasuki tahap II pembangunan. Pada tahap ini, proses pembangunan IKN difokuskan pada sejumlah area intim, seperti infrastruktur transportasi umum baik primer dan sekunder.
Kemudian, akan dilakukan perluasan kawasan riset dan talenta, serta universitas pembangunan lautan dan pemeliharaan infrastruktur dasar. Perluasan kawasan juga berkaitan dengan ASN, TNI, Polri, serta perkantoran pemerintahan.
Dari dua fokus di atas dapat disimpulkan bahwa ke depan konsep pembangunan daerah dari pinggiran sudah tidak lagi menjadi agenda pembangunan.
Agenda yang diusung lebih kepada peningkatan Keunggulan Kompetitif / Competitive Advantages di mana Pertumbuhan dan pemerataan ekonomi lebih dioptimalkan melalui peningkatan kemampuan industrial hulu-hilir, konektivitas, dan pembangunan wilayah berkelas dunia pada IKN.
Epilog: Kebijakan Dua Kaki
Dengan agenda pembangunan yang berjalan beriringan tentunya pemerintah tidak akan bisa bersifat memihak mana agenda yang menjadi prioritas. Pemerintah akan menggunakan “Kebijakan Dua Kaki” bersifat moderat kepada seluruh agendanya:
“Jika dapat dikatakan prioritas maka semuanya juga prioritas, jika dikatakan agenda rutin operasional maka semuanya juga sama dan bersifat normatif.”
Perpindahan konsep pembangunan dari pinggiran ke pembangunan keunggulan kompetitif salah satunya di IKN membuat pemerintah harus menyiapkan paket penyesuaian.
Dapat kita sadari political will pemerintah yang akan datang berbeda dengan pemerintah sebelumnya. Hal ini memerlukan bridging plan yang dapat menjembatani perbedaan agenda pembangunan sehingga tidak terjadi loss target pada agenda sebelumnya.
Tentu, harapan kita bersama bahwa pemerintah telah memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi pada era perpindahan pemerintahan.
Penulis, yang dapat dipanggil dengan nama “Wildan” ini, adalah seorang Analis Kinerja di BKN. Sangat menggemari Teori dan Konsep Kebijakan Publik, Manajemen Strategis, dan Manajemen Kinerja.
0 Comments