Harapan Demokrasi Indonesia Masa Depan, Sebuah Perspektif Implementasi Otonomi Daerah

by | Mar 15, 2023 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Demokrasi dan persoalan otonomi merupakan dua unsur politik yang dalam sistem ketatanegaraan masih sering mempengaruhi struktur sosial masyarakat, baik dalam pelayanan maupun perlindungan hak asasi manusia. 

Otonomi adalah proses pembentukan demokrasi yang lahir dalam perebutan kebijakan negara untuk menggulingkan rezim totaliter dan sentralis dan digantikan oleh rezim yang demokratis dan terdesentralisasi. 

Otonomi daerah diharapkan mendukung perwujudan cita-cita konstitusional dapat terlaksana dengan baik. Dalam hal ini, kepala daerah seperti gubernur dan walikota/bupati adalah pelaksana mandatnya.

 

Korupsi Kepala Daerah: Tingginya Biaya Politik

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 176 pejabat daerah tersangkut kasus korupsi dalam rentang waktu antara 2004 dan 2022. Jumlah ini terdiri dari 22 gubernur dan 154 walikota/bupati. Jumlah tersebut belum termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 

Banyaknya pejabat daerah yang tertangkap KPK menjadi salah satu indikasi tingginya biaya politik (databoks.katadata.co.id). 

Sementara, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa kasus penindakan korupsi oleh aparat penegak hukum (APH) paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa, yakni sebanyak 154 kasus pada 2021 dengan potensi kerugian negara sebesar Rp233 miliar (katadata.co.id). 

Menariknya, di sisi lain, justru para kepala desa yang tergabung dalam Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) pada 17 Januari 2023 berdemonstrasi di depan Gedung DPR RI di Jakarta menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun, serta meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (cnnindonesia.com,2022).  

Bentuk dan Faktor Penyebab Korupsi

Kasus korupsi sejak 2016 hingga Juni 2021 di pemerintah daerah mencapai 58 persen dari total 312 kasus, kementerian/lembaga 180 kasus dan pemerintah provinsi 82 ​​kasus (www.republika.co.id). 

Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang dilakukan Kepala Daerah yaitu: TPK dalam pengadaan barang/jasa yang dibiayai APBN/APBD, sebanyak 14 kasus TPK dalam penyalahgunaan anggaran, sebanyak 22 kasus TPK dalam perizinan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan ketentuan. TPK penerimaan suap, sebanyak 24 kasus. 

Atas dasar informasi di atas tentang banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi dengan berbagai modus, maka perlu dilakukan analisis faktor-faktor penyebab korupsi oleh kepala daerah. 

Faktor-faktor penyebab kepala daerah melakukan korupsi antara lain: monopoli kekuasaan, diskresi kebijakan, lemahnya akuntabilitas,  dan aktor lain seperti kurangnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, kurang pahamnya peraturan, dan pemahaman terhadap konsep budaya yang salah (BPKP, 2016). 

Ketergantungan Fiskal Daerah dan Korupsi

Berdasarkan data Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri, selama 26 tahun terdapat beberapa daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) di bawah 20 persen dan menggantungkan dari pemerintah pusat (www.blorakab.go.id). 

Di Papua, misalnya, pemerintah pusat telah memberikan dana otonomi khusus sebesar 1000 triliun rupiah sejak 2001 hingga 2022. Kucuran dana inipun diwarnai dugaan korupsi oleh Gubernurnya sendiri, Lukas Enembe, dengan bukti awal senilai 1 triliun rupiah -belum ditambah dengan bukti-bukti lainnya.

Ada pula kegaduhan kasus Bupati Kepulauan Meranti soal dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas (Migas) di Kepulauan Meranti kepada Kemendagri dan Kemenkeu (www.cnnindonesia.com).  

Penyelenggara pemerintahan, baik dari eksekutif pusat maupun legislatif, harus memiliki integritas dan moral yang diikat oleh etika dan tata kelola. Tindakan pemerintah dan aktivitas politik legislator di daerah dengan demikian akan dipengaruhi oleh masing-masing pejabat dan elite politik. 

Bertindak etis berarti menepati janji atau janji yang telah dibuat dan tidak melakukan sesuatu yang merugikan atau merusak kepercayaan masyarakat atau orang lain (Kaho, 1991). 

Penetapan Penjabat Kepala Daerah 

Otonomi daerah yang sudah berjalan 26 tahun dan diperingati setiap tanggal 25 April tentu sudah memiliki banyak capaian di daerah masing-masing. Namun pada praktiknya, sebagaimana dijabarkan di atas, kepala daerah tidak mencerminkan semangat demokrasi yang tertuang pada otonomi daerah. 

Pada Mei 2022 ini telah dimulai pengisian penjabat kepala daerah untuk 5 gubernur, 37 bupati, dan 6 wali kota. Penjabat kepala daerah (PKD) yang akan diangkat pada 2022 ini adalah untuk 101 daerah dan pada 2023 untuk 171 daerah. 

Dengan demikian, total PKD yang harus diangkat oleh pemerintah sampai 2024 adalah 272 orang. Masa tugas PKD tersebut sejak dilantik hingga pelaksanaan pilkada serentak pada 27 November 2024, ditambah beberapa waktu lagi untuk penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan persiapan pelantikan (www.kompas.id). 

Beberapa PKD tersebut di antaranya:

  • Pj Gubernur DKI Jakarta, sebelumnya adalah Kepala Sekretariat Presiden, 
  • Pj Gubernur Bangka Belitung, sebelumnya adalah Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian SDM, 
  • Pj Gubernur Banten, sebelumnya adalah Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga, 
  • Pj Gubernur Papua Tengah, sebelumnya adalah Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik,  
  • Pj Gubernur Papua Pegunungan, sebelumnya adalah Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Kerjasama Internasional Kejaksaan Agung, 
  • Pj Gubernur Papua Barat Daya, sebelumnya adalah Asisten Bidang Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Provinsi Papua. 

Menjelang pemilihan umum serentak tahun 2024, terdapat sejumlah kepala daerah definitif yang telah habis masa jabatannya. Setidaknya ada 272 kepala daerah yang terdiri dari 24 gubernur dan 248 bupati/wali kota. 

Oleh karenanya, harus segera ditunjuk penjabat gubernur atau bupati/wali kota untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut. 

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kekosongan jabatan gubernur akan diisi oleh penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan dilantiknya gubernur definitif. 

Sementara, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota. 

Memaknai Ketidakpercayaan Pusat vs Penolakan Masyarakat

Sejatinya, penunjukan penjabat kepala daerah karena situasi sebagaimana dijelaskan di atas merupakan penanda kurangnya kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini tentu logis mengingat berbagai permasalahan korupsi yang terjadi.

Namun begitu, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat di berbagai daerah. 

Terjadi penolakan terhadap calon Penjabat (Pj) Kepala daerah yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat seperti  Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), sekaligus menunda pelantikan penjabat bupati di tiga wilayahnya, yakni Kabupaten Buton Selatan, Muna Barat, dan Buton Tengah (emedia.dpr.go.id). 

Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran PKD yang merupakan “utusan” dari pemerintah pusat menimbulkan gejolak di masyarakat ditandai dengan adanya gugatan dari masyarakat dan dari pihak pemerintah daerah. 

Sekilas tampak sebagai ketidakharmonisan antara pusat-daerah dan pemerintah-masyarakat. Akan tetapi, penulis melihat ini sebagai sebuah angin segar dalam dinamika otonomi daerah ke depannya.

Apabila ternyata menghasilkan kemajuan dan tercapainya nilai-nilai demokrasi maka tentu kita perlu dukung, dan penulis akan menjabarkan hal-hal tersebut dalam tulisan selanjutnya. 

REFERENSI

UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah daerah 

UU Nomor  5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara 

UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota

UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang

UU  Nomor  8  Tahun  2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah 

PP Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah

PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah

Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggung Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022

0
0
Emmanuel Ariananto Waluyo Adi ◆ Active Writer

Emmanuel Ariananto Waluyo Adi ◆ Active Writer

Author

Alumni dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2018, yang telah disumpah sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2019. Saat ini bekerja sebagai Analis Hukum bidang Lingkungan Hidup pada Deputi bidang Kemaritiman dan Investasi Sekretariat Kabinet RI. Penulis dapat dihubungi melalui Email: [[email protected]]

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post