
Setiap tahun, setelah Ramadan berakhir, masyarakat Indonesia merayakan tradisi Halal Bi Halal. Sebuah momentum yang seharusnya penuh makna untuk saling memaafkan, mempererat hubungan, dan membangun kembali kepercayaan. Namun, realitasnya tak selalu demikian.
Di berbagai instansi pemerintah, Halal Bi Halal justru sering menjadi ajang formalitas.
Acara besar-besaran digelar, pidato penuh kata-kata indah disampaikan,
dan sesi foto-foto pun tak ketinggalan.
Tapi sayangnya, setelah itu, kebiasaan lama tetap berlangsung: korupsi masih terjadi, kebijakan tak berpihak pada rakyat, dan janji-janji yang diucapkan hanya sekadar retorika.
Lalu, dimana letak keikhlasan dalam silaturahmi ini. Apakah Halal Bi Halal hanya menjadi panggung pencitraan belaka?
Secara esensi, Halal Bi Halal berakar dari nilai-nilai Islam yang mengajarkan keikhlasan dalam meminta dan memberi maaf. Namun, dalam praktiknya, banyak yang melenceng dari makna sejati, terutama di kalangan pejabat dan pemimpin yang tidak konsisten.
Beberapa contoh realitas di lapangan antara lain:
- Pertama, Permintaan Maaf yang Sekadar Formalitas. Banyak pejabat yang berbicara manis tentang pentingnya saling memaafkan, tetapi tetap menjalankan kebijakan yang merugikan rakyat. Misalnya, seorang kepala daerah yang dalam Halal Bi Halal berbicara soal kejujuran dan integritas, namun beberapa bulan kemudian terjerat kasus korupsi proyek infrastruktur.
- Kedua, Silaturahmi yang Dijadikan Ajang Pencitraan. Di berbagai kementerian dan lembaga, Halal Bi Halal sering menjadi ajang foto bersama dan unggahan media sosial. Para pejabat menunjukkan keramahan dan kebersamaan, tetapi setelah acara selesai, akses masyarakat terhadap mereka tetap sulit. Kepedulian hanya ditampilkan saat kamera menyorot.
- Ketiga, Terselubung Kepentingan Politik di Balik Tradisi. Dalam suasana tahun politik, Halal Bi Halal kerap dijadikan momen untuk membangun citra positif. Misalnya, seorang petinggi daerah yang sebelumnya jarang turun ke masyarakat, tiba-tiba rajin mengadakan pertemuan dan menjanjikan program-program populis saat Syawal tiba.
Kepura-puraan dan Perubahan
Halal Bi Halal yang dijalankan dengan kepura-puraan tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga merusak nilai budaya dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang dipimpinnya.
Ketika masyarakat berulang kali menyaksikan pemimpin yang hanya bersikap ramah dan mengumbar janji di momen Halal Bi Halal, tetapi tetap menjalankan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, maka kepercayaan terhadap pemerintah akan semakin luntur.
Sikap yang tidak konsisten ini membuat rakyat semakin skeptis dan sulit untuk mempercayai pernyataan maaf atau janji perubahan yang disampaikan.
Contoh nyata dapat ditemukan dalam beberapa kasus pejabat yang tersandung kasus korupsi, tetapi tetap hadir dalam acara Halal Bi Halal dengan wajah ramah dan seolah-olah tidak bersalah. Setelah momen tersebut berlalu, mereka tetap melakukan praktik yang merugikan masyarakat tanpa ada perubahan nyata dalam sikap maupun kebijakannya.
Mencerminkan Karakter Pemimpin
Fenomena ini menggambarkan karakter pemimpin yang tidak memiliki prinsip kuat dan hanya bertindak berdasarkan keuntungan sesaat. Ada beberapa tipe pemimpin yang bisa kita lihat dari realitas ini:
- Pertama, Tidak Konsisten dalam Perkataan dan Tindakan. Dalam acara Halal Bi Halal, banyak pejabat yang berbicara soal transparansi dan anti-korupsi, tetapi beberapa waktu kemudian malah tersandung kasus suap atau gratifikasi. Kasus-kasus seperti yang menimpa beberapa kepala daerah dan pejabat di kementerian atau lembaga pemerintahan menjadi bukti nyata bahwa kata-kata sering kali tak sejalan dengan tindakan.
- Kedua, Munafik dalam Sikap dan Kebijakan. Seorang pejabat bisa saja tampak ramah dan penuh toleransi dalam acara keagamaan, tetapi ketika ada kritik dari masyarakat, mereka justru membungkam kebebasan berpendapat. Contohnya, pejabat yang berbicara soal pentingnya ukhuwah dan persatuan, tetapi justru menerapkan kebijakan yang memecah belah masyarakat.
- Ketiga, Memanfaatkan Tradisi untuk Kepentingan Pribadi. Banyak pemimpin yang menganggap Halal Bi Halal sebagai momen strategis untuk menggalang dukungan politik atau mencari keuntungan dari hubungan sosial. Bukan lagi soal memaafkan dengan tulus, tetapi lebih kepada bagaimana bisa mendapat simpati publik untuk keuntungan pribadi.
Tradisi Islami dan Esensi Spiritualitas
Halal Bi Halal sejatinya adalah tradisi yang lahir dari nilai-nilai Islam, bertujuan untuk mempererat silaturahmi dengan ketulusan dan keikhlasan. Namun, ketika praktik ini hanya dijadikan formalitas belaka, esensi spiritualnya pun hilang.
Agar tradisi Halal Bi Halal tidak hanya menjadi seremoni kosong, adapun beberapa langkah yang perlu dilakukan:
- Pertama, Konsistensi Antara Ucapan dan Tindakan. Pemimpin harus menjadikan momen ini sebagai refleksi nyata. Jika benar-benar ingin meminta maaf, mereka juga harus menunjukkan perubahan dalam kebijakan dan sikapnya.
- Kedua, Terbit Regulasi yang Mengatur. Kementerian Agama dan instansi terkait bisa membuat panduan agar Halal Bi Halal tidak hanya menjadi acara seremonial, tetapi benar-benar mendorong perbaikan etika dan moral dalam berorganisas.
- Ketiga, Masyarakat Harus Lebih Kritis. Jangan mudah terpukau oleh pidato manis dan seremoni mewah. Perhatikan bagaimana sikap pemimpin sebelum dan sesudah acara Halal Bi Halal. Jika hanya basa-basi, wajar bagi kita untuk mempertanyakan keikhlasan mereka.
Halal Bi Halal seharusnya menjadi momen sakral yang membawa perubahan nyata dalam hubungan sosial dan moral seseorang. Namun, jika hanya dijadikan formalitas tanpa makna, maka tradisi ini kehilangan esensinya.
Pemimpin harus berhenti menggunakan Halal Bi Halal sebagai alat pencitraan dan benar-benar menjadikannya sebagai ajang refleksi diri.
Begitu pula masyarakat, harus lebih jeli dalam melihat mana pemimpin yang benar-benar tulus dan mana yang hanya sekadar berpura-pura. Karena pada akhirnya, perubahan yang sejati bukanlah soal kata-kata, tetapi tindakan nyata yang berkelanjutan.
0 Comments