Guru, Ditakuti atau Takut? Sebuah Refleksi Catatan Kelam Pendidikan Kita

by Mirhan Triandi Doe ▲ Active Writer | Mar 27, 2018 | Birokrasi Berdaya | 2 comments

Saya cukup prihatin mengamati perkembangan dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini. Berbagai media, baik audio, visual, maupun online banyak mewartakan kabar tentang berbagai peristiwa yang mencoreng dunia pendidikan.

Maraknya kekerasan terhadap guru yang dilakukan oleh murid dan orang tuanya  merupakan suatu tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Siswa yang tega mencaci dan menganiaya seorang guru, menandakan moralitas pendidikan anak bangsa telah goyah. Beberapa kasus justru orang tua membela anaknya dengan cara melaporkan guru ke ranah hukum. Guru mengajar, siswa dan orang tua menghajar. Miris.

Sungguh malang nasib salah seorang guru, sekadar cubitan kepada muridnya dengan tujuan mendidik justru berujung penjara. Dibalik jeruji besi dan dinginnya ruang penjara, seorang guru tidak berdaya, hanya bisa bersedih dan meratapi nasibnya. Adilkah ini?

Perlindungan Terhadap Guru dalam Melaksanakan Tugas

Dalam menjalankan profesinya, sudah selayaknya guru dihargai dan dilindungi. Hukuman yang bersifat mendidik, bukan merupakan tindakan kekerasan terhadap anak. Memidanakan seorang guru dengan permasalahan yang sepele bukanlah menegakkan supremasi hukum, malah sebaliknya, hal itu merupakan kriminalisasi terhadap guru.

Pada dasarnya, seorang guru memang dapat memberikan sanksi kepada anak didiknya asalkan sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, guru bahkan mendapatkan perlindungan atas tindakannya tersebut.

Tindakan dan perlindungan tersebut, secara positif, jelas termaktub dalam sebuah peraturan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

Salah satu pasal dalam aturan tersebut menyebutkan:

Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan tentang perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada dalam kewenangannya (pasal 39).

Dalam hal perlindungan atas tindakan pemberian sanksi, sebagai bagian dari pelaksanaan tugas guru, peraturan tersebut menyebutkan bahwa:

Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai kewenangan masing-masing (pasal 40 ayat 1).

Lebih lanjut, aturan tersebut menjelaskan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (pasal 41 ayat 1).

Melalui aturan tersebut, guru memiliki hak untuk memberikan sanksi sekaligus hak untuk mendapatkan perlindungan. Namun, sangat disayangkan, pada praktiknya guru masih tetap dipidanakan dengan permasalahan yang sebenarnya tidak dalam kategori melanggar hukum.

Beberapa tindakan guru yang bermaksud untuk mendisiplinkan muridnya, dianggap sebagai perbuatan tidak menyenangkan dan kerap dijadikan delik aduan untuk menyeret guru ke ranah hukum, menggunakan undang-undang perlindungan anak.

Belajar dari Kasus Aop Saopudin

Aop Saopudin, seorang guru SDN Panjalin Kidul V, Majalengka, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama tiga bulan oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Putusan tersebut menguatkan putusan Pengadilan Negeri Majalengka.

Vonis tersebut berawal dari sebuah kejadian pemotongan rambut terhadap beberapa murid SDN Panjilin Kidul V Majalengka, yang tidak mengikuti aturan sekolah untuk tidak berambut panjang/gondrong.

Aop Saopudin melakukan tindakan itu sebagai seorang guru yang sekaligus mendapatkan tugas khusus untuk mendisiplinkan para siswa yang berambut panjang.

Meskipun Aop divonis bersalah dan dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tinggi, tetapi putusan tersebut kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung. Hakim Mahkamah Agung akhirnya menyatakan bahwa Aop Saopudin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.

Putusan hakim tersebut mempertimbangkan bahwa apa yang dilakukan terdakwa sudah menjadi bagian dari tugas, bukan merupakan suatu tindak pidana. Aop dinyatakan tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin.

Dari kasus tersebut kita dapat mengambil pelajaran bahwa sanksi yang dilakukan oleh seorang guru dalam mendidik siswanya, jika dalam batas yang wajar, adalah tindakan yang baik dan justru patut diapresiasi.

Ketakutan Para Guru

Kasus Aop di atas adalah sebuah kasus yang berakhir membahagiakan, tetapi tidak bagi guru lain. Beberapa guru ‘berhasil’ dipenjarakan akibat tindakan pelaporan oleh orang tua siswa. Kasus serupa yang berujung lebih tragis pun masih saja terjadi.

Belum hilang dari ingatan kita ketika seorang guru harus kehilangan nyawa karena diserang oleh siswanya sendiri, setelah memberi peringatan atas tertidurnya si siswa di kelas.

Indonesia berduka, ribuan guru meneteskan air mata. Semua geram dan mengutuk aksi kekerasan terhadap rekan seprofesi mereka. Masyarakat pun turut mengutuk dan berharap agar pelaku diberi hukuman yang setimpal.

Guru yang seharusnya dihormati dan dihargai jasanya justru teraniaya oleh siswa  ataupun orang tua siswa. Berbagai peristiwa memalukan dan memilukan, menjadi catatan kelam dunia pendidikan Indonesia.

Beberapa kejadian tersebut tidak menutup kemungkinan membuat ketakutan para guru. Ketakutan yang dapat mengakibatkan menurunnya kepedulian guru terhadap kualitas karakter anak didiknya. Perlu kita ingat kembali, tugas guru bukan hanya sekedar mengajar, tapi mendidik dan membimbing agar anak memiliki budi pekerti yang luhur.

Guru dapat saja kemudian acuh tak acuh terhadap penyimpangan aturan yang dilakukan oleh muridnya, demi keselamatan dirinya. Kecenderungan tersebut membuat daya pikir guru untuk mencari solusi dan cara terbaik dalam mendidik juga menjadi lemah.

Epilog

Permasalahan ini sebaiknya menjadi refleksi dan tanggung jawab bersama, bukan hanya menuntut perbaikan sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan yang mengarah pada pendidikan karakter yang mengedepankan sisi humanisme perlu terus didorong.

Namun, di sisi lain masyarakat perlu melakukan refleksi kembali bahwa pendidikan karakter tidak cukup dilakukan di sekolah. Pendidikan dan bimbingan orang tua di lingkungan rumah tangga turut dan dominan menentukan perangai anak bangsa.

Pendidikan karakter anak seharusnya diperhatikan dan dilakukan sejak usia dini. Peranan orang tua sangat dibutuhkan untuk membentuk perilaku anak, agar etika dan moral tidak tergerus oleh arus perkembangan teknologi yang semakin pesat. Orang tua yang kurang peduli, atau justru melakukan perlindungan yang berlebihan kepada anak dapat menjadikan anak merasa kebal sanksi di lingkungan sekolahnya.

Akan lebih bijaksana jika orang tua bersama guru mengedepankan pendekatan secara kekeluargaan. Guru adalah mitra orang tua dalam mendidik anak, bukan justru memisahkannya dari konsep pendidikan anak. Para guru dan orang tua murid sebaiknya aktif melakukan komunikasi terhadap perkembangan seorang anak.

Para guru pun sebaiknya lebih aktif menyosialisasikan hukuman yang bersifat mendidik dalam rangka tindakan pendisiplinan terhadap murid yang melanggar peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru.

Menyatukan persepsi hukuman/sanksi di antara keduanya dan membangun sinergi, menjadi bagian yang terpenting agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap orang tua murid.

Seorang guru pun seharusnya dapat memberikan keyakinan kepada anak didiknya bahwa dirinya bukanlah sosok yang perlu ditakuti, tetapi mampu memosisikan dirinya sebagai sosok panutan yang dapat diteladani.

Semoga kejadian seperti ini tidak terulang kembali, agar pendidikan di Indonesia semakin maju dan mampu melahirkan generasi yang cerdas serta memiliki budi pekerti yang luhur.

Begitu beratnya tugas seorang guru, tidak hanya mengajar materi akademis, tetapi memiliki kewajiban mendidik, dan membimbing anak bangsa menuju karakter yang diharapkan. Sudah selayaknya kita, masyarakat, memberikan posisi yang lebih tinggi kepada profesi guru.***

 

 

2
0
Mirhan Triandi Doe ▲ Active Writer

ASN pada Pemerintah Kabupaten Morowali Utara Provinsi Selawasi Tengah.

Mirhan Triandi Doe ▲ Active Writer

Mirhan Triandi Doe ▲ Active Writer

Author

ASN pada Pemerintah Kabupaten Morowali Utara Provinsi Selawasi Tengah.

2 Comments

  1. Avatar

    Guru adalah profesi, dalam menjalannya harus profesional. Tugas guru adalah mendidik didalamnya terdapat kegiatan mengajari baik ilmu pengetahuan maupun pola pikir dan perilaku. Sehingga memidanakan guru dalam lingkup bidang tugasnya adalah sangat hina. Kalau tdk percaya dg sekolah ajari saja sendiri di rumah, toh soal anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang tua..guru dan sekolah hanya membantu…mari kita bantu guru mendidik anak kita di sekolah..

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post