
“Gen Zs are more focused on work/life balance
than climbing to the top of corporate ladder – only 6% of gen Zs said their primary career goal is to reach a leadership position” (2025 Gen Z and Millenial Survey, Deloitte)
Tampaknya, menjadi “Boss” kini bukan lagi menjadi posisi yang seksi di mata para generasi muda. Dulu, jabatan struktural itu dambaan. Jadi pejabat, berarti punya ruangan sendiri, tanda tangan berkas penting, dan disapa dengan hormat di lorong kantor.
Namun kini zaman berubah. Sekarang, banyak anak muda justru mikir dua kali sebelum ambil posisi itu. Buat mereka, naik jabatan bukan cuma perihal gaji dan status sosial, tetapi juga tentang kehilangan waktu, ruang gerak, bahkan jati diri.
Inilah perubahan besar yang terjadi di seluruh dunia, Deloitte dalam surveinya menyebut bahwa hanya 6% Gen Z yang bercita-cita mencapai posisi pimpinan, sisanya lebih memilih untuk bekerja dengan kepala tenang, dan punya waktu dengan keluarga.
Hilangnya Talenta Terbaik
Nah, bagaimana dengan di birokrasi? Apakah anak mudanya masih banyak yang ingin jadi pejabat?
Dari polling yang dilakukan oleh akun instagram @abdimuda_id, ternyata menunjukkan tren yang selaras.

Polling yang diposting pada tanggal 10 Juli 2025, menanyakan “Apakah di kantor kamu mengejar jabatan?”. Hasilnya, hanya 28% responden yang menjawab “Ya Pasti”, selebihnya (72%) memilih “Nggak, Makasih”.
Lebih lanjut, ketika dihadapkan pada pilihan “Lebih suka mana? Naik Jabatan atau Mutasi Homebase?”. 63% responden memilih mutasi ke homebase, dibandingkan 37% yang memilih naik jabatan. Artinya, sebagian besar birokrat muda, dekat dengan keluarga jauh lebih penting daripada naik jabatan.
Ya, meskipun ini hanya poling di media sosial,
dan bukan representasi statistik yang komprehensif. Namun, poling ini bisa menjadi tanda-tanda perubahan zaman mengenai preferensi karir para birokrat muda.
Fenomena ini membawa implikasi serius bagi organisasi, terutama di sektor publik. Ketika kursi-kursi struktural makin sepi peminat, organisasi berpotensi kehilangan talenta muda yang kritis, kreatif, dan berorientasi pada inovasi.
Lebih jauh lagi, hal ini bisa memunculkan kesenjangan regenerasi kepemimpinan, karena generasi muda lebih memilih jalur fungsional daripada meniti tangga hierarki struktural yang dianggap kaku, lambat, dan sarat akan nuansa politis.
Kalau pola ini dibiarkan, ada kemungkinkan nanti kursi jabatan strategis diisi bukan karena kompetensi, tapi oleh ambisi dan afiliasi.
Karena talenta terbaiknya sudah bilang, “Ngga, makasih”.
‘Ngeri kan?
Kenapa Ogah Struktural?
Keengganan anak muda menjadi pejabat struktural, jawabannya mungkin tidak sesederhana karena mereka “ogah tanggung jawab”. Banyak di antara mereka sebenarnya punya semangat tinggi untuk berkontribusi, tapi semangat ini seringkali mentok di tembok birokrasi yang menjulang tinggi.
Bagi generasi yang tumbuh di era digital, birokrasi yang penuh prosedural terasa seperti sebuah labirin tanpa peta keluar. Lingkungan kerja yang terlalu birokratis, seringkali membuat energi muda cepat habis.
Di samping itu, para pegawai muda ini masih perlu berjuang menghadapi labeling yang kerap terjadi di lingkungan birokrasi. Pegawai yang diam dianggap malas, tapi kalau rajin malah dilabel cari muka.
Kalau inisiatif, dikira melangkahi atasan. Akhirnya, banyak pegawai muda yang lebih memilih main aman. Ikut arus, nunggu arahan, dan tidak terlalu menonjol.
Prinsip “diam itu emas”, banyak dipakai. Diam bukan karena tidak punya ide atau inisiatif, tetapi karena tau bahwa ide di tempat yang salah, bisa membuat runyam.
Belum lagi tentang senioritas, urutan karir yang masih urut kacang. Siapa yang duluan masuk, dia yang naik duluan. Sementara yang masih muda, masih disuruh sabar dulu. Tapi ya, semangat muda itu seperti baterai handphone, kalau terlalu lama nunggu sinyal, bisa drop duluan sebelum sampai tujuan.
Dan terakhir, soal insentif. Banyak anak muda menganggap bahwa kerja keras itu penting, tapi hidup juga harus seimbang. Persoalan di birokrasi, seringkali yang rajin belum tentu mendapat bonus, tetapi dapat kerjaan tambahan.
Tambahan kerja berarti tambahan beban, bukan penghasilan. Di titik ini, bagi generasi yang sudah sadar akan pentingnya work-life balance, sistem seperti ini bukan motivasi, tetapi peringatan dini untuk mundur perlahan.
Ada banyak alasan kenapa Gen Z dan Milenial terkesan ogah mengejar jabatan struktural. Alih-alih melabeli anak muda ini, mungkin birokrasi yang perlu merenungi diri sendiri:
Apakah mereka benar-benar “ogah” menjadi struktural? Atau, sebenarnya struktur yang belum menyesuaikan diri dengan cara berpikir generasi baru ini?
Epilog: Menyediakan Ruang Bertumbuh

Sumber: BKN (Buku Statistik ASN 2022-2024)
Kehadiran generasi milenial dan gen Z yang saat ini mulai mendominasi tubuh birokrasi, bukan hanya menandai pergeseran demografis, tapi juga cara baru dalam memandang kultur dan kepemimpinan dalam birokrasi.
Generasi yang lahir dan tumbuh bersama teknologi digital ini membawa energi, cara pikir, dan nilai yang berbeda dari generasi sebelumnya. Kehadiran mereka semestinya dimanfaatkan sebagai aktor strategis dalam transformasi birokrasi, khususnya yang mengarah ke digitalisasi layanan publik.
Di titik inilah, milenial dan gen Z membawa implikasi penting bagi praktik kepemimpinan dan budaya organisasi birokrasi. Para pemimpin birokrasi perlu meretensi talenta mudanya, agar tidak layu sebelum berkembang, tidak gugur sebelum berbuah, dan tidak hilang sebelum memberi dampak.
Artinya, pola kepemimpinan lama yang bersifat satu arah, hierarkis, dan seragam sudah tidak lagi efektif. Seorang pimpinan birokrasi masa kini perlu punya kepekaan sosial dan emosional untuk membaca dinamika generasi muda, bukan semata memberi perintah, tapi mengajak berdialog, mendengarkan, dan memberi ruang bagi inovasi.
Pendekatan seperti ini tidak hanya membangun kinerja, tapi juga menumbuhkan sense of belonging dan sense of purpose di kalangan ASN muda.
Ketika mereka merasa diakui dan diberdayakan, integritas, loyalitas dan komitmen mereka terhadap misi institusi akan tumbuh dengan sendirinya. Di era ini, kepemimpinan bukan lagi tentang struktur, tapi tentang kontribusi dan peran.
Akhirnya, kalimat ‘Gen Z dan Milenial Ogah Struktural’, semoga kelak hanya menjadi mitos, bukan kenyataan yang terus diulang tanpa pernah dipahami.














0 Comments