Sejak akhir tahun 2021, baik media cetak maupun online banyak menuangkan berita tentang indeks kebahagian. Salah satu yang menjadi perhatian adalah masuknya Banten sebagai daerah yang paling rendah nilai indikator kebahagiannya dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.
Kondisi ini tentu saja menjadi salah satu isu menarik dan menjadi perbincangan di jagad maya. Banyak warganet (netizen) menyangkutpautkannya dengan kinerja pemerintah daerah ataupun kejadian sebelumnya, yakni demo buruh yang belakangan sering terjadi di Provinsi Banten.
Lantas bagaimanakah sebenarnya indeks kebahagian itu dan bagaimana capaian indeks kebahagiaan provinsi Banten selama ini?
Indikator Kebahagiaan: Bahan Pengambilan Kebijakan
Dikutip laporan indeks kebahagian yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, indikator kebahagiaan diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan publik dan pembangunan nasional.
Penghitungan indeks kebahagian lebih didasarkan pada konsep kebahagiaan dalam arti evaluasi penduduk terhadap kondisi objektif kehidupannya. Masih menurut BPS, pengukuran ini mengidentifikasi tingkat kebahagiaan sebagai sebuah ukuran subjektif terhadap kondisi objektif berbagai domain kehidupan manusia.
Di dalamnya mencakup 19 (sembilan belas) indikator, yang tercakup dalam 3 (tiga) dimensi kehidupan, yaitu (1) Dimensi Kepuasan Hidup (Life Satisfaction), (2) Dimensi Perasaan (Affect), dan (3) Dimensi Makna Hidup (Eudaimonia).
Sebagai salah satu instrumen pengambilan kebijakan di level daerah, tentu saja perlu dipahami substansi dari nilai indeks kebahagian ini, dan menjadi penting bagi Pemerintah Daerah untuk merumuskan berbagai langkah kebijakan di masa mendatang agar capaian di masa mendatang bisa lebih baik lagi.
Hasil Pengukuran di Provinsi Banten
Pengukuran Indeks Kebahagiaan dilakukan secara serentak di seluruh provinsi di indonesia mulai tanggal 1 juli sampai dengan 27 Agustus 2021. Metodologi yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik tentu saja memenuhi kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, unit observasi dari Survey Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2021 adalah rumah tangga, sedangkan yang eligible untuk menjadi responden adalah Kepala Rumah Tangga atau pasangannya.
Dari total target 1.690 rumah tangga yang tersebar di delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten, ditemukan 1.652 rumah tangga sasaran dengan tingkat respons mencapai 97,75%.
Hasil penilaian responden menunjukkan bahwa nilai Indeks kebahagiaan Provinsi Banten tahun 2021 mencapai 68,08 atau menurun 1,75 poin dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 69,83. Selain menunjukan penurunan, dibandingkan dengan capaian provinsi lainnya nilai tersebut merupakan nilai terkecil.
Meski demikian, berbeda dengan klasifikasi yang dilakukan oleh BPS pada nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dalam Indeks Kebahagian tidak dikenal klasifikasi berdasarkan interval nilai.
Klasifikasi IPM menjadi 4 kategori yang dilakukan oleh BPS yaitu IPM rendah (IPM<60), sedang (60≤IPM<70), tinggi (70≤IPM<80), dan sangat tinggi (≥80) tidak berlaku dalam penghitungan Indeks Kebahagian.
Menurun, Tapi Bukan Tidak Bahagia
Berdasarkan uraian di atas, maka wacana yang beredar di publik (termasuk judul beberapa media online) yang menyebutkan bahwa Penduduk Provinsi Banten sebagai Penduduk yang paling tidak bahagia kuranglah tepat. Nilai indeks kebahagian 68,08 tidak pula dapat dimasukan dalam klasifikasi indeks kebahagian sedang sebagaimana pengklasifikasian yang dilakukan dalam menghitung IPM.
Meskipun demikian, mengacu pada tujuan penyusunan indikator kebahagiaan sebagai bahan penyusunan rekomendasi pencapaian tujuan pembangunan nasional dan daerah, langkah kuratif yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah melakukan analisis terhadap faktor penyebab penurunan nilai indeks kebahagiaan tersebut.
Berdasarkan publikasi BPS, dari sembilan belas indikator, terdapat sembilan indikator yang menunjukan penurunan capaian dibandingkan dengan kondisi survey tahun 2017.
Jika dilakukan pengelompokan berdasarkan dimensi dan gap capaian yang cukup besar antara data tahun 2017 dengan 2021, tampaknya pemerintah daerah perlu memberi perhatian khusus pada Dimensi Perasaan yang terdiri dari indikator Perasaan Senang, Perasaan Tidak Khawatir dan Perasaan Tidak Tertekan.
Bahkan, dua indikator yang disebutkan terakhir mengalami penurunan yang cukup signifikan, yakni Perasaan Tidak Khawatir menurun dari 62,65 menjadi 52,31 (menurun 10,34 poin) sementara Perasaan Tidak Tertekan menurun 8,18 poin dari semula 68,01 (tahun 2017) menjadi 59,83 di tahun 2021 (sumber: Badan Pusat Statistik).
Efek dari Pemberitaan Puncak Kasus Covid-19
Penurunan nilai Indeks Kebahagiaan tahun 2021, terutama indikator penyusun Dimensi Perasaan tampaknya tidak terlepas dari waktu pelaksanaan kegiatan penyusunan Indeks Kebahagiaan yang dilakukan pada 1 juli – 27 Agustus 2021. Sebagaimana diketahui, periode tersebut merupakan masa puncak jumlah kasus kematian dan kasus positif Covid-19.
Merujuk kepada data yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), puncak kasus terkonfirmasi positif covid-19 di Indonesia terjadi pada tanggal 15 Juli 2021 yakni sebanyak 56.757 kasus, sedangkan puncak kasus kematian tercatat sebanyak 2.069 di tanggal 27 juli 2021. Data jumlah kasus baru dan kematian akibat covid-19 disajikan dalam gambar berikut ini:
Sumber: https://covid19.who.int/WHO-COVID-19-global-data
Banyaknya pemberitaan di media massa, baik cetak maupun online, akibat tingginya kasus positif Covid-19 serta jumlah kematian menjadi alasan bagi responden untuk menjatuhkan pilihan pada persepsi kondisi yang merasa khawatir dan cemas atas situasi yang berkembang saat itu. Atau paling tidak, persepsi rasa khawatir dan rasa cemas saat survey dilakukan di tahun 2021 jauh melebihi kondisi yang terjadi di tahun 2017.
Bentukan persepsi ini diperkuat dengan meningkatnya intensitas bunyi sirine ambulan yang lalu lalang atau pun speaker toa masjid yang mengumumkan berita kematian dari salah satu anggota masyarakat di sekitar lingkungannya.
Terjadi di 10 Provinsi dan Pengaruh Penurunan Mobilitas
Tentu timbul pertanyaan, kenapa penurunan Indeks Kebahagian hanya terjadi di sepuluh Provinsi (lihat tabel di bawah), padahal kasus positif dan kematian akibat Covid-19 terjadi secara nasional. Banyak faktor yang melandasi persepsi seseorang atas suatu hal atau kejadian.
BPS menyampaikan bahwa indeks kebahagian adalah penilaian subjektif atas kondisi objektif yang ada. Berangkat dari hal ini, tentu saja penilaian responden dalam satu wilayah akan berbeda dengan wilayah lainnya dalam menilai kondisi jumlah kasus positif atau kematian yang terjadi akibat Pandemi Covid-19.
Tabel Nilai Indeks Kebahagian Tahun 2017 dan 2021
Sumber: Indeks Kebahagiaan 2017 dan 2021 Badan Pusat Statitistik
Berdasarkan tabel di atas, terlihat sepuluh provinsi yang mengalami penurunan capaian indeks kebahagiaan tahun 2021 dibandingkan dengan capaian tahun 2017. Selain Provinsi Banten, penurunan yang cukup tajam terjadi di Provinsi D.I. Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Bali.
Persepsi masyarakat yang menyebabkan penurunan Indeks Kebahagiaan yang terjadi di beberapa provinsi (termasuk Banten) juga dimungkinkan karena perbedaan respons daerah dalam menetapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan segala tingkatannya (leveling).
Kebijakan ini pada akhirnya mengakumulasi tingkat kebahagiaan masyarakat terutama dimensi Perasaan responden (Indikator Perasaan Cemas dan Tertekan). Kebijakan penetapan PPKM berbagai Daerah Provinsi tentu saja mempengaruhi tingkat mobilitas masyarakat sehingga pada akhirnya masyarakat yang menjadi responden survey merasa cemas atau pun tertekan.
Hal ini terkonfirmasi dari data mobilitas penduduk selama periode survey berlangsung yakni 1 juli-27 Agustus 2021.
Sumber://www.google.com › covid19 › mobility (diolah)
Berdasarkan perbandingan hasil olahan data mobilitas masyarakat yang terekam dalam Google Mobility selama periode Juli – Agustus 2021, terlihat bahwa pada wilayah provinsi yang mengalami penurunan Indeks Kebahagiaan, aktivitas berdiam diri di rumah (residen) lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum Covid-19. Selain itu, aktivitas pada tempat umum berupa stasiun atau terminal jauh di bawah kondisi sebelum Covid (bernilai negatif/dibawah garis nol).
Kondisi sebaliknya terjadi pada rata-rata wilayah provinsi yang mengalami peningkatan nilai Indeks Kebahagiaan termasuk Indonesia secara umum. Kondisi inilah yang diduga kuat menjadi penyebab responden di Provinsi Banten lebih memilih persepsi tingkat kecemasan dan tertekan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah provinsi lainnya.
Epilog: Bukan Pembenaran
Berbagai penjelasan yang disampaikan tentu saja tidak menjadi dasar pembenaran pemerintah daerah untuk berdiam diri atas kondisi capaian Indeks Kebahagian di wilayahnya. Pemerintah daerah tetap harus menyikapi kondisi berdasarkan capaian indikator kebahagian dengan berbagai kebijakan pembangunan yang dapat mengakselerasi capaian indikator yang masih rendah.
Dalam kasus Provinsi Banten, pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) perlu memikirkan langkah kebijakan yang dituangkan dalam bentuk program dan kegiatan yang dapat menciptakan suasana lingkungan yang tidak melahirkan kecemasan, ketakutan dan perasaan tertekan dalam segala kondisi termasuk situasi di masa Pandemi Covid-19.
Langkah kolaboratif pemerintah provinsi, kabupaten/kota serta masyarakat diharapkan melahirkan tingkat kebahagian sebagai proxy dari kesejahteraan yang seutuhnya.
Fungsional Peneliti Bappeda Provinsi Banten, dengan bidang riset seputar ekonomi pembangunan.
0 Comments