Fonem dan Oposisi dalam Bingkai Partai Politik Indonesia

by | Feb 15, 2023 | Politik | 0 comments

brown chess piece on white surface

Jika kita menelaah kaidah bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata oposisi diletakkan layaknya premis pada satu tatanan sistem pemerintahan yang demokratis dengan menempatkan kelompok perorangan atau gabungan berada di luar meja kekuasaan.

Lebih lanjut, jika kita berselancar lebih jauh dalam KBBI, detail kata oposisi dijelaskan seperti fonem, yaitu satuan bunyi terkecil untuk mendeteksi kekontrasan makna dalam kata tersebut.

Sebagai misal huruf ‘h’ dalam kata ‘harus’, seringkali kita tidak sadar mendengar kata ‘harus’ seperti ‘arus’ yang jelas maknanya berbeda begitu juga dengan ‘bara’ dengan ‘para’.

Sebegitunya tata bahasa yang sangat ketat dalam mempresentasikan makna dan maksud.

Saya memang bukan ahli bahasa yang dapat menjelaskan dengan segala perkakas dan bahannya, namun yang menarik dari tata bahasa yang kerap kita gunakan ternyata juga menyelipkan makna dalam konteks kontestasi di panggung partai politik kita.

Edward Apinal telah menelaah, jika diizinkan saya menyebutnya sebagai, empat koridor untuk mengartikulasikan oposisi dalam konteks politik Indonesia pasca reformasi. Namun, saya hanya membawa dua koridor saja dalam tulisan ini.

Keduanya memiliki motivasi, atribusi, dan karakter yang fluktuatif. Ini yang terkadang juga menimbulkan gejolak di putaran politik elektoral Indonesia.

Fonem Oposisi Partai Politik 

Indonesia yang sarat multi-partai pada perhelatan politik elektoral di 2024 telah memberi satu kesejukan: partisipasi partai baru yang mendaftar dalam pemilihan umum (di antaranya Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Buruh, dan Partai Umat).

Ini merupakan indikasi bahwa tahapan demokrasi elektoral telah berjalan pada rel yang demikian baik. Darinya kita juga mengharapkan partai-partai baru maupun lama agar membawa diskursus reflektif dua arah yang alot khususnya di legislatif yang kerap menjadi problem publik terkait legislasi dan sebagainya.

Kita juga berharap partai baru mampu memberikan letupan-letupan sumbang bagi partai penguasa dalam rangka perbaikan. Walakin, dalam perjalanannya entah bakal menemukan segala problematisasi yang disuarakan.

Koridor pertama, Aspinal merekonstruksi apa yang disebut ke dalam semi-oposisi dalam konteks perpolitikan Indonesia. Dalam koridor ini, rezim mengakui adanya kelompok di dalam formalitas sistem atau struktur pemerintahan.

Rezim membiarkan keleluasaan kelompok (partai) ini di dalam struktur untuk dapat memberikan kritik, aspirasi, dan pendapatnya baik yang sejalan maupun berseberangan.

Dari padanya, rezim selalu mengikutsertakan sekaligus mengompromikan, merumuskan bersama terkait dengan strategi kebijakan, meski seringkali mendebat ideologi dan kurang komit. Maka, kecenderungan pada kelompok ini sangat parsial dan sering juga tidak jelas.

Ketika kasus RUU Cipta Kerja, hampir keseluruhan dari fraksi di legislatif menyetujui draf tersebut untuk dijadikan UU. Hanya ada dua partai yang menolak yaitu PKS dan Demokrat.

Hingga pada akhirnya RUU itu ditandatangani oleh Presiden, malah justru jalan panjang itu digerakkan oleh beberapa kelompok yang berada di luar legislatif seperti buruh dan kelompok terkait melalui judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi).

Hal ini dipandang semi-oposisi terhadap partai penguasa terkait RUU Ciptaker sebagai pergeseran Pancasila yang meminimalkan peran buruh dan menguntungkan pengusaha seperti yang diutarakan kader Demokrat Marwan Cik Asan (besaran porsentase pengusaha pada elite ada pada partai penguasa).

Sementara, PKS melalui Amin AK menuding bahwa RUU tersebut mengundang eksploitasi alam dan buruh dengan pendekatan liberalisasi pasar yang jauh dari semangat pokok-pokok Pancasila.

PKS juga pernah dihadapkan dengan polemik tentang RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS), di mana PKS yang awalnya setuju seketika menolak di tengah jalan berdekatan dengan waktu agenda prolegnas.

Sikap bimbang yang awalnya menyetujui lalu menolak adalah tindakan kompromistis terhadap isu-isu krusial, atau bisa juga sebagai presensi eksistensi sebagai partai oposisi.

Partai yang mengaku oposisi sering mengalami ambigu dalam mengartikulasikan kepentingannya, inilah yang disebut sebagai semi-oposisi.

Menentukan sikap secara parsial jauh dari konsistensi maupun holistik. Setuju terhadap keselamatan kepentingannya lewat kompromi dan publik cenderung sulit untuk menangkap langkahnya.

Jika kita dapat berharap lebih, Partai Buruh bisa menjadi tali kendali yang kuat atas problematik UU Cipta Kerja (atau kejadian serupa di depan) yang terjadi di lingkup legislatif, dengan catatan mampu mendulang suara yang signifikan.

Kita juga bisa berharap bahwa oposisi di luar kandang legislatif yang concern pada isu patriarki seperti RUU PKS juga memiliki akses yang mulus sehingga keseimbangan di tahap policy maker position tetap menjadi area diskursus reflektif sebagai volunte generale (kehendak umum) yang ajeg dalam mencapai konsensus tanpa paksaan.

Fonem Nasdem dari Kekuasaan

Jika semi-oposisi letaknya ada di legislatif, berbeda dengan oposisi yang berada di lingkup eksekutif. Koridor lain dari Aspinal adalah oposisi alegal, di mana sikap oposisi ini lebih berprinsip dibanding semi-oposisi.

Oposisi Alegal berjuang untuk mengubah secara prinsip dari sikap skeptisismenya atau bisa dari hasil temuan-temuan baru dan panggilan moral untuk menyerukan pembaruan di tubuh pemerintahan yang terpicu dan dirasa perlu mere-konseptualisasikan selama berada dalam perjalanan sistem politik yang sah.

Sebulan terakhir merupakan masa-masa mengerikan bagi Nasdem (bagi publik, tidak untuk pengamat).

Nasdem berkoalisi sejak era periode pertama Jokowi 2014-2019 dengan menempatkan empat menteri di pemerintahan; Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menko Politik Hukum dan Keamanan, dan Jaksa Agung.

Setelah priode pertama, pada edisi 2019-2024 Jokowi kembali menetapkan tiga kader Nasdem; Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Pertanian.

Kabar guncangan kapal bakal pecah terjadi pada paruh akhir 2022 ketika Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon Presiden di pemilu 2024 atau perjalanan kapal belum sepertiga tujuannya. Hampir sepakat seluruh pengamat bahwa Anies Baswedan adalah antitesis Jokowi dan PDI-P sebagai partai pengusungnya. 

Kisah awal perpolitikan Nasdem begitu akrab publik menilai keeratannya dengan Jokowi sebagai patron yang melekat dengan partai tersebut.

Keretakan itu terjadi ketika Nasdem membuka jalur untuk Anies dengan mengintip kinerjanya yang dianggap sukses dalam membenahi Jakarta dan tidak berlebihan juga bahwa ini adalah ‘kredo’ Nasdem.

Dalam sebuah tulisan Lely Arrienie “Koalisi di Persimpangan Jalan” di Kompas (18/1/2023) beliau menilai bahwa patronase sebagai satu step Jokowi untuk membangun kesetiaan dan komitmennya dengan Nasdem pada dua periode pemerintahannya.

Hal ini menyiratkan bahwa deklarasi Anies sebagai calon Presiden yang diusung Nasdem adalah respons organik dari patron-patron yang tersedia sekalipun memasang badan sambil mendaku sekoci jika sewaktu-waktu dirinya dibuang dari kapal.

Fonem ini erat kaitannya dengan prinsip patronase yang dipegang erat oleh Nasdem sebagai peserta pemilu. Di mana pada awal permulaan Nasdem begitu sangat setia pada Presiden Jokowi dengan timbal balik yang sepadan dari kawan politiknya. 

Maka untuk menjaga dirinya dibuang dari kapal kapanpun presiden mau, Nasdem gencar mencari perekat dengan bernegosiasi dari beberapa partai berseberangan dengan partai penguasa seperti PKS dan Demokrat untuk membangun koalisi.

Inilah prinsipil dan moralitas oposisi alegal yang digambarkan oleh Aspinal. Kontras strategi tanpa apoligize di tengah jalan.

3
0
Ade Novianto ♥ Associate Writer

Ade Novianto ♥ Associate Writer

Author

Alumnus Hubungan Internasional Univeritas Satya Negara Indonesia.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post