Kutuliskan kisah ini bukan untuk ditiru!
Tulisan ini sekedar menggambarkan bagaimana ketika rindu berkumpul dengan keluarga mengalahkan perhitungan lainnya. Tulisan ini merupakan pengembangan dari status pada akun facebook saya pada tanggal 12 November 2018 ketika kami, para treasurer, masih dalam suasana berduka atas kepergian rekan sejawat yang menjadi penumpang penerbangan pesawat dari maskapai Lion Air JT-610 tanggal 29 Oktober 2018.
Saya bekerja di Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), yang mempunyai unit vertikal tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebanyak 34 kantor wilayah plus 183 kantor pelayanan, yang tersebar di seluruh ibukota provinsi dan kota/kabupaten, membuat DJPb menjadi salah satu unit eselon 1 terbesar di Kementerian Keuangan.
Hal itu berarti bahwa pegawai DJPb, kita sebut saja treasurer, tersebar di seluruh wilayah NKRI, yang berarti pula bahwa sebagian besar dari mereka merantau untuk melaksanakan tugas. Di antara yang merantau tersebut (mayoritas pria) sebagiannya tidak membawa serta keluarga dengan berbagai pertimbangan.
Berjauhan secara fisik dengan keluarga tentu saja mempunyai dinamika tersendiri, terutama dalam hal komunikasi sampai menjaga komitmen. Tentu saja yang tidak kalah penting adalah waktu untuk pulang mengunjungi keluarga yang harus diatur jadwalnya secara baik.
Wahana transportasi yang digunakan untuk perjalanan pun menjadi beragam. Sebagian cukup menggunakan wahana transportasi darat, mulai dari sepeda motor, mobil, bus, dan kereta api.
Sebagian lagi dipadukan dengan wahana transportasi laut, ataupun wahana transportasi udara. Bagi yang melaksanakan tugas di unit yang sangat jauh, yang untuk pulang-pergi harus menggunakan pesawat udara, tentu tidak setiap waktu dapat mengunjungi keluarga tercinta.
Selain jadwal penerbangan dan biayanya, masa hak cuti yang dimiliki juga sangat menentukan waktu kepulangan. Cuti bersama, dan hari libur nasional yang berdampingan dengan hari libur pekanan adalah salah satu waktu favorit untuk bisa pulang menemui keluarga.
Dan inilah salah satu kisah seorang treasurer ketika pulang mengunjungi keluarga.
Kala itu, hari Jum’at di bulan Mei tahun 2012, dikeluarkan pengumuman bahwa hari Senin, 3 hari berikutnya, dinyatakan sebagai hari cuti bersama karena hari Selasa merupakan hari libur nasional keagamaan. Terbayang sudah “libur panjang” bagi kami selama 4 hari.
Alangkah bahagia jika bisa berkumpul dengan keluarga di kampung (homebase) bukan di kota tempat bertugas seorang diri. Malamnya saya menghubungi istri, menyampaikan bahwa saya ingin pulang saja agar bisa berkumpul dengan dia dan anak-anak tercinta.
Saat itu seorang teman juga berencana libur di kota lain dan akan naik pesawat paling pagi esok harinya, Sabtu. Akhirnya saya berencana ikut mengantar sekaligus mencoba mencari tiket dadakan (go show, istilahnya). Kalau dapat ya syukur, tidak dapat, ya nasib.
Sabtu pagi subuh kami berangkat ke bandara. Berbekal uang di dompet sebanyak 700 ribu rupiah, tidak bertambah karena ketika mampir di anjungan tunai mandiri (ATM) sepanjang perjalanan ternyata tidak berfungsi, saya bertekad (lebih tepatnya nekad) ingin pulang.
Tiba di bandara, saya mencoba melihat situasi bagaimana agar bisa berkomunikasi dengan petugas bagian penjualan tiket. Akhirnya melalui loket kecil saya menanyakan, apakah masih tersedia tiket penerbangan (kursi kosong)? Petugas menanyakan nama dan nomor handphone, dan berjanji akan menghubungi saya dalam beberapa menit kemudian.
Sementara itu, teman yang saya antar sudah melakukan check-in dan menuju ruang tunggu. Saya sempat berpesan kepadanya sekiranya nanti uang yang saya pegang tidak mencukupi maka saya minta padanya dipinjami uang untuk tambahan pembayaran tiket.
Dengan H2C (bukan rumus kimia, tetapi kependekan dari harap-harap cemas) saya menantikan panggilan telepon sambil menunggu di pelataran bandara. Tak lama kemudian panggilan telepon masuk. Saya angkat telepon itu dengan segera. Ternyata dari petugas tiket yang memberitahukan bahwa hanya ada satu tiket tersisa seharga Rp 1.500.000,00.
Saya pikir tinggi sekali harganya. Saya mencoba menawar dan akhirnya sepakat dengan harga Rp 1.000.000,00. Segera mungkin saya menghubungi teman yang sudah di ruang tunggu dan berhasil mendapatkan pinjaman Rp 300.000,00 untuk melengkapi kekurangannya.
Saya kemudian segera menghubungi petugas tiket. Yang bersangkutan minta berjumpa di ruangan lain bukan di ruang tiket. Uang saya serahkan dan saya hanya mendapatkan secarik kertas boarding pass. Tidak kurang tidak lebih.
Maka saya sangat terkejut ketika ternyata pada kertas tersebut yang tertulis bukan nama saya, melainkan nama seorang wanita. Tertera juga harga tiket yang sebenarnya Rp 800.000,00.
Lebih mengejutkan lagi beberapa saat kemudian saya diminta mengikutinya masuk ke ruang tunggu lalu langsung diantarkan menuju pesawat dan kursi yang harus saya duduki. Setelah itu petugas tiket tadi berbincang sejenak dengan pramugari.
Saya sempat berpikir ajaib sekali kejadian ini. Sementara penumpang lain masih di ruang tunggu dan menantikan pemberitahuan untuk boarding, saya malah diperlakukan seperti penumpang istimewa.
Beberapa menit kemudian penumpang lain berdatangan naik ke pesawat dan duduk di kursi masing-masing, sampai akhirnya pesawat bersiap lepas landas menuju bandara pertama untuk transit. Saya hanya duduk terdiam sambil berpikir bagaimana proses boarding nanti di bandara transit?
Boarding pass saya yang berbeda dengan kartu identitas diri, bisa menimbulkan masalah. Akhirnya saya hanya bisa berdoa dan berharap semoga penerbangan ini aman dan selamat tanpa kendala.
Pesawat pun lepas landas (take-off). Penerbangan yang mendebarkan itu dimulai. Semakin tinggi pesawat ini terbang, semakin dag-dig-dug (berdebar) jantung ini rasanya. Bermunculan berbagai pertanyaan dalam benak saya, bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan berbagai bayangan buruk atas penerbangan ini. Nama saya tidak tercatat sebagai penumpangnya.
Bagaimana mungkin, saya yang sejak bertugas tahun 1994 di perantauan – dan jika pulang menggunakan wahana transportasi darat yaitu bus antar-kota antar-provinsi (sebelum masa low cost carrier dalam dunia penerbangan komersil) – selalu mencantumkan nama sesuai KTP karena untuk mengantisipasi risiko yang kemungkinan terjadi.
Akan tetapi hari itu saya menggunakan wahana transportasi yang mempunyai risiko tinggi sebagai seorang penumpang gelap. Sebuah kegilaan yang baru pertama kali saya lakukan dalam hidup saya. Alasan dari itu semua adalah karena kerinduan berkumpul dengan keluarga. Dalam suasana yang semacam itu, yang bisa saya lakukan hanya berdoa dan memohon keselamatan kepada Tuhan.
Pesawat telah stabil pada posisi ketinggian 33.000 kaki atau sekitar 11.000 meter di udara. Sudah menjadi rutinitas maka pramugari membagikan konsumsi berupa makanan ringan, dan disusul dengan penawaran produk-produk yang sebagian berlabel nama maskapai penerbangan. Biasanya saya membeli satu produk yang harganya masih terjangkau sebagai buah tangan untuk keluarga.
Namun saat itu, jangankan membeli produk tersebut, selembar uang pecahan senilai 1.000 rupiah saja saya tidak punya. Entah karena hal apa, ternyata pramugari justru menawarkan kepada saya untuk membeli parfum yang harganya 400.000 rupiah. Dia mengatakan bahwa harga tersebut sudah sangat rendah dibandingkan harga aslinya.
Bayangkan saja, bagaimana saya harus berulang kali menolak penawaran tersebut karena selain tidak ada lagi uang saya, parfum semahal itu bukanlah produk yang selama ini saya nikmati. Terlalu mewah bagi saya. Dalam benak saya seakan berkata, “Ah, lo kagak tau aje berapa si dompet gue sekarang.”
Setelah hampir 1 jam penerbangan maka pesawat akan mendarat di bandara transit. Debaran jantung saya terasa lebih keras bukan karena prosesi pendaratan (landing) namun karena membayangkan bagaimana proses keluar dan masuk kembali ke dalam pesawat. Selama ini penumpang transit selalu harus menunjukkan KTP dan Kertas boarding pass.
Apa yang akan terjadi jika pihak keamanan bandara (AVSEC) mengetahui ada penumpang tidak terdaftar dalam penerbangan ini? Kembali, doa dan doa yang saya mohonkan kepada Allah semoga semua berjalan lancar.
Pesawat sudah berada pada posisi sempurna terparkir di appron, artinya prosesi penumpang untuk keluar dan masuk pesawat akan dimulai. Kembali H2C melanda diri ini. Pramugari memberitahukan prosedurnya.
”… Bagi penumpang yang akan melanjutkan penerbangan dengan pesawat ini menuju Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, kami mohon untuk tetap berada dalam pesawat…,” sebuah kalimat yang terdengar sangat menyejukkan hati saya yang sedang gundah.
Kalimat-kalimat lain pun seakan tidak lagi terdengar. Hanya ucapan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha-Kuasa, Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang terucap diiringi dengan rasa menurunnya debaran jantung ke dalam degupan yang normal. Alhamdulillah.
Prosesi keluar dan masuk penumpang berlangsung lancar dan akhirnya pesawat kembali mengudara menuju kampung halaman tercinta. Tanpa diduga ternyata masih ada “teror kecil” yang terjadi, yaitu pramugari kembali berkali-kali menawarkan produk parfum yang sangat tinggi harganya bagi saya. Astaghfirullah.
PNS yang bertugas pada Seksi Kepatuhan Internal Bidang SKKI Kanwil DJPb, Kementerian Keuangan Prov. Bengkulu
ternyata jika dibuka pakai handphone…lalu ada yang mau tekan tombol LIKE (jempol ke atas)…yang terkena malah tombol ke bawah…dan…tidak dapat diperbaiki…
demikian disampaikan oleh anak saya dan seorang teman saya…dan…yang bersangkutan sampai minta maaf kepada saya…
saya katakan bahwa TIDAK MASALAH…karena saya hanya ingin berbagi…semoga semakin banyak yang mengirimkan tulisan…
Lika liku anak perantauan, semua cara dilakukan. Tapi ini terlalu nekat. Jangan diulangi lagi mas.