Penduduk bumi saat ini sebenarnya telah hidup di dua dunia, dunia nyata dan dunia maya. Dunia nyata adalah di permukaan bumi di mana jasmani berada, sedangkan dunia maya adalah jaringan internet di mana orang juga bisa berkumpul dan berdikusi secara pikiran – tanpa kehadiran jasmani.
Sekat-sekat pemisah di dunia nyata seperti lokasi, jarak, waktu, dan status sosial seakan luruh di dunia maya. Internet telah memungkinkan orang untuk “bertemu” dan berkomunikasi secara intens meski terpisah jarak yang jauh, tanpa dipengaruhi status sosial. Aplikasi media sosial menjadi ruang terbuka versi dunia maya tempat di mana orang-orang saling bertemu.
Sekat-sekat pemisah antara pemerintah dan rakyat juga turut luruh di dunia maya. Aturan protokoler tidak lagi diperlukan jika rakyat bertemu dengan pemerintah melalui internet. Semua orang kini bisa melaporkan peristiwa, mengekspos kesalahan, mengemukakan pendapat, memobilisasi protes, memantau pemilihan, meneliti pemerintah, memperdalam partisipasi, dan mengembangkan wawasan kebebasan.
Internet yang mudah diakses melalui telepon seluler mampu menyatukan setiap orang dan merancang pergerakan masif yang terstruktur. Ahli politik Universitas George Washington, Henry Farrel, menjelaskan ini dalam bukunya The Consequences of the Internet for Politics.
Melalui internet, informasi datang bertubi-tubi setiap hari seperti air bah, termasuk dalam hal politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Kekayaan informasi itu membuat lebih banyak orang ingin terlibat dalam jalannya pemerintahan. Mulai dengan topik pelayanan publik hingga soal pemilihan, keinginan masyarakat untuk didengarkan dan mempengaruhi kebijakan publik ini tampak semakin besar dalam dua puluh tahun terakhir.
e-Democracy
Begitulah, internet telah memfasilitasi “demos” (rakyat) untuk menemukan “kratos” (kekuasaan) dengan cara yang lebih mudah dan cepat. Hakikat demokrasi memang pemerintahan oleh rakyat.
Bedanya, demokrasi sekarang ini dijalankan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang disebut dengan e-democracy. Fenomena e-democracy ini menjadi pembahasan yang menarik karena porsinya semakin besar meski meninggalkan pertanyaan:
Apakah internet membantu atau justru menciderai demokrasi?
Salah satu alasannya adalah karena suara di internet dengan cepat bisa menjadi mayoritas dan berkuasa membentuk opini publik. Pada saat yang sama, ia bisa pula “melukai” kelompok minoritas, memicu pertikaian social, atau merubah peta politik bahkan mempengaruhi eksistensi sebuah negara. Padahal, berita bisa saja palsu dan opini bisa pula absurd.
Salah satu contoh efek e-democracy di dunia adalah fenomena Arab Spring, yaitu serangkaian protes terhadap pemerintah yang berujung pada pemberontakan bersenjata di negara-negara Arab pada awal tahun 2010-an.
Protes yang bermula dari soal kemiskinan dan rezim yang dianggap menindas rakyat di Tunisia itu merambat dengan cepat melalui media sosial, lalu menulari berbagai negara di sekitarnya.
Tak lama, demonstrasi berujung kekacauan pun menyusul terjadi di Libya, Mesir, Yaman, Suriah, Maroko, Irak, Algeria, Iran, Libanon, Yordania, Kuwait, Oman, dan Sudan. Pemerintah Mesir dan Libya akhirnya jatuh, sementara Suriah porak-poranda.
Bukan suatu kebetulan bahwa Tunisia adalah negara dengan jumlah pengguna Facebook yang sangat besar di kawasan itu. Begitu pula dengan Mesir yang merupakan pengguna internet tebesar. Meski Farrel mengakui bahwa media konvensional seperti Al Jazeera turut punya andil dalam fenomena Arab Spring.
Polariasi politik
Setalah internet menguasai segela sendi kehidupan manusia, fenomena kebebasan berpendapat menguat. Orang berlomba-lomba mengutarakan pendapat dan masing-masing ingin mempengaruhi opini orang lain. Blog dan media sosial menjadi sarana yang paling menarik untuk aktivitas itu.
Ternyata, para peneliti telah menemukan indikasi bahwa di dunia maya, orang lebih mudah menemukan orang lain yang sepemahaman daripada di dunia nyata. Itu mengapa pemisahan kutub di politik pun semakin jelas karena orang yang memiliki pandangan sama akan saling mendukung dan memperkaya informasi, pada saat yang sama menolak informasi dari pandangan yang lain.
Meski internet sangat kaya akan informasi, tetapi setiap orang memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi apa yang dia sukai. Orang yang tidak memihak kutub politik mana pun biasanya akan berhenti mengonsumsi informasi politik. Sehingga, sebagian besar pengguna internet bisa diidentifikasi pandangan politiknya dengan melihat aktivitas cyber-nya.
Salah satu polarisasi politik yang terlihat jelas ada di Amerika Serikat (AS). Meski sudah terindikasi sejak lama, tetapi politik Amerika semakin terpolarisasi antara kutub Demokrat dan Republik setelah tahun 90-an.
Peneliti Adamic & Glance (2005) menunjukkan bahwa blogger politik AS cenderung menjadi bagian dari kelompok yang condong ke kiri atau kanan. Peneliti lain, Conover dkk. (2011) juga menunjukkan pengelompokan serupa terjadi di Twitter.
Sampai-sampai ada anekdot ketika seorang pemuda bertemu pertama kali dengan ayah dari pacarnya, yang ditanya adalah, “Are you Democrat or Republican?” Status yang seakan dianggap penting – seperti pentingnya identitas agama di Indonesia.
Indonesia juga tak luput dari e-democracy dan polarisasi. Media sosial semakin populer sebagai panggung diskusi dan perang narasi sejak pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada tahun 2012 silam.
Masa itu juga berjarak setahun setelah pemerintah Libya dan Suriah jatuh. Iklim sosial, budaya, dan politik Indonesia semakin menghangat saat musim Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, berlanjut di Pilgub DKI Jakarta 2017, kemudian di Pilpres 2019.
Polarisasi yang merambat cepat ke daerah-daerah lain di Indonesia berkat media sosial seakan membentuk kutub nasionalis dan kutub agamais. Seperti terpisahnya air dan minyak, warga net pun ramai-ramai melakukan aksi unfriend dan unfollow di media sosial. Ini adalah fase dalam proses polarisasi, yaitu pembersihan halaman media sosial dari orang-orang yang tidak sepaham.
Fenomena ini sebenarnya bukan terjadi karena semua orang tiba-tiba jadi pengamat politik tetapi karena internet, terutama media sosial, menjadi amplifier suara-suara pribadi itu ke ruang publik.
Demokrasi yang dulunya dijalankan dengan senyap di bilik suara dan gedung legislatif kini dibawa terbuka melalui media sosial. Semua orang kini bisa “bersuara lantang” – lebih lantang dari megaphone orator demonstrasi.
Masyarakat tampaknya bergerak kembali ke sistem demokrasi langsung (direct democracy). Sistem pemerintahan yang sudah ditinggalkan berangsur-angsur sejak beberapa tahun sebelum Tahun Masehi, yaitu sistem di mana rakyat langsung menentukan kebijakan pemerintah. Sebuah fenomena menarik yang perlu perhatian sangat besar karena terjadinya secara global dan berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Politics is the art of controlling your environment”
(Hunter S. Thompson)
Referensi lain:
Boyd, D. (2014). It’s Complicated. London, UK: Yale University.
Farrel, H. (2012). The Consequences of the Internet for Politics.
Chadwick, A. & Howard, P. N. (2008). Routledge Handbook of Internet Politics.
Mengabdi di Pemerintah Kota Medan, pernah belajar Ekonomi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara dan program Master of Public Policy di Victoria University of Wellington, New Zealand.
0 Comments