Fatherless dan Dukungan Pengasuhan Ayah di Ruang Publik

by Oki Kurniawan ◆ Professional Writer | Dec 3, 2024 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Indonesia sering disebut sebagai negara dengan kondisi fatherless terbesar tiga di dunia. Apakah ini merupakan sebuah prestasi?

Fatherless merupakan sebuah kondisi kurangnya atau hilangnya peran ayah dalam pola pengasuhan anak. Ketiadaan peran ini bisa disebabkan karena memang tidak adanya sosok ayah. Atau bisa juga dikatakan sosok ayah ada, namun anak tidak merasakan peran ayah dalam tumbuh kembangnya. Ayah ada, tetapi tidak terlibat secara emosional.

Meskipun tidak ada data atau survey
dari lembaga internasional yang memberikan pemeringkatan negara dengan kondisi fatherless,
namun kondisi di sekitar kita seolah mendukung klaim tersebut.
Dukungan terhadap pengasuhan ayah masih minim kita temui, termasuk di ruang publik.

Kursi Prioritas

Saya jadi teringat sebuah pengalaman unik saat menggunakan transportasi umum di Jakarta. Saya memasuki bus, dengan anak balita yang sedang terlelap dalam gendongan. Mata saya menyapu ruangan, mencari kursi kosong.

Seolah mengais harapan kecil di tengah keriuhan suara deru mesin. Nihil. Tak ada satupun kursi kosong yang tersedia. Semua terisi, dan setiap penumpang terdiam tertunduk.

Akhirnya saya memutuskan tetap berdiri. Memasang kuda-kuda yang kuat, memastikan anak saya aman dan nyaman dalam dekapan. Meskipun, di lantai bus sedikit bergetar.

Tatapan saya kemudian tertuju pada sebuah stiker yang ada di kaca jendela. Gambarnya sederhana, menampilkan empat sosok yaitu seorang lansia yang menggunakan tongkat, kaum difabel, ibu hamil, dan ibu yang membawa anak kecil. Di atas gambar itu, tertulis pesan “Kursi Prioritas”.

Melihat gambar itu, saya tersenyum tipis, getir. Seolah menemukan jawaban dari apa yang baru saya alami. Tampaknya, ayah yang sedang membawa balita bukan termasuk prioritas.

Pengalaman ini mengusik benak saya, apakah ini cerminan minimnya kesadaran masyarakat dan ruang publik terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan?

Meskipun saya sadar bahwa satu kejadiaan ini tidak bisa digeneralisir untuk menggambarkan keseluruhan kondisi masyarakat kita. Kejadian ini mungkin hanya kebetulan, namun sulit untuk mengabaikan bahwa fasilitas di ruang publik dalam mendukung ayah yang sedang mengasuh, masih jarang ditemui.

Mengikis Budaya Patriarki

Kondisi fatherless memang disebabkan oleh banyak hal, di antaranya karena sang ayah sudah meninggal dunia, orang tua yang bercerai, menjalani kehidupan pernikahan jarak jauh, serta budaya patriarki yang masih kental di masyarakat kita.

Budaya patriarki turut mempengaruhi minimnya peran ayah
dalam pengasuhan anak. Masih banyak masyarakat yang bersandar pada peran gender secara tradisional. Ibu identik dengan peran domestik.
Sementara, ayah lebih fokus mencari nafkah dan pemenuhan ekonomi keluarga. Sehingga pengasuhan anak sering dianggap bukan tanggung jawab utama ayah.

Dalam kehidupan sehari-hari pun tidak sedikit terjadi pemakluman untuk ayah yang tidak berperan dalam pengasuhan anak dengan dalih telah lelah bekerja. Atau memiliki waktu yang sedikit bersama dengan anak.

Kebijakan pemberian hak cuti selama dua hari bagi suami yang mendampingi istri di masa persalinan, dinilai masih belum mampu untuk mem-boosting peran ayah dalam pengasuhan anak.

Dua hari mungkin hanya cukup digunakan untuk mendampingi istri di rumah sakit, mengurus administrasi rumah sakit, serta mengurus administrasi kependudukan. Belum cukup untuk melibatkan dalam pengasuhan anak dan mendampingi istri di masa awal persalinan.

Hal ini cukup berbeda dengan penerapkan cuti ayah (paternity leave) yang ada di beberapa negara Eropa. Cuti yang diberikan untuk ayah ini, selain untuk mendampingi istri di masa persalinan, juga bertujuan untuk mendukung keterlibatan ayah dalam pengasuhan.

Di Spanyol, misalnya, cuti ayah yang bisa diberikan selama 16 minggu berdampak efektif dalam mengikis stereotip gender, meningkatkan kehadiran ayah di rumah setelah ibu melahirkan, serta berdampak pada keterlibatan jangka panjang mereka dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga.

Fasilitas Ramah Ayah di Ruang Publik

Berbagai literatur mengenai parenting pun menyebutkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan memiliki dampak yang penting bagi anak, yaitu dalam membangun kecerdasan kognitif, maupun membangun kecerdasan emosi dan psikologis anak.

Sebaliknya, kondisi fatherless bisa menimbulkan berbagai perilaku negatif dari sang anak, karena Ia kehilangan sosok ayah yang menjadi panutan dan pendamping hidup.

Melihat efek yang ditimbulkan dari kondisi fatherless ini, tampaknya pemerintah perlu hadir untuk mendorong peran ayah dalam pengasuhan anak. Kondisi fatherless perlu dilihat sebagai sesuatu yang vital, dan membutuhkan pendekatan komprehensif dengan melibatkan berbagai aktor, bukan hanya tanggung jawab keluarga atau individu semata.

Hal ini menjadi relevan saat kita ingin menyiapkan generasi masa depan. Mewujudkan generasi Emas Indonesia tahun 2045, tidak cukup hanya dengan memastikan anak mendapatkan asupan makanan bergizi.

Lebih jauh dari itu, anak-anak juga membutuhkan asupan kasih sayang melalui kehadiran dan keterlibatan penuh dari kedua orang tua, termasuk peran ayah dalam pengasuhan.

Dukungan terhadap Inklusivitas Peran Ayah dalam Pengasuhan

Dukungan dari masyarakat, instansi publik, sektor swasta, dan kebijakan yang inklusif menjadi kunci untuk membangun generasi yang lebih cerdas, tetapi juga tangguh secara emosional dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Ruang publik juga perlu dirancang lebih inklusif untuk mendukung peran ayah dalam pengasuhan. Tidak hanya di transportasi umum seperti memberikan kursi prioritas bagi ayah yang sedang mengasuh anak.

Di taman, mal, atau di tempat umum lainnya perlu disediakan ruangan yang ramah ayah. Seperti ruangan untuk mengganti popok, ataupun ruang untuk menyusui anak menggunakan botol atau sekedar tempat khusus untuk menenangkan bayi.

Dukungan pengasuhan ayah di ruang publik menjadi penting.
Hal ini bukan hanya untuk memperkuat keterikatan emosional ayah dengan anak, ataupun mengurangi beban ibu. Namun, lebih jauh dari itu, dukungan pengasuhan ayah di ruang publik dapat melawan stereotip gender dalam pengasuhan.

Semakin sering kita melihat ayah bersama dengan dengan anaknya di ruang publik, hal ini akan membuat kita menormalisasi peran pengasuhan ayah, dan membuka mata masyarakat bahwa pengasuhan adalah tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu.

Peran ayah bukan hanya peran tambahan dalam pengasuhan anak, tetapi peran utama yang memiliki dampak jangka panjang bagi generasi mendatang. Sudah saatnya kebijakan publik yang ada turut mengakomodasi kebutuhan ayah sebagai pengasuh, sehingga kita tidak lagi menjadi bagian dari fatherless society.

***

Setelah seharian puas mengajak istri dan anak bermain di pusat kota, saatnya kembali ke rumah. Tak ingin kejadian berdiri menggendong balita di transportasi umum ini terulang kembali, dalam perjalanan pulang, saya terapkan strategi yang berbeda.

Kali ini, saya meminta istri saya yang menggendong anak. Dan benar, ada penumpang baik hati yang memberikan tempat duduknya. Terima kasih, Kak.

5
0
Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya. Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post