Energi, Ketenagalistrikan, dan Energi Terbarukan: Cakupan Omnibus Law yang (Hampir) Terlupakan

by | Mar 24, 2020 | Politik | 0 comments

Seperti apa komitmen presiden terhadap omnibus law? Presiden Joko Widodo tidak main-main dengan janji Omnibus Law-nya, janji yang pertama kali disebut pada pidato pelantikan 20 Oktober 2019 yang lalu. Tidak butuh waktu lama, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law terkait investasi dan ketenagakerjaan akhirnya diserahkan ke DPR RI pada 12 Februari 2020 yang lalu.

Yang unik, pada awalnya RUU tersebut dikenal dengan RUU Cipta Lapangan Kerja. Khalayak menyingkatnya menjadi RUU Cilaka. Namun kemudian, ketika diserahkan ke DPR RI, nama resmi RUU tersebut berubah menjadi RUU Cipta Kerja. Dengan begitu, khalayak umum cenderung memahami omnibus law sebagai regulasi “baru” yang spesial mengatur urusan ketenagakerjaan.

“Jadi, sudah bukan cipta lapangan kerja, cipker singkatannya, bukan cilaka, sudah jadi cipker,” Begitu pesan Ketua DPR RI, Puan Maharani.

 

RUU Omnibus law pertama ini memang ramai dibicarakan karena adanya kekhawatiran bahwa RUU ini hanya berpihak pada pengusaha, mengorbankan pekerja serta bumi yang dikeruk sumber dayanya.

Gelombang protes dan penolakan sudah mulai bergelora sejak beberapa waktu. Berkaitan dengan itu, hal-hal yang dikhawatirkan kelompok buruh dan pekerja antara lain masalah perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, dan pesangon.

Kekhawatiran mereka makin terbukti ketika RUU Cipker a.k.a Cilaka itu menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan, menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia.

Tulisan singkat ini tidak sedang mengajak diskusi khusus mengenai RUU tersebut. Karena yang pasti, terlepas dari semua pro dan kontra, Presiden Joko Widodo sangat bersungguh-sungguh untuk untuk merealisasikan Omnibus Law-nya. Bagi presiden, kebijakan ini sangat penting dan mendesak.

Perkembangan EBT yang stagnan

Ketika janji menerbitkan Undang-undang Omnibus Law Presiden Jokowi melaju dengan progres yang cepat, sebaliknya, ada yang berjalan pelan di Bumi Khatulistiwa ini – pertumbuhan energi terbarukan. Padahal, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Paris Agreement dan meratifikasinya menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016. 

Indonesia berkomitmen untuk  mengintensifkan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 29 persen dengan sumber daya sendiri dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional dari tahun 2030 BAU (Business As Usual) di sektor kehutanan, energi, pertanian, industri, dan limbah.

Di bidang energi, sebenarnya Indonesia telah lebih dulu daripada Paris Agreement untuk menetapkan target porsi energi baru dan terbarukan (EBT) yang besar dalam bauran energi primer Indonesia, sebagai upaya ikut serta menurunkan produksi emisi GRK dan untuk ketahanan energi nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan transformasi pada 2025 dan 2050, dengan bauran Energi baru terbarukan setidaknya 23 persen tahun 2025 dan 31 persen tahun 2050.

Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya. Sebut saja, menetaskan berbagai peraturan tentang energi baru terbarukan seperti Peraturan Menteri ESDM No 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan Energi Baru Terbarukan sebagai pembangkit listrik, membangun pembangkit listrik tenaga surya dan mikrohidro dengan skala mini-grid di lebih dari 600 desa terpelosok di Indonesia, dan juga mengundang investor luar negeri untuk berinvestasi di industri energi terbarukan di Indonesia.

Namun hingga tahun 2019 yang lalu, porsi energi terbarukan pada energi primer hanyalah sebesar 7,8%. Padahal targetnya sendiri adalah 23% porsi energi terbarukan di 2025. Ditambah dengan tingkah rakus kita dalam mengeksploitasi alam, dampak dari pemanasan global sudah mulai bermunculan hari ini.

Mulai dari curah hujan yang besar dan tidak menentu di Indonesia, longsor dan galodo karena penahan air yang ditebang, kebakaran hutan terlama di Australia, dan tentu saja lapisan es yang mencair semakin cepat setiap harinya di Kutub Utara.

Perlu aksi nyata untuk menghentikan kerusakan ini dan salah satu solusi nyatanya adalah penggunaan secara masif pembangkit listrik energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak lagi membangun pembangkit listrik berbahan bakar fosil lagi.

UU Energi dan Ketenagalistrikan

Saat ini, energi terbarukan di Indonesia diatur dalam Undang-undang nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi), Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Ada juga Undang-undang nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang bersinggungan dengan energi terbarukan karena pemanfaatan utama dari energi terbarukan adalah sebagai pembangkit listrik. Peraturan-peraturan tersebut hanya mengatur hal-hal umum saja seperti jenis-jenis energi terbarukan, sumber energi terbarukan, dan pemanfaatannya, serta jenis-jenis usaha ketenagalistrikan.

Aturan detail tentang pemanfaatan energi terbarukan sebagai pembangkit listrik lebih banyak diatur pada level peraturan menteri (dalam hal ini Peraturan Menteri ESDM). Sebagai contoh ialah Peraturan Menteri ESDM nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Permen 50 Tahun 2017 tersebut mengatur harga jual pembangkit listrik dari energi terbarukan.

Selain itu terdapat juga Peraturan Menteri ESDM nomor 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Pedesaan Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan dan Pulau Kecil Berpenduduk Melalui Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Skala Kecil.

Peraturan teknis  yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM sebenarnya tidak tumpang tindih dengan peraturan di atasnya ( yaitu UU Energi, UU Ketenagalistrikan, dan Perpres RUEN). Akan tetapi, pada beberapa aturan masih terdapat “missing link” sehingga para pemangku kepentingan ragu-ragu dalam menggunakannya.

Sebagai contoh, Peraturan Menteri ESDM nomor 38 Tahun 2016 yang memberikan kesempatan kepada swasta nasional untuk menjadi “PLN mini” di daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau PLN, tetapi hingga saat belum ada “PLN mini” yang berhasil lahir dari beleid ini.

Urgensi Omnibus Law Energi

Sebenarnya sejak 2017 yang lalu, DPD RI telah menginisiasi lahirnya UU Energi Baru Terbarukan sebagai payung hukum pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia. Namun Barulah pada awal tahun 2020 ini, RUU EBT masuk dalam program legislasi nasional. Komisi VII DPR juga sudah menyiapkan Panitia Kerja (Panja)-nya seperti yang sudah diberitakan dengan tajuk “Panja RUU EBT Dibentuk Pekan Ini”.

Butir-butir pasal serta hal yang diatur pada RUU tersebut belum dipublikasikan pada khalayak umum meski semangat UU tersebut adalah agar target 23% EBT dalam bauran energi, dan juga target 29% penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai bagian dari komitmen global Indonesia dapat tercapai.

Melihat semangat Presiden Joko Widodo terhadap Omnibus Law yang begitu menggebu-gebu, ada baiknya Bapak Presiden mempertimbangkan untuk membuat satu undang-undang sapu jagat yang juga mengatur tentang energi, energi baru terbarukan, dan ketenagalistrikan sekaligus.

Omnibus Law Energi tersebut dapat memangkas 3 undang-undang serta dapat menyelaraskan semua aturan turunan di bawahnya, terutama pada aspek pemanfaatan energi terbarukan sebagai pembangkit listrik. Dengan penyelarasan aturan teknis turunannya, tidak akan ada lagi “missing link” yang menyebabkan satu peraturan tidak dapat bekerja.

Selain itu, dengan Omnibus Law Energi tersebut, Pemerintah dapat memasukan gebrakan-gebrakan baru yang dapat mempercepat pemanfaatan energi terbarukan secara luas. Misalnya, pungutan pada pembelian bahan bakar fosil yang kemudian digunakan untuk pembiayaan proyek energi terbarukan yang telah diterapkan di beberapa negara.

Kami yakin akan banyak kemudahan dan terobosan baru jika tiga undang-undang yang mengatur tentang energi tersebut digabung menjadi satu omnibus law. Pada akhirnya, menggarisbawahi kembali judul tulisan ini, semoga urgensi omnibus law dalam bidang energi akan mendapatkan atensi.

Semoga.

3
0
Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Author

Abdi negara di kementerian yang mengurusi energi. Juga berkicau di twitter @RArisyadi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post