Sebagai dampak dari pandemi COVID-19, fakta bahwa perekonomian Indonesia sedang terguncang tidak bisa dipungkiri lagi. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia minus 3,2%; sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 diprediksi berada pada angka 2,3%.
Ditambah lagi, sekitar 70% wilayah ekonomi Indonesia telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami tekanan yang cukup hebat sebagai dampak dari pandemi sepanjang tahun 2020 (sumber: liputan6).
Dampak negatif pandemi tidak terkecuali juga bagi para pelaku usaha. Banyak dari mereka yang pesimis karena tekanan ekonomi di tengah pandemi. Hal ini dapat dilihat melalui riset dari SurveySensum & NeuroSensum pada 27 Maret 2020 sampai 6 April 2020 kepada 109 responden perusahaan. Sektor fast moving consumer goods (FCMG) mengalami penurunan pendapatan sebesar 54%, meski angka ini tak sebesar sektor lainnya.
Sebanyak 55% responden memotong anggaran promosi below the line, seperti billboard. Sedangkan anggaran promosi above the line, seperti iklan televisi dan radio dipangkas sebesar 33%. Strategi pemasaran pun berubah dengan memanfaatkan media digital sebagai sarana promosi seperti media sosial, e-commerce, hingga instant message di hampir semua sektor.
Singkat cerita, saat pandemi ini hampir semua sektor usaha merubah strategi pemasarannya dengan lebih banyak memanfaatkan media digital. Selain beban berat perusahaan menanggung biaya operasional yang tidak sebanding dengan profit yang dihasilkan, juga karena ongkosnya relatif lebih terjangkau.
Momentum Ekonomi Digital di Indonesia
Sebagian besar masyarakat Indonesia menghabiskan waktu berada di rumah selama pandemi, beraktivitas secara online. Dari sini saja sudah terlihat jelas meningkatnya permintaan akan paket data internet dari berbagai provider telekomunikasi. Ya, kebutuhan akan koneksi dan teknologi informasi meningkat pesat belakangan ini. Tentu saja, berimplikasi pada kegiatan ekonomi.
Contoh aktivitas online dirumah selama pandemi, antara lain ibadah dan rapat kantor jarak jauh melalui aplikasi video conference (Zoom, Webex, Skype, dll), memesan makanan dan mengirim barang secara aplikasi online (Gojek, Grab), belajar dan mengikuti pelatihan secara online (Ruang Guru, Ilmupedia, Pintaria), bahkan hiburan pun menggunakan aplikasi streaming online (Netflix, Hooq, dll).
Berdasarkan penjelasan dan fenomena yang ada sekarang, sektor ekonomi digital sepertinya sedang mendapatkan momentumnya. Hal ini terlihat dari perubahan strategi pemasaran oleh perusahaan dan kebiasaan masyarakat di tengah pandemi sekarang. Bahkan, sebelum terjadi pandemi, Presiden Jokowi di acara Digital Economy Summit 2020 pernah mengatakan,
”Saat ini Indonesia merupakan negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, dengan pertumbuhan yang paling cepat. Di tahun 2025, kita akan memiliki 133 miliar dollar AS. Silahkan kalikan sendiri berapa triliun rupiah”.
Bukan tanpa alasan Presiden Jokowi memberi pernyataan tersebut. Tahun 2015, nilai ekonomi digital Indonesia berada pada angka 40 miliar dollar AS, dan melonjak pada tahun 2019 diangka 40 miliar dollar AS (sumber: kompas.com). Untuk lebih lengkapnya berikut ulasan mengenai ekonomi digital: definisi, karakteristik, ancaman, peluang, dan tantangannya.
Definisi Ekonomi Digital
Ekonomi digital tentu erat kaitannya dengan teknologi informasi dan ekonomi. Perlu penjabaran dari dua sudut pandang agar mengetahui korelasi dan hubungan antara keduanya. Yaitu, memahami apa itu ekonomi dan selanjutnya memahami apa itu digital.
Ekonomi adalah ilmu sosial yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi barang/jasa. Ekonomi juga membahas tentang hubungan antarindividu, bisnis, dan pemerintah dalam mengatur sumber daya dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan untuk mencapai hasil maksimal (sumber: investopedia).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan digital sebagai hal-hal yang berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; di mana angka ini menjadi dasar sistem komputasi sebagai basis kemajuan teknologi infromasi. Artinya digital menjadi representasi dari terminologi teknologi informasi.
Adapun menurut Oxford English Dictionary, teknologi informasi adalah studi atau penggunaan peralatan elektronik, terutama komputer, untuk menyimpan, mengakses, menganalisis dan mengirim informasi. Jika ditarik benang merahnya, definisi ekonomi digital adalah kolaborasi antara teknologi informasi dan ekonomi, dengan memanfaatkan media teknologi informasi sebagai alat/media untuk mencapai tujuan ekonomi.
Karakteristik Ekonomi Digital
Heru Wijayanto selaku Co-Founder dari SociopreneurID menjelaskan bahwa karakteristik ekonomi digital berbeda dengan ekonomi konvensional. Pada ekonomi konvensional cenderung eksklusif atau hanya dijangkau oleh beberapa kelompok elite tertentu, berbeda dengan ekonomi digital yang lebih inklusif dan memberikan peluang kepada seluruh lapisan masyarakat.
Karakteristik ekonomi digital memberikan semangat kompetitif dan kolaboratif, contohnya dilihat pada banyak perusahaan start-up (perusahaan baru) yang banyak bermain di area ekonomi digital (semangat kompetitif), dan ekonomi digital sebagai sharing economy yang banyak melibatkan banyak usaha mikro kecil dan menengah (semangat kolaboratif).
Ancaman dan Peluang Ekonomi Digital
Era digitalisasi akan mengancam kelangsungan manusia sebagai tenaga kerja karena posisi manusia akan digantikan dengan mesin otomatis. Diprediksi manusia akan kehilangan 1 – 1,5 miliar pekerjaan sepanjang tahun 2015-2025 (Gerd Leonhard, Futurist). Dapat dilihat pada teknologi saat ini mulai banyak industri sudah menggunakan mesin dengan kemampuan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan.
Masa depan juga diprediksi bahwa 65% murid sekolah dasar di dunia bekerja pada bidang yang belum pernah ada pada saat ini (U.S. Department of Labor Report), artinya prediksi tersebut ditujukan kepada generasi anak cucu umat manusia saat ini. Tentunya prediksi bisa tepat atau keliru, tapi tidak ada salahnya untuk disikapi secara bijak.
Survei Pew Research Center terhadap 27 negara di dunia tahun 2018 menyimpulkan bahwa untuk negara maju, rata-rata persentase penggunaan smartphone lebih besar (76%) dibandingkan negara berkembang (45%), termasuk Indonesia. Indonesia berada di peringkat 24 dengan rincian komparasi pengguna smartphone (45%), pengguna mobile phone bukan smartphone (28%), dan tidak ada pengguna mobile phone dan smartphone (29%).
Namun, dari sisi perkembangan penggunaan smartphone di Indonesia pada tahun 2015 – 2018 bisa dikatakan cukup tinggi. Pada tahun 2015, pengguna smartphone di Indonesia pada rentang usia 18-34 tahun sebesar 39% dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 66%. Untuk rentang usia 50+ juga naik dari tahun 2015 hanya 2% dan pada tahun 2018 menjadi 13%.
InMobi menjelaskan, konsumen global menghabiskan rata-rata 97 menit dengan handphone, 37 menit dengan PC tablet, 81 menit dengan televisi, 70 menit dengan PC desktop, 44 menit dengan radio, dan 33 menit dengan media cetak.
Artinya, saat ini sebagian besar umat manusia telah memanfaatkan media teknologi informasi dalam aktivitas hariannya. Inilah yang dapat dijadikan peluang bagi para pelaku usaha untuk menjaring konsumennya dalam pemasaran. Contohnya, melalui media sharing network (Facebook, Twitter, Instagram), search engine optimization (Google, Bing), e-commerce (Bukalapak, Tokopedia), dan online media platform (Youtube).
Tantangan Ekonomi Digital
Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde, mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang besar. Tercatat ada sekitar 1.700 perusahaan start-up bermunculan di Indonesia. Dari sisi perusahaan start-up yang bermain di area ekonomi digital, harus berani berkompetisi mengembangkan berbagai inovasi jika ingin tetap bertahan dalam membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Akan tetapi, potensi ini disambut dengan berbagai tantangan. Dari sisi perusahaan konvensional yang tertarik pada area ekonomi digital, harus melakukan transformasi bisnis dengan merubah proses bisnisnya secara radikal (business process reengineering) agar optimal bermain di area ekonomi digital.
Perlu dibangun fondasi kepercayaan kepada masyarakat terhadap penggunaan transaksi digital seperti e-money (E-Toll) dan e-wallet (Go-Pay, OVO, LinkAja), karena mayoritas masyarakat zaman sekarang masih menggunakan uang kertas sebaga alat transaksi sehari-hari.
Pemerintah, perbankan, hingga perusahaan di bidang teknologi finansial perlu bersinergi secara aktif untuk memberikan edukasi kepada masyakat terkait kemudahan, kenyamanan, dan keamanan dalam menggunakan transaksi digital. Dalam hal ini, Cyber Crime merupakan salah satu trigger ketidakpercayaan masyarakat terhadap keamanan data pribadi mereka.
Dari sisi pemerintah juga memastikan bahwa ekonomi digital mampu mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah peningkatan kualitas infrastruktur teknologi sebagai faktor penunjang penerapan ekonomi digital, agar penyebarannya merata di seluruh wilayah Indonesia. Harapannya tidak ada lagi daerah yang kecepatan internetnya memprihatinkan, apalagi berada di luar jangkauan.
Faktanya, seorang sahabat saya yang berdinas di sebuah kawasan terpencil pernah mengeluhkan masalah akses internet ini. Pada satu kesempatan penulis bertanya, ”Gimana internet disana bro, aman?”.
Kemudian dengan nada sepertiga berteriak sang sahabat menjawab, ”Boro-boro pakai internet, listrik aja sering mati. Mau charge batrei hape aja nunggu setengah mampus. Rasanya percuma punya hape pintar di sini”.
Antara lucu dan miris mendengarnya. Sekedar info saja, sahabat penulis ini juga seorang ASN. Boro-boro memajukan ekonomi digital, sekedar mengharapkan birokrat kita bisa bekerja dalam kemajuan teknologi informasi secara merata di seluruh penjuru negeri saja, rada sulit rasanya. Mungkin saja ada faktor-faktor implisit dibalik faktor eksplisit. Sekali lagi mungkin lho ya.
Penutup
Perlu diakui juga bahwa perkembangan ekonomi digital di Indonesia cukup pesat, bahkan jauh sebelum pandemi muncul. Justru saat pandemi muncul menjadi momentum untuk menerapkan sektor ekonomi digital secara maksimal.
Bagi para pelaku usaha yang sebelumnya sudah berkecimpung di area ekonomi digital tinggal bagaimana caranya untuk memanfaatkan momentum yang ada. Untuk pelaku usaha konvensional, cepat atau lambat akan melirik sektor ekonomi digital sebagai strategi pemasarannya.
Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana sinergi antara pemerintah, perusahaan finansial teknologi, dan perbankan, untuk membangun kepercayaan masyarakat. khususnya dalam hal keamanan, kenyamanan, dan kemudahan transaksi digital. Diperlukan juga edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, agar masyarakat siap dalam menghadapi segala bentuk penerapan ekonomi digital.
Terakhir, kepada pemerintahku terkasih. Jangan lupakan keluhan sahabat penulis tadi ya. Pemerataan infrastruktur teknologi dari hulu ke hilir sangat dinanti-nanti di negeri ini. Jangan sampai sang sahabat semakin ketinggalan menikmati manfaat dari ekonomi digital. Penulis akan berusaha tetap optimis kok demi kemajuan Indonesia kita tercinta.
Penulis adalah seorang Analis Data dan Informasi di Kantor Regional VIII BKN Banjarmasin, juga merupakan Alumnus Program Nuffic Neso “Effectiveness Complaint Handling” di Belanda tahun 2017 & Alumnus Program ITEC “Web Development and Verbal Lingusitic” di NIIT ltd, India tahun 2018.
0 Comments