
Medan, 25 Agustus 2025 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap menonjolkan diri sebagai “wakil rakyat” yang mendengar aspirasi publik. Mereka memamerkan sistem pengaduan online modern, lengkap dengan nomor tiket, dashboard progres, dan alur birokrasi digital.
Namun di balik gemerlap teknologi dan jargon modernisasi,
saya melihat paradoks serius: sistem yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat
malah berubah menjadi labirin yang menjerat suara rakyat. Anggaran puluhan miliar rupiah yang digelontorkan justru tampak lebih sebagai simbol formalitas
daripada instrumen nyata.
Sebagai seorang kritikus publik dan warga Jawa Barat, saya menjadi salah satu yang vokal menyoroti ketidakberesan ini.
Saya bahkan mengajukan pengaduan agar RUU Masyarakat Adat segera mendapat pengakuan konstitusional dalam UUD 1945, sebuah tuntutan yang menyangkut hak-hak konstituen yang dijamin Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dalam pasal tersebut, negara “mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.” Namun, setelah hampir dua tahun, pengaduan yang saya ajukan tetap mandek. Status digital hanya menampilkan keterangan normatif:
“Berkas diteruskan ke Ketua DPR.”
Ilusi Aspirasi dan Pasal Konstitusi
Fenomena stagnasi ini jelas menyalahi semangat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
DPR, sebagai lembaga perwakilan, seharusnya menjalankan fungsi penyaluran kedaulatan itu. Ironisnya, alih-alih memperpendek jarak rakyat dengan pengambil keputusan, sistem pengaduan justru memperpanjang rantai birokrasi yaitu:
dari pimpinan DPR → Alat Kelengkapan Dewan (AKD) → Sekretariat Jenderal → Ketua DPR.
Jika aspirasi yang sahih dan berdasar konstitusi seperti RUU Masyarakat Adat saja terjebak dalam birokrasi, maka pertanyaan mendasar muncul;
Apakah DPR benar-benar menjalankan amanah Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan? Bukankah fungsi legislasi akan lumpuh jika pengaduan rakyat yang adalah sumber aspirasi utama tidak pernah diolah menjadi tindakan nyata?
Alur pengaduan DPR apakah omong kosong?
Ketimpangan Prioritas
Kontras semakin mencolok ketika melihat kondisi finansial anggota DPR. Sementara saya dan banyak rakyat lain menunggu jawaban tanpa kepastian, anggota dewan menikmati kenaikan tunjangan hingga puluhan juta rupiah per bulan, ditambah kompensasi penghapusan rumah dinas.
Saya menilai, “Aspirasi rakyat nyangkut, tapi kantong wakil rakyat terus tebal. Prioritas DPR jelas lebih condong pada kemewahan pejabat daripada empati dan tanggung jawab moral.”
Paradoks ini menyalahi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Rakyat yang mengajukan pengaduan berhak mendapat kepastian respons, bukan sekadar “status dashboard” digital yang hampa.
Labirin Birokrasi
Bagaimana Aspirasi Rakyat di Negara Lain?
Fenomena ini semakin memalukan bila dibandingkan dengan praktik parlemen di negara lain. Di Inggris, misalnya, House of Commons memiliki sistem E-Petition yang memungkinkan rakyat mengajukan aspirasi langsung.
Setiap petisi yang berhasil mengumpulkan 100.000 tanda tangan wajib dipertimbangkan dan bahkan bisa dibawa ke dalam perdebatan resmi di parlemen. Transparansi menjadi prinsip utama, sebab masyarakat dapat memantau statusnya secara real-time, mulai dari penerimaan hingga keputusan akhir.
Amerika Serikat pun menerapkan mekanisme serupa melalui Congressional Inquiry dan platform digital We the People. Setiap pengaduan rakyat yang mencapai ambang batas dukungan publik wajib ditindaklanjuti dengan jawaban resmi dari pemerintah.
Sistem ini tidak hanya simbolis, melainkan memiliki konsekuensi politik yang nyata, karena terhubung langsung dengan fungsi pengawasan legislatif.
Sementara di India, Parlemen Lok Sabha membentuk Parliamentary Committee on Petitions yang secara rutin menerima, memeriksa, dan mengeluarkan rekomendasi atas aduan publik. Hasil pemeriksaan tersebut tidak berhenti di meja pejabat, melainkan diumumkan secara terbuka agar rakyat bisa menilai sejauh mana wakil mereka benar-benar bekerja.
Jika dibandingkan dengan ketiga negara tersebut, sistem pengaduan DPR Indonesia justru lebih menyerupai simulasi digital ketimbang mekanisme substantif.
- Tidak ada kewajiban hukum bagi DPR untuk menindaklanjuti aspirasi rakyat,
- Tidak ada ambang batas yang mengikat untuk membawa isu ke dalam sidang resmi, dan
- Tidak ada transparansi mengenai hasil tindak lanjut. Apa yang ditampilkan hanyalah dashboard dengan status normatif, bukan jaminan tindakan nyata.
Labirin Birokrasi
Bagi saya, fenomena ini menunjukkan hilangnya integritas moral DPR. Lembaga yang seharusnya menjadi penyalur suara rakyat kini lebih sibuk membangun ilusi demokrasi digital. Sistem pengaduan online hanyalah formalitas legitimasi politik, bukan jembatan nyata.
Maka saya pun bertanya, “Jika DPR benar-benar peduli pada rakyat, mengapa aspirasi sahih bisa bertahun-tahun tersangkut di meja pimpinan? Bukankah sistem pengaduan digital seharusnya mempermudah, bukan menghalangi hak rakyat?”
Jalan Reformasi
Jika DPR ingin kembali pada amanah konstitusi, saya menilai perlu ada revolusi transparansi dan kultur birokrasi:
- Dasar Hukum
DPR perlu membentuk peraturan internal yang menjamin setiap pengaduan rakyat mendapat tindak lanjut resmi dalam jangka waktu tertentu. Hal ini sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945, bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”
- Keterbukaan Publik
Setiap pengaduan rakyat wajib diumumkan statusnya secara jelas (apakah ditolak, diteruskan, atau dibahas), dengan argumentasi hukum dan politik yang transparan.
- Ambang Batas Aspirasi
Meniru Inggris dan AS, DPR dapat menetapkan ambang batas jumlah pengaduan yang mengikat DPR untuk membahas isu tersebut dalam rapat resmi.
- Pengawasan Konstitusional
Mahkamah Konstitusi atau Ombudsman dapat diberi kewenangan memantau kinerja DPR dalam menindaklanjuti pengaduan rakyat, sehingga hak-hak konstituen tidak hilang di meja birokrasi.
Penutup
Paradoks DPR hari ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan soal krisis moral dan konstitusional. UUD 1945 jelas menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, namun aspirasi mereka hanya berakhir sebagai ilusi digital. Anggaran miliaran rupiah dihabiskan, sistem canggih dibangun, tetapi untuk rakyat? Hanya ilusi.
Jika DPR terus menutup mata, publik akan semakin kehilangan kepercayaan. Demokrasi berubah dari government by the people menjadi government despite the people. Dan saat itu terjadi, legitimasi DPR sebagai wakil rakyat hanyalah tinggal nama dalam konstitusi.
0 Comments