Diplomasi Laut yang Menyentuh Hati: Menjaga Keamanan Maritim Nusantara dengan Pendekatan Elegan dan Berdaulat

by | Jul 2, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17 ribu pulau dan dua pertiga wilayahnya berupa laut. Potensi ini luar biasa, tapi juga datang dengan tanggung jawab besar: menjaga keamanan laut kita.

Di sinilah masalahnya. Selama ini, laut sering dipandang sebelah mata—hanya sebagai jalur transportasi, tempat wisata, atau sumber ikan semata. Padahal, laut adalah benteng kedaulatan sekaligus masa depan bangsa.

Keamanan maritim bukan lagi urusan militer semata. Ia menyangkut segala aspek: dari pertahanan negara, aktivitas ekonomi, lingkungan hidup, hingga nasib jutaan masyarakat pesisir. Dan di tengah persaingan global yang semakin keras—terutama di kawasan Indo-Pasifik—Indonesia harus hadir secara utuh dan berdaulat di lautnya sendiri.

Ancaman Laut Kita: Nyata dan Tak Terlihat

Apa saja tantangan utama yang kita hadapi di laut? Ada empat kelompok besar:

  • Pelanggaran wilayah: Kapal-kapal asing sering masuk tanpa izin ke perairan kita, terutama di Laut Natuna Utara. Mereka mengambil ikan kita, bahkan mengibarkan bendera negara mereka seolah-olah wilayah itu milik mereka.
  • Kejahatan lintas negara: Perairan kita jadi jalur perdagangan narkoba, senjata, dan manusia. Pelabuhan kecil dan minim pengawasan menjadi titik rawan.
  • Kerusakan lingkungan laut: Terumbu karang rusak, laut tercemar limbah, dan suhu air naik akibat krisis iklim. Ini semua mengancam keberlanjutan ekosistem laut dan penghidupan nelayan.
  • Persaingan global: Indonesia berada di jalur strategis antara Samudra Hindia dan Pasifik. Negara-negara besar seperti AS dan Tiongkok memperebutkan pengaruh di kawasan ini. Laut kita ikut jadi “medan tempur” politik dan militer mereka.

Mengubah Cara Pandang: Laut Bukan Halaman Belakang

Kita perlu mengubah cara pandang terhadap laut. Tidak cukup hanya mengandalkan kapal perang atau operasi tangkap. Harus ada pendekatan yang lebih utuh, dengan melibatkan semua pihak.

  • Kolaborasi antarlembaga: TNI AL, Bakamla, Kementerian Kelautan, Bea Cukai, dan pemerintah daerah harus bekerja sama, bukan jalan sendiri-sendiri.
  • Teknologi untuk pengawasan: Kita perlu memanfaatkan satelit, drone, dan sistem deteksi pintar untuk memantau aktivitas di laut secara real-time.
  • Masyarakat sebagai garda depan: Nelayan dan warga pesisir perlu dilibatkan dalam menjaga laut. Beri mereka pelatihan, informasi, dan insentif agar jadi bagian dari sistem keamanan nasional.

Ketahanan Laut ala Sarwono: Kedaulatan, Kemandirian, dan Keadilan

Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Kelautan pertama Republik Indonesia, sejak awal menekankan pentingnya membangun “ketahanan laut” sebagai konsep menyeluruh, bukan sekadar pengamanan wilayah. Menurutnya, ketahanan laut mencakup tiga pilar utama: kedaulatan, kemandirian, dan keadilan.

  • Kedaulatan, artinya laut harus dikelola oleh negara secara utuh, tanpa campur tangan asing, baik dari sisi pengawasan, pemanfaatan, maupun perlindungan hukum. Kita harus hadir di laut bukan hanya dengan kapal perang, tapi juga dengan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional.
  • Kemandirian, berarti bangsa ini harus membangun kekuatan lautnya sendiri, termasuk teknologi kelautan, industri perikanan, dan sumber daya manusia maritim. Ketergantungan pada negara lain adalah kerentanan.
  • Keadilan, berarti manfaat laut harus dirasakan oleh semua rakyat, terutama masyarakat pesisir yang selama ini justru paling rentan. Laut bukan milik segelintir investor besar, tapi warisan bersama yang harus dikelola dengan prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.

Konsep ketahanan laut Sarwono menempatkan masyarakat sebagai inti dari strategi kelautan nasional. Ia percaya bahwa kekuatan sejati laut Indonesia ada pada rakyatnya—nelayan kecil, perempuan pesisir, dan generasi muda yang cinta laut.

Peta Jalan Menuju Laut yang Aman dan Berdaulat

Untuk mewujudkan laut yang aman dan menjadi kekuatan bangsa, berikut langkah-langkah strategis yang bisa diambil:

  • Perkuat armada laut dan pos pantau di wilayah perbatasan. Jangan sampai wilayah yang rawan justru kosong dari kehadiran negara.
  • Bentuk sistem pengawasan laut nasional yang terintegrasi. Satukan data dari radar militer, satelit sipil, kapal nelayan, dan stasiun pemantauan.
  • Lindungi masyarakat pesisir dan dorong ekonomi biru. Beri jaminan penghidupan yang layak bagi nelayan, dan kembangkan industri kelautan berkelanjutan.
  • Bangun budaya maritim melalui pendidikan dan media. Anak-anak harus belajar bahwa laut adalah bagian dari identitas bangsa. Kampanye publik harus mendorong kebanggaan sebagai bangsa bahari.

Indonesia dan Dunia: Menjadi Pemain, Bukan Penonton

Kita tak bisa netral-netral saja di tengah ketegangan global. Indonesia harus jadi pemimpin di kawasan, bukan sekadar wilayah transit. Caranya:

  • Aktif di forum internasional seperti ASEAN, IORA, dan Indo-Pacific Dialogue. Sampaikan kepentingan Indonesia dengan tegas.
  • Bangun kerja sama maritim dengan negara-negara sahabat seperti Filipina, Jepang, India, dan Australia.
  • Pimpin gerakan perlindungan laut dan perubahan iklim. Jadilah teladan dalam konservasi laut dan energi terbarukan berbasis kelautan.

Laut Indonesia adalah jantung Nusantara. Ia bukan hanya menyimpan kekayaan yang melimpah, tetapi juga menjadi ruang yang menyatukan identitas, sejarah, dan masa depan kita sebagai bangsa bahari. Keamanan maritim bukan sekadar strategi militer, melainkan wujud kehadiran negara yang berpihak kepada rakyatnya—nelayan kecil, perempuan pesisir, hingga generasi muda penjaga samudra.

Jika kita ingin Indonesia benar-benar bangkit sebagai poros maritim dunia, maka menjaga laut harus menjadi panggilan nurani kolektif, bukan semata-mata kewajiban birokratis.

Sebagai penutup, izinkan penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada sahabat dari Angkatan Laut, Laksamana Pertama TNI Alan Dahlan, atas diskusi hangat, refleksi strategis, dan semangat kebangsaan yang terus menyala dalam menjaga laut sebagai benteng dan beranda negeri ini.

2
0
Lyta Permatasari ◆ Active Writer

Lyta Permatasari ◆ Active Writer

Author

Penulis merupakan Alumni S3 Ilmu Lingkungan Universitas Brawijaya, seorang ASN Analis Pemberdayaan Masyarakat Ditjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Alumni Best Diplomats Leadership 2023. Peserta Pendidikan Pemantapan Pimpinan Nasional (P3N) XXV LEMHANNAS RI Tahun 2025.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post