Tulisan ini menyoal institusi yang mengurusi pangan dan pertanian di daerah. Di Kota Bandung, dinas yang mengurusi pangan dan pertanian sebenarnya sudah ada, dan sedang berjalan dengan nama Dinas Pangan dan Pertanian. Namun, baru-baru ini terbit beberapa perubahan peraturan dari pemerintah pusat yang karenanya pemerintah daerah harus menyesuaikan termasuk soal nomenklatur dinas dimaksud. Tulisan berikut merupakan buah fikir pribadi untuk menengarai hal tersebut.
18 Nopember Tahun 2016 Kota Bandung mengundangkan Perda Nomor 8 tentang pembentukan dan susunan perangkat daerah Kota Bandung. Pasal 3 Perda ini memuat Tipologi Perangkat Daerah. Salah satu perangkat dalam pasal 3 perda dimaksud adalah dinas tipe A yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang pangan, bidang pertanian dan bidang perikanan, dengan nomeklatur: Dinas Pangan dan Pertanian.
Perda Nomor 8 tahun 2016 mencabut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung, beserta perubahannya. Pasal 16 Perda Nomor 13 di atas, menyebut Dinas pertanian sebagai dinas yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pertanian dan ketahanan pangan.
Terminologi Pertanian dan Pangan
Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung memiliki peluang untuk mengubah susunan organisasi sehubungan dengan telah keluarnya peraturan Menteri Dalam Negeri No. 90/2019 tentang klasifikasi, kodefikasi, dan nomeklatur perencanan pembangunan dan keuangan daerah. Peraturan dimaksud telah dipakai Pemerintah Kota Bandung dalam pemetaan RPJMD 2018-2023.
Dengan adanya peluang perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK), pemilihan nomenklatur dinas di daerah yang mengurusi urusan wajib pangan dan urusan pilihan subsektor pertanian dan subsektor peternakan, kembali mencuat.
Akankah Kota Bandung tetap mengusung nama yang sekarang dipakai berdasar Perda Nomor 8/2016, yakni Dinas pangan dan pertanian, atau kembali memakai nomenklatur Perda Nomor 13/2007.
Baik dalam Perda Nomor 8/2016 maupun Perda Nomor 13/2007, urusan pilihan pertanian bukan hanya mencakup tanaman pangan dan hortikultura tapi juga meliputi sub sektor perikanan dan peternakan.
Kedua Perda tersebut telah mengadopsi definisi teminologi pertanian secara luas. Definisi ini bukan hanya mengartikan pertanian sebagai upaya tanam menanam, tapi juga segala “proses kehidupan” yang terbantu oleh adanya fotosintesis dalam klorofil tumbuhan.
Fotosintesis, pemanfaatan karbohidrat yang terbentuk melalui proses biokimia di dalam hijau daun dengan bantuan sinar matahari tersebut, dilakukan oleh mahluk hidup lain seperti ternak atau ikan sepanjang siklus hidupnya. Dengannya, cakupan pertanian menjadi sangat luas meliputi seluruh sumber hayati dan melingkupi lebih dari satu sub sektor.
Pada keduanya tidak ada pertentangan mendasar tentang subsektor yang ditangani dinas. Alhasil, perangkat daerah yang diberi tugas mengurusi pertanian di kota Bandung selalu juga menyelenggarakan urusan subsektor peternakan dan perikanan sesuai kadar potensinya. Itu sudah berlangsung lama dan patut dinyatakan selesai.
Yang masih menjadi perdebatan dalam penyusunan perangkat daerah adalah soal apakah memakai istilah “ketahanan pangan” atau cukup dengan kata “pangan” saja. Untuk menguatkan pilihan, berikut disampaikan informasi terkait, dengan harapan dapat menjadi bahan pimpinan dalam menetapkan kebijakan lebih lanjut.
Sistem Pangan dan Amanat Undang-undang
Tahun 1968, Forrester mengembangkan metode pemodelan system dynamic sebagai alat konseptual untuk memahami struktur dan dinamika sistem yang kompleks. Dalam satu kesempatan kuliah di tahun 2004, Dr. M. Tasrif (dosen mata kuliah system dinamic di program magister Studi Pembangunan ITB) menyebutkan,
“Setiap sistem memiliki unsur dan pola keterkaitan. Dengan kata lain, memahami fenomena persoalan suatu sistem yang kompleks adalah memahami struktur dan pola keterkaitan di dalamnya.”
Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan, yang diundangkan di Jakarta tanggal 17 Nopember 2012, memuat banyak pasal penting yang menjelaskan urusan pangan sebagai kebutuhan dasar manusia (Indonesia) yang paling utama. Pemenuhan pangan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945, sangat krusial untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
UU No.18/2012 mengamanatkan penyelenggaraan pangan bukan saja kepada pemerintah (pusat) tapi juga pemerintah daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota). Redaksional “penyelenggaraan pangan” disebut sebanyak 18 kali.
Pasal 3 UU tersebut menyebut bahwa:
“Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan”.
Dalam setiap pasal yang menerangkan lebih lanjut perihal kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan, pemerintah daerah (selain pemerintah pusat) adalah pihak yang selalu disebut -sebut. Dengan membaca pasal 3 ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa:
- Pengurusan pangan oleh pemerintah pusat dan daerah harus diselenggarakan bukan saja adil dan merata tapi juga harus berkelanjutan. Terminologi berkelanjutan selalu dikaitkan dengan manfaat yang harus diperoleh bukan saja untuk generasi sekarang tapi juga dapat dirasakan oleh generasi mendatang. Generasi anak cucu yang akan meneruskan cerita hidup generasi sebelumnya.
- Ketahanan pangan hanya satu unsur dalam sistem penyelenggaraan pangan yang diamanatkan undang undang. Kecuali ketahanan pangan, penyelenggaraan pangan juga harus mencakup dua unsur penting lainnya, yakni kedaulatan pangan dan kemandirian pangan.
Sintesis
Dengan membaca informasi di atas, pemilihan redaksional “ketahanan pangan” seperti termuat dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 tahun 2016, untuk dipadankan dengan “pertanian” dalam nomenklatur perangkat daerah di Kota Bandung, sepertinya perlu pertimbangan yang matang dengan tiga alasan:
Pertama, memilih nomenklatur Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian daripada Dinas Pangan dan Pertanian berpotensi menyempitkan peran pemerintah daerah dalam melakukan pelayanan publik.
Dengan kata lain “Pangan” yang bagi pemerintah daerah adalah urusan wajib tersebut, skupnya menjadi terreduksi karena hanya terfokus pada ketahanan dengan mengabaikan kedaulatan dan kemandirian pangan.
Padahal, Kota Bandung punya tantangan yang berat untuk urusan pangan. Misalnya, hingga saat ini Kota Bandung bukan penghasil pangan tapi menjadi konsumen pangan potensial. Namun, seperti disebut di undang-undang pangan, setiap warga punya hak akan pangan meskipun dalam keadaan darurat.
Dengan memakai skenario terburuk, misalnya keadaan darurat benar-benar terjadi di Kota Bandung, maka pangan menjadi hal yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak luar. Jika kemandirian pangan dimiliki setiap warga Kota Bandung, keadaan darurat dalam skenario bermasyarakat/bernegara pun diharapkan dapat terlalui.
Memang seperti utopia, tetapi beberapa langkah untuk menuju terwujudnya kemandirian pangan selalu diupayakan oleh Dinas Pangan dan Pertanian.
Program inovatif “Buruan SAE” yang diharapkan dapat diimplementasikan di semua wilayah Kota Bandung adalah upaya dini untuk bisa menyediakan pangan yang mengintegrasikan budidaya tanaman dan hewan sekaligus. Dengannya, kebutuhan karbohidrat dan protein berbasis hewani dapat dihasilkan dalam satu satuan pengelolaan.
Kedua, memilih nomenklatur Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian daripada Dinas Pangan dan Pertanian seolah kembali ke peraturan daerah yang lama. Tragisnya, jika benar-benar terjadi, itu akan menunjuk perda Kota Bandung Nomor 13/2007 yang lahir lima tahun sebelum undang-undang pangan diterbitkan.
Bukankah Perda Kota Bandung Nomor 13/2007 tersebut juga akhirnya dirubah oleh Perda Nomor 8/2016 dengan mempertimbangankan UU pangan tahun 2012 sebagai salah satu konsideran. Jadi, kalau di tahun 2016 saja telah dirubah maka kembali memilih istilah lama di tahun 2020, bisakah dikatakan sebagai sebuah kemunduran?
Ketiga, sejak 2016 hingga saat ini urusan wajib pangan dan urusan pilihan pertanian di Kota Bandung diselenggarakan oleh dinas tipe A yang bernomenklatur Dinas Pangan dan Pertanian. Kurun waktu empat tahun tersebut telah cukup kesempatan bagi pihak luar terkait untuk mengenali nomenklatur dimaksud untuk berbagai kepentingan.
Maka, apabila nomenklatur Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian dipilih daripada Dinas Pangan dan Pertanian, boleh jadi perlu ada adaptasi baru yang cenderung tidak perlu. Contohnya, penggantian logo dan stempel dinas adalah hal teknis kecil yang juga harus diurus.
Referensi:
Forrester, J. “W.(1968). Principles of Systems.” Cambridge, MA: Wright-Allen (1968): 225-230.
Nanang Zulkarnaen, ASN Di Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung. Pada Tahun 2004-2006, ia melaksanakan pendidikan tugas belajar di Program Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung atas pembiayaan beasiswa Pusbindiklatren Bappenas. Bulan September 2015- Juli 2020 melaksanakan tugas belajar sebagai peserta program 300 Doktor Propinsi Jawa Barat sekaligus penerima beasiswa China Scholarship Council (CSC).
0 Comments