Dilematisnya Unsur Penyalahgunaan Wewenang: Antara Perspektif Administrasi dan Pidana

by | Nov 19, 2021 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 1 comment

Pengesahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) merupakan salah satu upaya agar para pejabat pemerintahan menyelenggarakan tugas-tugas negara dengan menganut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Kebijakan ini juga menjadi upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Latar belakang dibentuknya undang-undang ini yaitu agar terdapat perlindungan bagi pejabat pemerintahan dalam hal mengambil kebijakan atau diskresi.

Larangan Penyalahgunaan Wewenang

Terkait dengan potensi terjadinya praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan, maka UUAP secara tegas telah mengatur larangan penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 17 ayat 1: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintah dilarang menyalahgunakan wewenang”.

Selanjutnya, dalam ayat 2 disebutkan bahwa larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui wewenang; b. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang.

Sejalan dengan hal tersebut, larangan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan juga terlebih dahulu telah diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, bahasa yang digunakan adalah menyalahgunakan kewenangan.

Definisi menyalahgunakan kewenangan dalam UU Tipikor dan penyalahgunaan kewenangan dalam UUAP memiliki unsur yang sama. Namun, UUAP merupakan bentuk pencegahan (preventif) sedangkan UU Tipikor merupakan upaya penindakan (represif) dan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam hal penindakan tindak pidana korupsi.

UUAP dan UU Tipikor membedakan pembuktian dalam hal penyalahgunaan kewenangan. Unsur-unsurnya harus dibuktikan dalam UUAP melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebelum dilanjutkan ke Pengadilan Tipikor.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 21 UUAP bahwa PTUN juga berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintah. Bila dilihat dari kewenangan secara atributif, PTUN dan Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa dan mengadili hal-hal terkait penyalahgunaan wewenang.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PPU-XIV/2016, dalam pertimbangan hakimnya pada poin (3.10.3), menyebutkan bahwa dengan adanya UUAP, kesalahan administratif yang mengakibatkan kerugian negara dan adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat Pemerintah tidak selalu dikenai UU Tipikor.

Penyelesaiannya pun tidak selalu dengan cara menerapkan hukum pidana. Dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian kerugian negara, UUAP tampaknya ingin menegaskan bahwa penerapan sanksi pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).

Kemudian, dalam poin selanjutnya dinyatakan “…… dalam perkembangannya dengan lahirnya UUAP, maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan.

Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dapat dilayanai, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela”.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah pada hakikatnya ingin mengedepakan pencegahan (preventif) dan penerapan saksi pidana (represif) sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).

Epilog: Tantangan Penegakan Sanksi Administrasi

Pasal 20 ayat (1) UUAP yang menyebutkan bahwa pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah (APIP).

Dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa APIP merupakan aktor utama menurut UUAP dalam melakukan pencegahan tindak pidana korupsi dan dalam hal menentukan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang.

Dalam implementasi ketentuan yang diatur dalam UU AP tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintahan sebagai aturan pelaksana dari UU AP. PP 48 Tahun 2016 ini mengatur tentang pemberian sanksi administratif kepada pejabat pemerintah dalam tiga kategori yaitu: sanksi ringan, sedang, dan berat.

Penerapan saksi administrasi sebagaimana diatur dalam PP tersebut saat ini masih belum maksimal, karena APIP sebagai aktor utama dalam hal pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi hanya memberikan rekomendasi terhadap kesalahan administrasi tanpa menjatuhkan saksi administrasi kepada pejabat pemerintahan yang melakukan kesalahan administrasi.

Semoga dengan berlakunya UU AP dan aturan pelaksanaannya dapat menjadi langkah yang efektif untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan sebagai perlindungan bagi pejabat pemerintahan dalam hal mengambil kebijakan atau diskresi.

1
0
Mirza Sahputra ♥ Associate Writer

Mirza Sahputra ♥ Associate Writer

Author

Pemerhati Hukum dan Analis Kebijakan Ahli Pertama pada Pusat Pelatihan Pengembangan dan Kajian Hukum Administrasi Negara LAN RI). Dapat dihubungi pada email: [email protected]

1 Comment

  1. Avatar

    Tulisan yang sangat menarik, pertanyaan kepada penulis apa langkah kongkrit yang bisa dilakukan agar seluruh elemen pemerintah dapat memahami UUAP ini?

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post