Dilema Proporsi Tertutup

by | Feb 3, 2023 | Politik | 0 comments

Kini, kebingungan kita menghadapi pemilu 2024 berhadapan kembali dengan soal mekanisme. Khususnya mekanisme memilih anggota legislatif, apakah tetap proporsional terbuka atau kembali ke proporsional tertutup.

Dua mekanisme lain yaitu pemilihan pasangan presiden dan kepala daerah gaungnya tak sekeras pileg, walau sebenarnya keduanya jauh lebih seksi.

Bila reasoning-nya soal klasik efisiensi dan efektivitas, tentu kedua mekanisme itulah yang patut dipikirkan, karena efeknya lebih reliable. Sudah pasti berat dan berliku, memaksa parlemen mesti mengubah konstitusi pasal 6A ayat (1), di mana presiden dan wapres dipilih langsung.

Rasanya lebih mudah menerjemahkan kembali pasal 18 ayat (4) di mana pasangan kepala daerah cukup dipilih secara demokratis, dipilih langsung atau tidak (pilkada asimetrik).

Masalahnya, apakah pertimbangan para pengusung ide perubahan mekanisme pileg dalam kontestasi pemilu kali ini?

Tentu semua paham bahwa apapun pilihan mekanismenya, proporsional terbuka atau tertutup punya kelebihan dan kelemahan.

Sekali lagi, yang perlu ditelusuri apakah masalah utama yang dihadapi dalam sekian pileg hingga perlu menimbang kembali mekanisme proporsional tertutup yang ditinggal-cerai sejak reformasi.

Jika boleh dipilih, salah satu problem utama partai adalah gagalnya kaderisasi (Gun Gun, 2018). Realitas menunjukkan bahwa kader-kader terbaik partai tak mulus melenggang ke Senayan sejak mekanisme terbuka diterapkan.

Mayoritas bertumbangan melawan popularitas artis, tokoh agama, masyarakat, mantan birokrat militer & sipil, serta elit dukungan oligarki. Kader gigit jari, merasa membangun partai tapi tak dapat apa-apa.

Fakta itu dengan sendirinya menjadi bukti bahwa mekanisme proporsional terbuka menyediakan pilihan inklusif bagi masyarakat.

Jadi, sehebat-hebatnya kader partai dengan segudang pengalaman dan senioritasnya, pada akhirnya kalah telak oleh popularitas dan kemampuan kapital kader di luar partai. Di situ salah satu kelebihan mekanisme proporsional terbuka.

Dengan pengalaman itu, partai mulai melirik aset di luar organisasi. Mereka berebut tokoh media darling yang dapat dilabeli atribut guna mendongkrak popularitas partai. Kelak akan dijadikan semacam petugas partai seperti kasus presiden sebelumnya.

Jangan heran tokoh sekelas Anies, Ridwan, maupun Ganjar yang tak sepenuhnya dianggap kader tulen menjadi rebutan hari-hari ini. Demikian laporan pendek analis politik Indo Barometer (2022).

Kegagalan kaderisasi itu jelas adanya di mekanisme. Proporsional terbuka tak menjanjikan elektabilitas kader partai meski di posisi teratas.

Andai mekanismenya tertutup, hanya kader terbaik dengan urutan topi yang akan melenggang ke Senayan, bukan artis, mantan birokrat, maupun pengusaha yang mengandalkan citra dan uang. Di sini bisa dipahami mengapa partai penguasa yang relatif solid menginginkan perubahan mekanisme.

Mekanisme proporsi terbuka sejauh ini hanya menjadikan partai tak lebih sebagai event organizer. Partai sebatas menyodorkan menu, rakyat yang pilih, entah sukarela atau dimobilisasi.

Malangnya, kader yang telah melalui proses kaderisasi justru tak punya masa depan melawan ketajaman mesin mekanisme proporsi terbuka. Itu membuat partai frustasi. Hasil litbang salah satu partai menyodorkan mekanisme lama, tertutup saja.

Mekanisme itu jelas mengandung dilema. Di satu sisi, partai butuh kader terpercaya untuk mewakili dirinya di Senayan, namun di sisi lain hak memilih justru berada di tangan rakyat.

Di sini performa partai dipertaruhkan di hadapan pemilih. Faktanya, meski menu yang ditawarkan relatif berkualitas dengan packaging tertutup, tetap saja kalah menarik dibanding menu yang relatif instan, terbuka lagi variatif sebagaimana proporsi terbuka.

Akhirnya, untuk siapakah mekanisme itu diuntungkan? Sekali lagi, bila untuk kepentingan partai semata maka proporsi tertutuplah jawabannya. Tapi bila ingin berbagi dengan konstituen tentu saja proporsi terbukalah pilihannya.

Pertimbangan itu sebaiknya menjawab masalah pokoknya, tidak mungkin menjawab seluruhnya. Di luar itu, tanpa menutup mata kelebihan mekanisme tertutup, bila demokrasi pada dasarnya didesain untuk memuaskan pemilik kedaulatan, maka pilihan etiknya tetap terbuka, untuk rakyat.

2
0
Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Author

Alumnus STPDN Tahun 1995, dan program S2-S3 Universitas Padjajaran Bandung pada konsentrasi ilmu pemerintahan. Mengabdi sebagai dosen tetap di IPDN sejak 2004. Sejauh ini sebagai pengajar tetap pada hampir seluruh DPRD dan Pemda di Indonesia dengan spesifikasi bidang ajar demokrasi lokal dan pengembangan kapasitas DPRD. Menerbitkan buku baik sebagai penulis, editor maupun penyunting seperti IPDN Recovery, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal (1) dan (2), Mencegah Negara Gagal, dll. Hampir seribu kali sejak 2000 terlibat sebagai narasumber dalam berbagai seminar, workshop, talkshow, diskusi mingguan lewat Scientifik Traffic dan Plato’s Institute, bimbingan teknis, staf ahli legislatif dan kediklatan di pusat maupun daerah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post