Dilema dan PHP Inpassing Peneliti di Daerah

by | Dec 11, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 2 comments

See the source image

Dalam artikel ini saya akan bicara tentang peneliti, yaitu Jabatan Fungsional Peneliti pada Badan Litbang Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Secara lebih khusus, tulisan ini membahas keberadaan peneliti di pemerintah provinsi tempat saya bekerja. Hanya ada 3 orang saja, dari awalnya 5 orang di tahun 2017. 

Untuk sebuah unit instansi pemerintahan dengan ruang lingkup pekerjaan seluas provinsi, jumlah peneliti ini mungkin terdengar terlalu sedikit. Lalu masih berkurang menjadi tinggal 3 orang.

Bagaimana bisa terjadi pengurangan seperti ini? Jika pembaca sudah membaca peraturan juknis peneliti, yang  ngeri-ngeri sedap, bapak/ibu pasti tahu mengapa. Namun jika belum, bisa menyimak cerita saya di bawah ini dan beberapa pemikiran terkait hal ini.

Dilema dan Mata Rantai

Awal November 2022 lalu saya dan dua orang atasan yang sedang berdilema karena mengalami penyetaraan dengan jabatan fungsional barunya, mendatangi BRIN untuk berkonsultasi. 

Saya menemani beliau karena juga berminat untuk menjadi fungsional peneliti yang merupakan usaha saya untuk “naik kelas” dari pelaksana ke khusus, sekaligus di dalam hati berniat meneruskan perjuangan bapak/ibu saya yang mantan dosen/peneliti.

Setelah berbagai keterangan, saya membaca bahwa banyak sekali gap, antara daerah dan pusat, terutama pengampu/pengayom jabatan fungsional. Balitbangda tempat saya bekerja diampu oleh BRIN. 

Sekian lama berkutat dengan dirinya sendiri, kementerian-kementerian ini telah menjelma dengan dunianya masing-masing. Banyak sekali singkatan ataupun akronim yang sulit kami mengerti: HKM, AK, AKT, Siji, Ukom, dan lain lain. 

Meskipun saya agak mengerti, namun saya selalu membayangkan bagaimana jika diri saya adalah orang daerah yang belum tahu apa-apa. Bukankah sistem ASN ini ibarat mata rantai yang terjalin panjang dan kekuatan mata rantai itu justru dilihat dari yang terlemahnya.

Hasil Kerja Minimal

Saya lalu mengetahui ternyata jabatan ini adalah jabatan spesial, yang kesannya mengunci gaya kerja seseorang. Mengapa seperti itu? Bahwa untuk menjadi seorang peneliti, Anda sudah harus memiliki gaya hidup seperti peneliti.

Anda harus memenuhi HKM (Hasil Kerja Minimal) sebagai kunci sebelum masuk fungsional. Bukankah ini argumen berputar. Saya mau menjadi pilot, tapi saya harus diakui  pernah menerbangkan pesawat?!

Namun begitu saya tidak berkecil hati, dan mencoba melihat apakah itu HKM dengan teliti.

Seorang peneliti diharuskan melakukan penelitian yang superb, dengan uang kantornya, sehingga berguna dan bergabung dalam skema internasional sebagai penelitian yang cocok dengan tren yang ada untuk masuk dalam jurnal terindeks scopus.

Hasil penelitian ini kemudian akan disebarkan melalui pemaparan dalam seminar dan atau konferensi dan juga pada akhirnya menjadi karya tulis. (Silakan koreksi jika saya salah).

Normatif Belaka

Pertanyaannya kemudian, apa iya seorang peneliti plat merah akan bisa sesukanya menentukan tren penelitian? Kita tahu bahwa politik lebih besar kekuatannya dari iptek, dan kekhawatiran ini sudah lebih gamblang ditulis di sini

Sehari-hari pun di sini saya hanya mendapat tugas sebagai pembantu administrasi swakelola. Peneliti kami memang mendapat 1 penelitian tiap tahun, namun apakah itu mumpuni, bisa masuk scopus?

Saya pun menghubungi kembali SDM BRIN yang dengan murah hati membagikan HKM-nya, walaupun inti pertanyaan saya sebenarnya adalah untuk mengundang keterangan lebih lanjut ataupun insight mengenai perubahan yang perlu ada di daerah terkait gaya kerja seorang peneliti. 

Hasilnya, hanya tanggapan normatif belaka. Sebelum masuk JF peneliti pun harus memiliki surat kebutuhan formasi, yang tembus ke BRIN, Kemenpan dll, lalu lulus ujian kompetensi (ukom). 

Mencoba Memahami Situasi

Berdasarkan upaya-upaya ini, akhirnya saya hanya bisa menyimpulkan 2 alur, alur khusnuzon dan suuzon, bahwa:

  1. BRIN berusaha mengubah gaya kerja secara halus (soft control) melalui juknis para fungsionalnya (yang saya anggap hampir tidak mungkin, karena dalam beberapa tahun terakhir saja peneliti makin berkurang)
  2. BRIN menginginkan peneliti di BRIDA adalah ASN baru yang sudah lulus jenjang S2
  3. BRIN mengunci jabatan tersebut hanya untuk peneliti di internalnya sendiri
  4. BRIN ingin ada perpindahan peneliti Muda s.d Utama dari BRIN sendiri

Untuk saya sendiri dengan alur kehidupan ASN yang diselingi sekolah, Alhamdulillah, telah mencapai III/d dan S2. Saya memiliki modal HKM karena hanya karena keberuntungan dari Allah SWT, melalui sekolah. 

Namun kendalanya, saya tetap harus melakukan 1 penelitian dengan kriteria di atas untuk menjadi peneliti ahli muda. Kalaupun bisa menjadi peneliti pertama, harus menjalani diklat dahulu, yang menyita waktu dan biaya bagi saya, seseorang yang sudah berkeluarga. 

Artinya saya belum bisa. Kecuali ada mukjizat.

Epilog: Lapangan yang Berbeda

Mengapa saya lalu cemas untuk masa depan peneliti plat merah? Mungkin saya salah dalam memahami atau saya punya cacat nalar, tapi menurut saya berbagai masalah daerah ini mampu dicari solusinya melalui tubuh birokrasi sendiri. 

Apa salahnya menambah khasanah ide dan ragam pandangan untuk mencari kebijakan terbaik dari sisi peneliti ASN (yang sudah lama berkecimpung di pemerintahan) yang mengerti kebutuhan masyarakat dan perpolitikan daerahnya? 

Kampus ITB yang sudah terbentuk lama saja belum mampu mengubah kemacetan di sekitarnya. 

BRIN belum mengerti bahwa nantinya peneliti yang berasal dari ASN daerah tidak sama dengan yang ada di kantor penelitian pusat. Tanpa alat, tanpa laboratorium, bisa jadi tidak memiliki modal komputer maupun printer pribadi. 

Modal peneliti daerah hanya tekad, pertanyaan, beserta ide/ gagasan atas jawabannya, yang akan dibuktikan validitas dan akurasinya dalam penelitiannya masing-masing. Bagaimana dengan Sisnasiptek, menciptakan ekosistem keilmuan, cara berpikir ilmiah di dalam era evidence based policy ini?

Saya jadi teringat bisikan mantan Kepala Dinas Pertanian ketika FGD lalu, “Kekurangan kantor adalah, ketika ada masalah di lapangan, bukannya orang kantor ke lapangan, petaninya yang disuruh ke kantor”.

0
0
Akhmad Baiquni Muhaemin ♥ Associate Writer

Akhmad Baiquni Muhaemin ♥ Associate Writer

Author

Staf Balitbangda Prov. Lampung, S1 ITB, S2 Keio Graduate School of Media and Governance.

2 Comments

  1. Avatar

    Assalamualaikum,
    Yang saya tangkap dari Permenpan 1 th 2023, pelaksana hanya bisa alih fungsi ke jabatan fungsional peneliti ahli pertama walaupun pangkat udah IIId.

    Apa benar mas ?

    Reply
  2. Avatar

    tetap semangat, kendala ini serupa dengan masing-masing jafung yang ada (tentunya dengan konteks kesulitan di bidang kerja nya yang berbeda-beda)

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post