Dalam bekerja, setiap birokrat pasti menulis. Mulai dari laporan harian, memorandum, nota dinas, surat, artikel, dan hasil penelitian. Keterampilan ini bisa membantu aparatur sipil negara (ASN) dalam kariernya. Akan tetapi, keberanian dan kemampuan menulis juga bisa berujung hukuman.
Pada 2018 saya mengirim artikel di sebuah media massa nasional. Selang satu minggu, editor koran tersebut memberitahu bahwa naskah saya akan dimuat. Tepat pada 31 Desember 2018, artikel saya terbit. Dengan harapan membawa dampak dan dibaca banyak orang, saya membagikannya ke beberapa kolega. Cara yang paling mudah adalah melalui Whatsapp group.
Setelah Tulisan itu Terbit
Tak lama kemudian, berbagai tanggapan masuk silih berganti. Ada yang memuji. Tak sedikit juga yang menyatakan kurang sepakat, termasuk sebagian pemangku kebijakan yang tampaknya kurang suka dengan tulisan saya.
Bak bola salju, artikel tersebut menjadi viral. Beberapa pejabat dan kawan mulai menyatakan keberatan. Bahkan salah satu pimpinan lembaga melayangkan surat keberatan atas artikel saya. Surat itu dilayangkan ke beberapa pimpinan lembaga lain. Termasuk instansi saya.
Intinya, surat itu berisi saran agar instansi memberi hukuman kepada saya. Ada yang bilang kalau bisa diberikan sanksi pemecatan. Alasannya, isi artikel memojokkan lembaga tersebut. Selain itu, ada pencantuman jabatan saya di artikel tersebut, sehingga opini saya dikira mewakili instansi. Padahal, yang namanya opini—entah dimuat di koran atau di mana pun—adalah pendapat pribadi penulis. Jikapun mewakili instansi pasti ada keterangannya.
Hukuman, Sebuah Konsekuensi
Ada laporan, tentu ada tindak lanjut. Sayapun dipanggil oleh tim pemeriksa hukuman disiplin pegawai. Saat pemeriksaan, saya jelaskan bahwa niat saya adalah menuangkan pendapat intelektual. Sebuah pemikiran yang dituangkan dalam tulisan opini, bukan sekadar pepesan kosong. Saya jelaskan bahwa gagasan tersebut didasari sebuah kajian ilmiah.
Saya juga sampaikan: “Setahu saya, apabila kurang sepakat dengan opini di media massa, sebenarnya diberikan kesempatan menyampaikan tulisan sanggahan”. Adapun terkait dengan pencantuman jabatan di artikel tersebut, sebenarnya itu adalah hak media.
Bisa jadi pihak media mencantumkan saya adalah seorang pegawai sebuah instansi. Atau bisa juga menampilkan saya adalah lulusan universitas tertentu. Atau yang paling umum adalah sebagai pengamat. Pihak media massa pasti telah mempertimbangkan banyak hal.
Ada laporan, ada pemeriksaan, tentu ada hukuman. Setelah menjalani proses pemeriksaan, saya pun mendapatkan hukuman. Jujur, saya tak masalah dengan konsekuensi tersebut. Yang penting saya sudah menjelaskan secara jujur motivasi saya.
Menjadi Pelajaran dan Motivasi
Kejadian itu tidak menyurutkan semangat untuk terus menulis. Justru saya menghasilkan dan mempublikasikan lebih banyak artikel. Tentu saya lebih berhati-hati dalam memilih kata dan menampilkan identitas. Saya belajar bahwa bagi birokrat, yang paling aman saat menulis di media massa adalah menggunakan identitas “pengamat”. Walaupun opini adalah pendapat pribadi, lebih bagus jika menekankan klausul “Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis”.
Menulis artikel untuk media berbeda dengan tulisan keperluan kantor. Bukan saja bentuknya yang harus menarik, tapi juga kemasannya. Membuat tulisan populer harus enak dibaca dan renyah. Bahasanya tidak sekadar bahasa diplomatis dan kaku.
Sebuah tulisan dikatakan bagus apabila gagasan dari tulisan tersebut dapat tersampaikan. Diawali dari sebuah ide kreatif, kemudian digali secara mendalam. Lalu, ia dituangkan dalam tulisan. Agar mempunyai dampak, bisa dikemas secara menarik dan dikirimkan ke koran atau media lainnya.
Epilog
Kita sepakat bahwa menulis mempunyai banyak manfaat dan nilai. Menulis bukan sekadar menyusun kata-kata. Menulis adalah sarana menuangkan pemikiran. Tanpa ada gagasan, isu tulisan terkesan kosong. Selain itu, terdapat proses berpikir kritis dan kreatif saat kita menulis.
Bentuk tulisan bisa bermacam-macam. Namun, sedikit yang menarik pembaca. Sebenarnya, ada banyak laporan kajian dan hasil kegiatan yang hanya menumpuk di kantor, tidak dibaca dan menjadi wawasan khalayak umum. Setidaknya, tulisan jenis ini menjadi bahan jika diperiksa auditor.
Sementara itu, perlu disadari, menyuarakan perubahan di birokrasi memang tidak mudah. Alih-alih ingin membuat inovasi lewat tulisan, kita juga menghadapi risiko untuk dihukum dan “dikucilkan”. Semua tentu ada konsekuensinya. Yang perlu diingat bagi birokrat, niatkan proses menulis untuk mengabdi dan membangun negeri. Bukan sekadar mempromosikan diri.
Namun begitu, saya sadar bahwa setiap manusia memiliki agenda masing-masing. Semua kembali ke kita: untuk apa kita menulis?
Birokrat salah satu instansi pusat. Mencintai alam, kata, dan manusia
pertama, saya benar2 mengapresiasi terhadap keberanian bapak. Sayapun juga menyayangkan di tengah retorika “reformasi birokrasi”, kultur birokrasi di Indonesia masih sangat tidak demoktatis dan cenderung hirarkis (patriarkis juga). Ini yang membuat institutsi negara kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat, karena terkesan tidak pernah mau belajar saat mendapat kritik. Seolah-olah sistem ini sudah super body yang uncriticizable.
Terima kasih sudah sharing, pak. Salam
Sy rasa jika sdh dimuat di media nasional tulisan tsb melewati tim editor yg ckup ketat. Jdi mungkin bkn soal diksi, tp kemampuan pimpinan utk berdialektika yg kurang.
Bisa jadi pelajaran bagi para pemula bahwa penyampaian sesuatu yang menurut kita suatu kebenaran yang perlu diungkap juga perlu menyesuaiakan dengan melihat area atau siapa yang akan membaca dan memahami impilikasinya.
Namun hal yang wajar, setiap penulis memiliki perjalanan masing-masing.
Dengan perjalanan waktu akan tiba saatnya diperoleh kematangan berpikir untuk menuangkan dalam tulisan dengan memilih media atau cara mengungkapkan ide tersebut secara tepat. Saya pun masih banyak belajar tentang hal tersebut.
Tetap semangat untuk selalu menulis…
Salut dengan birokrat yang berani menulis seperti Anda. Namun demikian risiko yang diungkap di tulisan di atas perlu dimitigasi dgn baik. Diksi dan penyampaian yang baik tentu perlu.
Pikiran dan pandangan seperti bapak adalah contoh dan memotivasi kami juga untuk berani menulis
Salut dan belajar dari pengalaman bapak, memang menulis butuh keberanian ya pak. Bangga dengan BM.