Reformasi birokrasi bertujuan memperbaiki tata kelola pemerintahan agar bersih, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan pelayanan publik sekaligus menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, implementasi reformasi birokrasi masih menghadapi berbagai kendala, khususnya terkait pemanfaatan teknologi digital, pengelolaan data sektoral yang terfragmentasi, dan maraknya korupsi.
Pemanfaatan teknologi digital di pemerintahan memainkan peran penting dalam meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kualitas pelayanan publik. Teknologi seperti e-government, aplikasi layanan daring, dan big data mendukung pengelolaan data yang lebih terintegrasi, mempercepat proses administrasi, dan mempermudah akses bagi masyarakat.
Upaya ini sejalan dengan transformasi menuju tata kelola pemerintahan berbasis digital sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital.
Pajak sebagai Urat Nadi Pendapatan Negara
Pajak merupakan urat nadi pendapatan negara. Dalam APBN Tahun Anggaran 2024, dari total rencana pendapatan negara sebesar Rp2.802,3 triliun, pendapatan pajak menyumbang Rp2.309,9 triliun atau 82,42%. Pendapatan lainnya berasal dari pendapatan bukan pajak (Rp492 triliun) dan hibah (Rp0,4 triliun).
Untuk memaksimalkan pendapatan pajak, pemerintah menerbitkan sejumlah regulasi, seperti:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan,
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Ketiga regulasi ini mengelompokkan pajak ke dalam dua kategori utama: Pajak Negara dan Pajak Daerah, dengan tambahan kategori Retribusi Daerah. Secara umum, pajak dikenakan terhadap penghasilan atau harta Wajib Pajak, sementara retribusi dikenakan terhadap pelayanan atau perizinan yang diterima Wajib Retribusi.
Jenis pajak yang dikelola pemerintah pusat meliputi pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, bea materai, pajak bumi dan bangunan (untuk perkebunan, kehutanan, dan pertambangan), serta pajak karbon.
Sementara itu, pajak yang dikelola pemerintah daerah meliputi pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan, pajak reklame, pajak perhotelan, hingga pajak sarang burung walet.
Retribusi daerah terbagi atas tiga kategori: retribusi jasa umum (misalnya pelayanan kesehatan dan kebersihan), retribusi jasa usaha (misalnya penyediaan tempat usaha dan parkir luar badan jalan), dan retribusi perizinan tertentu (misalnya persetujuan bangunan gedung).
Untuk mendukung pengelolaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah mengembangkan lima aplikasi pajak daring, seperti e-registration, e-bupot unifikasi, e-filing, e-faktur, dan e-billing. Meski begitu, optimalisasi pengelolaan pajak masih menghadapi tantangan besar, terutama terkait integrasi data.
Satu Data Pajak sebagai Solusi
Pendataan objek pajak saat ini masih semrawut. Misalnya, data tanah dan bangunan di Badan Pertanahan Nasional seringkali berbeda dengan data yang dimiliki Badan Pendapatan Daerah. Kondisi ini menciptakan ketidakefisienan dan biaya administrasi yang tinggi.
Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Digital harus mulai menata seluruh aplikasi pemerintah pusat, daerah, dan BUMN. Data yang serupa harus diintegrasikan dengan menetapkan instansi yang bertanggung jawab sebagai pemilik data induk.
Konsep Satu Data Indonesia dapat menjadi solusi melalui pembentukan
big data nasional. Misalnya, aplikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)
yang dikelola KPK seharusnya terintegrasi dengan data dari Badan Pertanahan Nasional,
Samsat, dan perbankan.
Langkah ini memungkinkan validasi otomatis atas kekayaan pejabat, sekaligus meningkatkan efisiensi pendataan objek pajak. Data Wajib Pajak dapat diintegrasikan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai basis utama. Proses ini akan menyederhanakan pendataan, penagihan, dan pembayaran pajak.
Autodebet: Solusi Digital untuk Optimalisasi Pajak
Hampir 90% penduduk Indonesia sudah terjangkau jaringan internet, dan sebagian besar memiliki ponsel pintar berbasis Android. Oleh karena itu, metode tagihan pajak konvensional yang menggunakan dokumen kertas dan petugas penagihan sudah saatnya ditinggalkan.
Digitalisasi pembayaran pajak melalui aplikasi mobile banking atau mata uang digital dapat menjadi solusi efektif. Namun, tantangan utama tetap pada kesadaran dan niat baik Wajib Pajak untuk membayar.
Untuk mengatasi kendala sosial ini, pemerintah dapat menerapkan sanksi administrasi, sosial, hingga finansial. Sebagai contoh, keterlambatan pembayaran tagihan listrik dikenakan denda dan bahkan dapat berujung pada pemutusan layanan. Pendekatan serupa dapat diterapkan untuk tagihan pajak dan retribusi.
Sistem autodebet juga perlu dipertimbangkan sebagai upaya terakhir bagi Wajib Pajak yang menunggak. Dengan regulasi yang disusun bersama Bank Indonesia, otoritas perbankan, dan pengadilan, autodebet dapat diberlakukan untuk memotong saldo tabungan atau deposito Wajib Pajak yang belum melunasi kewajiban.
Metode ini harus diterapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan hak-hak Wajib Pajak.
Penutup
Digitalisasi, integrasi data, dan autodebet merupakan langkah strategis dalam optimalisasi pajak negara. Dengan memanfaatkan teknologi secara efektif, Indonesia dapat meningkatkan pendapatan pajak, menekan biaya administrasi, dan memperkuat transparansi.
Langkah ini sekaligus mendukung reformasi birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik yang lebih baik. Suksesnya implementasi akan sangat bergantung pada komitmen pemerintah, sinergi antarlembaga, dan dukungan masyarakat.
Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. ASN staf pada Inspektorat Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018 dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com
0 Comments