Pada masa sekarang politik lokal sangat menarik untuk dikaji lebih jauh, karena politik lokal identik dengan berbagai isu dan permasalahan politik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan sampai kepada level desa sebagai struktur pemerintahan yang terkecil di Indonesia.
Pembicaraan terkait politik lokal tidak dapat dipisahkan dengan sentralisasi dan desentralisasi kekuasaan. Dilihat dari perspektif sejarah, setelah krisis moneter dan politik pada tahun 1998, sistem politik lokal di Indonesia mengalami perubahan yang siginifikan.
Desentralisasi: Menciptakan Peluang Politik Dinasti
Pada awalnya diterapkan sentralisasi, yaitu pemerintahan terpusat, kemudian tergantikan oleh sistem desentralisasi yang memberikan wewenang kepada daerah untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Pemberian suatu otonomi daerah bermaksud agar demokrasi lebih ditegakkan, serta menciptakan tatanan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Namun sejatinya, desentralisasi ini telah menimbulkan suatu polemik tersendiri. Ini terlihat dari berbagai daerah yang berlomba-lomba untuk melakukan pemekaran. Dengan pemekaran ini gairah politik lokal menjadi tumbuh, memunculkan berbagai kontestasi lokal yang menarik dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi dan menentukan pilihan siapa pemimpin daerahnya.
Perluasan kesempatan ini bahkan tidak jarang menghadirkan politik dinasti di dalamnya. Dalam konteks politik dinasti, berbagai daerah di Indonesia dapat diibaratkan panggung politik drama yang diciptakan di lingkungan masyarakat lokal. Politik dinasti ini tercermin dari segelintir elit politik yang membentuk sebuah kekuasaan lokal di wilayah daerah tertentu.
Politik Dinasti Asrun di Kendari
Salah satu contoh menarik terjadinya politik dinasti dapat diamati pada pemerintah daerah di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara. Politik dinasti di Kota Kendari dipraktikkan oleh keluarga Asrun yang merupakan Walikota Kendari selama dua periode tahun 2007-2017. Posisi-posisi penting dan strategis dalam pemerintahan kota ini tentunya juga dikuasai oleh keluarga Asrun.
Sejatinya, yang dilakukan oleh Asrun ialah mempraktekan politik dinasti secara vertikal dan horizontal. Politik dinasti vertikal berarti kepala daerah mewariskan jabatannya kepada pada salah satu anggota keluarganya, ataupun teman dekatnya. Hal ini tercermin dari jabatan Walikota Kendari yang dipegang oleh Asrun kemudian turun kepada putra keduanya yaitu Adriatma Dwi P.
Kemudian, politik dinasti horizontal adalah adanya beberapa kepala daerah di sebuah wilayah yang masih terdapat relasi kekuasaan. Hal ini terlihat dari paman Asrun yaitu Suruddin, yang menjabat sebagai Bupati Konawe Selatan.
Selain itu, besan dari Asrun yaitu Imran, pernah menjabat sebagai Bupati Konawe Selatan. Adapun besan dari Imran, yaitu Ahmad Safei, hingga hari ini masih menjabat sebagai Bupati Kolaka. Lebih lanjut, istri dari Asrun yaitu Sri Yestin juga menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kendari.
Mirisnya, Adriatma Dwi P yang meneruskan posisi ayahnya sebagai sebagai walikota Kendari, dinon-aktifkan karena terbukti melakukan tindakan korupsi. Bersama ayahnya sendiri, Adriatma yang juga merupakan sekretaris DPW PAN Sulawesi Utara tahun 2015 ini divonis bersalah.
Kemudian, Asrizal Pratama P yang merupakan putra sulung Asrun juga menjadi Ketua Fraksi PAN DPRD Kota Kendari. Adapun dua orang adik kandung Asrun juga menduduki jabatan strategis. Askar Mahmud merupakan Kepala Bappeda Kota Kendari. Sedangkan Hasria Hamud menjadi Kepala Badan Kependudukan & KB Kota Kendari.
Politik Dinasti dalam Partai Politik
Membaca contoh terjadinya politik dinasti secara lokal di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kota Kendari, memang membuat kita menghela nafas. Namun kegelisahan tidak berhenti di situ. Politik dinasti yang dibangun oleh keluarga Asrun bukan hanya di ranah pemerintahannya saja, tetapi juga di ranah partai. Dalam hal ini Partai Amanat Nasional (PAN).
Politik dinasti dalam tubuh partai semacam ini menimbulkan ambiguitas. Publik akan bertanya-tanya, apakah partai politik sebagai institusi keluarga atau lembaga privat? Mengapa ia menjadi alat keluarga membangun dinasti kekuasaan yang cederung disalahgunakan, sebuah perkembangan demokrasi yang tidak sehat.
Proses Politik, menurut Huntington (1991), seharusnya mendorong desentralisasi kekuasaan kepada daerah. Bukan sebaliknya, menciptakan sentralisasi kekuasaan sebagai titik demokratisasi. Selain menjadi akibat dari dinasti dan oligarki politik, orientasi kepartaian tidak lagi tertuju pada kepentingan politik lokal, melainkan lebih pada kepentingan nasional.
Oleh karena itu, politik dinasti turut menjadi kendala bagi penguatan sistem politik lokal di Indonesia. Padahal, proses politik di era demokrasi sekarang ini seharusnya lebih bisa memperkuat sendi-sendi kedaulatan rakyat. Terutama, bagi rakyat bawah yang ada di daerah.
Close Power dan Risiko Penyelewengan Kekuasaan
Kasus politik dinasti ini bisa dianalisis dengan menggunakan konsep kekuasaan John Gaventa. Dalam konsep ini, kekuasaan tertutup (close power) artinya hanya segelintir orang saja yang dapat merasakan posisi jabatan yang strategis. Publik atau masyarakat tidak bisa mengikuti dan mengontrol ruang politik tersebut.
Salah satu risiko yang fatal dari ketidakterbukaan ini tercermin dari berbagai jabatan strategis yang dipegang oleh keluarga Asrun, dan tentunya tidak bisa dikontrol oleh publik, mengakibatkan terjadinya penyelewengan berupa kasus korupsi oleh Asrun dan Adriatma.
Akhirnya, KPK menuntut Walikota Kendari non-aktif Adriatma Dwi Putra dan ayahnya sang mantan Walikota Kendari Asrun, dengan dikenakan hukuman penjara 8 tahun dan denda Rp500 juta. Secara bersamaan, keduanya diduga menerima suap dari Direktur Utama PT Sarana Bangun Utama Hasmun Hamzah sebesar Rp6,7 miliar.
Motif penyuapan tersebut supaya sang walikota memenangkan perusahaan milik Hasmun Hamzah itu dalam proyek pekerjaan multiyears pembangunan gedung DPRD Kota Kendari tahun anggaran 2014-2017, pembangunan tambat labuh zona III TWT, serta Ujung Kendari Beach tahun anggaran 2014-2017. Uang itupun diduga digunakan untuk memodali Asrun maju dalam Pilgub Sulawesi Tenggara tahun 2018.
Atas perbuatannya, Asrun dan Adriatma dituduh telah melanggar Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Epilog: Refleksi Dampak Politik Desentralisasi
Dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya kelemahan dalam desentralisasi ialah makin besarnya peluang terbentuknya politik dinasti dalam panggung politik di ranah lokal. Alih-alih membangun demokrasi yang semakin kuat, pada kenyataannya keleluasaan dari desentralisasi dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk membangun kekuasaan di ranah lokal.
Tidak berhenti di situ, politik dinasti berpotensi membuat cikal bakal adanya kasus korupsi karena terjadinya ruang kekuasaan yang tertutup (close power) oleh segelintir atau sekelompok orang demi kepentingannya tertentu.
Sebetulnya, politik dinasti juga terjadi di beberapa ranah lokal di Indonesia, tidak hanya di Kota Kendari. Namun, politik dinasti yang terbukti berdampak pada kasus korupsi di wilayah ini merupakan salah satu bukti kuat adanya kelemahan dalam mekanisme desentralisasi di negeri ini.
Referensi:
Kaldum, I. (2017). Local Strongmen dan Kontestasi Politik (Studi terhadap Kemenangan Fenomenal Aras Tammauni-Muh. Amin Jasa pada Pilkada Mamuju Tengah 2015) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar).
Halim, A. (2018). Politik lokal: aktor, problem, dan konflik dalam arus demokratisasi. Intrans Publishing, h. 145
Medcom.id, diakses dari https://video.medcom.id/election-update/9K5Rl7BN-dinasti-politik-di-kendari pada tanggal 16 Juli 2021, pukul 08:45
Tirto.id, diakses dari https://tirto.id/kpk-tuntut-ayah-dan-anak-dinasti-politik-kendari-8-tahun-penjara-c4sQ, pada tanggal 16 Juli 2021, pukul 09:00
Mahasiswa S1 Ilmu Politik
Menarik..
Desentralisasi yang sejatinya memberikan kesempatan kepada masyarakat daerah untuk menentukan pilihan siapa pemimpin daerahnya. namun dalam prakteknya, tidak sedikit untuk menjadi calon kepala daerah, perlu stempel/acc dari pimpinan parpol di tingkat Pusat… Mungkin, perlu ada juga desentralisasi dalam tubuh parpol.