Demokrasi: Antara Asa dan Nestapa

by M. Taslim Chairuddin ◆ Active Writer | Dec 18, 2023 | Birokrasi Melayani, Politik | 0 comments

Free People Police photo and picture

Pasca reformasi tahun 1998, pada setiap pesta demokrasi baik pemilihan kepala desa, bupati, gubernur dan bahkan presiden, dapat kita pastikan terjadi eskalasi risiko kamtibmas, akibat konflik kepentingan, dukung-mendukung dan beberapa di antaranya berujung pada konflik fisik yang menimbulkan korban materi dan bahkan korban jiwa.

Sekat-sekat di antara kelompok masyarakat terlihat nyata dan bahkan ikatan persaudaraan terkalahkan oleh kepentingan pesta demokrasi ini.

Pesta demokrasi dan potensi konflik

Demokrasi secara harfiah diartikan sebagai kekuasaan di tangan rakyat (demos dan kratos). Rakyat yang menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin eksekutif dan/atau siapa yang akan menjadi wakilnya di lembaga legislatif, melalui proses politik praktis atau sering juga kita katakan sebagai pesta demokrasi.

Hal itu berarti pula bahwa demokrasi sejatinya adalah setiap individu bebas menentukan pilihannya dalam pesta demokrasi. Di sisi lain, ketika masing-masing individu bebas menentukan pilihannya, maka potensi konflik sudah terbuka di sana.

Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang akan dipilih dan siapa yang berhak memilih? Apakah setiap orang begitu saja dapat dipilih dan apakah setiap warga negara berhak memilih?

Jawabnya tentu tidak!

Perlu diatur sedemikian rupa siapa yang akan dipilih, siapa yang menentukan siapa yang akan dipilih, dan siapa saja yang memiliki hak untuk memilih.

Partai Politik sebagai Organisator

Jika proses pemilihan itu dalam lingkup kecil (desa) memungkinkan setiap orang berhak mengajukan diri. Namun pada tingkat provinsi dan apalagi nasional, terlalu rumit jika dilakukan demikian.

Hal inilah yang kemudian melahirkan undang-undang partai politik, di mana partai politiklah yang mengorganisasikan atau menentukan siapa yang akan dipilih, baik sebagai pimpinan, eksekutif, maupun legislatif.

Apa itu partai politik? Apakah sekedar mengorganisasikan orang-orang yang akan didudukkan mencadi calon pemimpin?

Rasanya tidak sesederhana itu! Jika cara kita memaknainya demikian, maka tidak heran jika politik hanya dikaitkan pada upaya perebutan kekuasaan. Padahal, kekuasaan adalah sumber daya dan sumber daya adalah sumber konflik yang paling utama.

Tak heran jika segala cara dilakukan seperti menyebarkan berita hoax, politik identitas, membangun popularitas dengan menggunakan atribut pembeda antarkelompok (cara-cara membangun konflik kelompok atau massa), black campaign, dst.

Idealnya partai politik itu dikembalikan lagi sesuai cara kita memahami politik itu secara operasional. Politik secara operasional haruslah kita maknai dalam dua cara;

  • politik sebagai sebuah ide, gagasan, tujuan atau cita-cita; dan
  • politik sebagai sebuah cara mencapai cita-cita itu.

Kekuasaan Politik: Bukanlah Tujuan Akhir

Tujuan dari politik adalah hakikat tujuan dari berdemokrasi itu sendiri. Rakyat bebas menentukan pilihan bagi dirinya untuk nantinya dapat mewujudkan kesejahteraan bersama, sejalan dengan salah satu tujuan dibentuknya negara “mewujudkan kesejahteraan umum” (Pembukaan UUD 45 alinea ke-4).

Sedangkan cara mewujudkan itu adalah dengan meraih atau memegang tampuk kekuasaan dengan kewenangannya yang luas. Oleh sebab itu, kekuasaan dalam politik sesungguhnya bukanlah tujuan akhir melainkan sasaran antara saja.

Jika ada yang beranggapan bahwa politik berkaitan dengan pembagian kekuasaan, adalah hal yang lumrah karena dalam upaya mewujudkan suatu tujuan diperlukan keseimbangan antara pelaksana dan pengawasan proses Pembangunan.

Agar ada ketenangan, juga diperlukan bargaining win-win solution atas setiap perbedaan cara pandang dalam mewujudkan kesejahteraan itu sendiri.   

Demokrasi, Solusi bagi Indonesia yang Multi

Bagi Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, demokrasi adalah jalan terbaik dalam menentukan siapa yang akan dijadikan pemimpin baik untuk kekuasaan eksekutif maupun legislatif, meskipun terdapat potensi konflik yang tinggi.

Jika kita belajar dari pengalaman sejarah, bangsa Indonesia demikian lama dijajah oleh bangsa asing adalah karena bangsa Indonesia tidak bersatu.

Kita tersekat-sekat, terdiri dari negara-negara kerajaan, pemimpin diwariskan beradasarkan keturunan, di mana keturunan itu sendiri belum tentu putra terbaik dan di antara mereka sendiri terjebak oleh perebutan kekuasaan itu.

Selain itu, perbedaan bangsa Indonesia juga meliputi semua aspek bagi trigatra maupun panca gatra. Secara geografis kita terdiri dari ribuan pulau yang dipisahkan oleh perairan, secara demografis kita dibedakan oleh etnis, suku, budaya dan bahasa.

Demikian pula dengan sumber daya alam. Ada perbedaan yang cukup tajam di antara berbagai daerah. Ada provinsi kaya dan provinsi miskin. Dari aspek ipoleksosbud juga demikian, ruang potensi konflik terbuka lebar.

Untuk membangun satu Indonesia yang besar, hebat dan maju dalam satu kesatuan NKRI, maka demokrasi adalah pilihan terbaik dalam menentukan kepemimpinan nasional.

Apa itu Konflik dan Apa Penyebabnya? 

Konflik adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Konflik itu dapat dialami oleh individu manusia. Konflik diri, ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, dapat pula dialami oleh sebuah kelompok atau sebuah komunitas masyarakat.

Adanya kelompok masyarakat yang terafiliasi dengan kelompok teroris, termasuk kelompok kekerasan bersenjata (KKB) di Papua adalah mereka yang berkonflik akibat politik, meski ada juga di dalamnya opportunis yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan sendiri.

Menurut teorinya, konflik disebabkan oleh setidaknya 3 (tiga) faktor; perebutan sumber daya, distribusi sumber daya yang tidak merata, dan harga diri.

Harga diri itu jabarannya sangat luas, atau memiliki cabang yang banyak. Secara umum, semua faktor itu hanya cara atau alat pembeda untuk membangun membangun solideritarisme kelompok.

Hal inilah yang membuat kita bersepakat tidak boleh menggunakan politik identitas dalam membangun popularitas.

Apa itu Politik Identitas dan Mengapa Dilarang?

Politik Identitas adalah politik yang menggunakan perbedaan antarpartai politik sebagai alat pembeda dan membangun solideritarisme. Seringkali identitas yang digunakan adalah identitas yang bersifat primordial (diyakini kuat), seperti suku, etnis, agama, kedaerahan, dst.

Sah saja identitas digunakan sepanjang untuk memperjuangkan hal yang diyakini kuat oleh kelompok yang memiliki identitas itu, asal tetap dalam bingkai NKRI. Misalnya; pilihlah saya, karena saya orang papua asli maka saya akan membangun Papua.

Tidak boleh menggunakan identitas,
misalnya pilihlah saya karena saya orang Papua asli
dan jangan pilih dia, karena dia orang Jawa yang datang kesini hanya untuk menjajah,
menguasai sumber daya alam yang
kita miliki.

Contoh lainnya, pilihlah saya karena kita partai politik Islam yang akan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam (sidik, amanah dan fatonah) dalam menjalankan roda pemerintahan atau akan diimplementasikan dalam prilaku saya ketika saya berkuasa.

Tidak boleh ketika mengatakan pilihlah saya karena saya dari partai Islam, maka saya akan memperjuangkan berdirinya negara Islam, mendirikan masjid-masjid, melarang pendirian gereja, dst, atau jangan pilih pemimpin Nasrani karena mereka kafir, dst.

Sebagaimana saya uraikan di atas pesta demokrasi melalui politik praktis adalah mencari orang yang paling tepat (kompenten; memiliki pengetahuan luas, keterampilan dan memiliki attitude yang baik) dalam memimpin bangsa, mengelola pemerintahan, bukan pemimpin agama atau pemimpin dalam ibadah.

Berbahanya identitas: Alat membangun solideritas kelompok!

Untuk memudahkan memahami subjudul ini, saya langsung pada contoh konkrit bagaimana terjadinya pergeseran dari konflik individu bergeser menjadi konflik massa dan bahkan konflik sosial.

Taslim adalah dari Sumatera (suku Rejang – Palembang), berteman dengan si A dari suku Papua. Suatu ketika kami berkonflik hanya akibat memperebutkan seorang gadis. Lalu kami berdua berkelahi.

Karena Taslim kalah, lalu Taslim kembali ke komunitasnya (sesama orang Sumatera), lalu menyebarkan berita hoax, bahwa Taslim berkelahi dengan A, karena A orang Papua yang menghina Taslim orang Sumatera.

Akhirnya terjadilah pertikaian antara suku Sumatera dengan Suku Papua. Akan sangat berbahaya dan jauh lebih berbahaya lagi jika atribut yang digunakan dalam membangun solideritarisme  kelompok atau massa itu adalag terkait keyakinan atau agama.

Bagaimana Idealnya Demokrasi/Politik Praktis Berfungsi?

Pertama; Masyarakat pemilih harus memiliki wawasan atau cakrawala pikir yang luas, sehingga dalam menentukan pilihan bukan didasarkan pada kesamaan agama, daerah, suku, kepentingan (money politics, proyek, dsb).

Memilih harusnya didasarkan pada visi, misi dan program kerja yang ditawarkan oleh elite politik dan termasuk partai politik.

Hal yang juga harus dipahami masyarakat pemilih adalah komitmen dan integritas mereka yang dicalonkan. Boleh jadi visi dan programnya bagus, namun nol dalam implementasinya atau istilanya no action talk only.

Kedua; Mereka yang terjun ke dunia politik pada dasarnya sudah harus paripurna dengan dirinya sendiri, sehingga orientasinya dalam berpolitik benar-benar didasarkan pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 

Ketiga; Mereka yang terlibat dalam proses politik praktis, baik pelaksana dan pengawas atau pihak lain yang terlibat harus bebas dari kepentingan.

Setidaknya melalui peran tiga komponen itu maka proses demokrasi dalam politik praktis akan dapat berhasil, setidaknya bagi masyarakat pemilih. Merekalah yang nanti paling merasakan dampaknya.

Tugas Pokok POLRI dan Netralitas Politik

Saya yakini akan ada pihak yang mempertanyakan, bahwa sebagai seorang anggota POLRI yang netral dalam politik praktis, tulisan ini dianggap dan dinilai sebagai bentuk ketidaknetralan.

Tugas pokok POLRI berdasarkan dimensi situasi, berada dalam 3 (tiga) tataran yaitu;

  • tataran situasi yang berpotensi berkembang menjadi gangguan (PG);
  • tataran situasi yang berada pada ambang gangguan (AG); dan
  • situasi pada tataran gangguan nyata (GN). 

Demokrasi dengan politik praktisnya dalam pandangan penulis adalah situasi pada tataran potensi gangguan yang apabila dalam pengelolaannya atau implementasinya tidak benar maka akan dapat berkembang menjadi gangguan kamtibmas.

Bahkan di antara beberapa kegiatan dalam prosesnya telah masuk dalam ranah ambang gangguan, di mana POLRI memang dituntut hadir.

Hanya saja, para elite politik yang tidak merasa diuntungkan dengan kehadiran dan keterlibatan POLRI seringkali menjadikan netralitas POLRI sebagai alasan.

Hemat penulis itu adalah cara pandang picik dan munafik, jika menguntungkan mereka dipastikan mereka tidak akan teriak. Jika itu masih dalam konteks tercapainya tujuan dan/atau tugas pokok POLRI maka hemat penulis keterlibatan POLRI memang harus.

Seperti membantu keamanan pasangan calon, menjamin terlaksananya proses politik praktis berjalan dengan baik, tidak ada pelanggaran hukum, mengamankan kartu suara, ikut membantu kesiapan TPS, pengamanan TPS, membantu kelancaran distribusi kartu suara, dsb.

Termasuk di dalamnya adalah mencerdaskan masyarakat pemilih tentang bagaimana idealnya mereka berperan dalam proses demokrasi itu sendiri. Tulisan ini tidak lebih dari sekadar ikut membantu mencerdaskan para pemilih untuk bagaimana bersikap dan memutuskan dalam memilih seorang calon pemimpin.

Ketika prosesnya tidak benar dan hasil dari proses politik itu tidak menghasilkan pimpinan yang baik dan kompenten, maka akan menjadi berat tugas POLRI ke depannya.

Semoga penjelasan ini dapat dipahami dan dimengerti oleh semua pihak.

2
0
M. Taslim Chairuddin ◆ Active Writer

Alumni Akpol 1994. Pernah menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas Polda Kalteng tahun 2016, Dirlantas Polda Sumsel 2017, Analis Kebijakan Madya Bidang Regiden Korlantas 2019, dan Dirlantas Polda Jatim 2022.
Saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur Akpol.

M. Taslim Chairuddin ◆ Active Writer

M. Taslim Chairuddin ◆ Active Writer

Author

Alumni Akpol 1994. Pernah menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas Polda Kalteng tahun 2016, Dirlantas Polda Sumsel 2017, Analis Kebijakan Madya Bidang Regiden Korlantas 2019, dan Dirlantas Polda Jatim 2022. Saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur Akpol.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post