Demokrasi Ala Pemilihan Ketua Kelas: Membaca Kegelisahan Undecided Voters Jelang Pemilu 2024

by Oki Kurniawan ◆ Professional Writer | Feb 7, 2024 | Politik | 0 comments

woman standing in front of children

Empat belas Februari biasanya identik dengan pamer cokelat, bunga, dan cincin yang disematkan ke jari manis orang tersayang. Namun tahun ini, 14 Februari mungkin akan ramai dengan pamer tinta pemilu di jari kelingking.

Beberapa hari ke depan, rakyat akan menentukan wakil-wakilnya
yang akan duduk sebagai anggota legislatif serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. 
Dalam konteks pilpres,
tanggal tersebut menjadi babak penentuan:
“Apakah hiruk-pikuk pilpres akan selesai di hari tersebut atau masuk pada babak
perpanjangan waktu sampai putaran kedua?”

Sejauh ini, tampaknya ada dua ide besar yang mewarnai perhelatan pesta demokrasi Indonesia di tahun 2024. Satu kandidat mengusung ide keberlanjutan, dan dua kandidat lainnya tampaknya lebih sering yang mengungkapkan ide perubahan.

Di Mana Posisi ASN?

Bila platform politik tentang perubahan atau keberlanjutan diperjuangkan melalui jalur politik, lalu bagaimana dengan ASN? ASN yang sehari-hari menjadi bagian dari birokrasi dan aktif dalam proses kebijakan publik tentu memahami bagaimana pemerintahan saat ini dijalankan. 

Apakah berbagai kebijakan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah perlu dilanjutkan? Atau justru kita perlu mengambil langkah perubahan?

Lantas, apa perlu kita berpihak? Mengingat dalam asas demokrasi, dikenal one man/woman, one vote, one value. Satu orang, memiliki satu suara dan nilai yang sama. Mendapatkan vote terbanyak, berarti memiliki value atau kepercayaan tertinggi pula untuk duduk di kursi pemerintahan. 

Apabila value yang dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia berbeda dengan value yang kita yakini, mungkin kita akan menyesali tentang mengapa sebelum masa pencoblosan kita tidak memengaruhi orang lain untuk memilih kandidat yang juga akan kita pilih.

Netralitas ASN dan Pengalaman Bernegara di Masa Lalu

Dalam berbagai press release, himbauan, dan arahan yang ditujukan kepada para ASN, ASN diharuskan untuk netral dalam pemilu. Jangankan memengaruhi orang untuk memilih, pose jari tangan yang mengindikasikan nomor urut calon saja dilarang.

Netralitas ASN dalam pemilu yang saat ini dijalankan, tidak bisa dilepaskan oleh pengalaman bernegara di masa lalu.  Di masa Orde Baru, birokrasi dijadikan alat oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan melalui pemilu. 

Birokrasi dijadikan sebagai mesin politik partisan untuk kepentingan Golkar. Golkar terus-terusan menjadi pemenang pemilu dengan suara mayoritas.

Mungkin kita akan menyangkal netralitas kita
dengan dalih bahwa ASN zaman now ‘kan berbeda dengan ASN zaman Orba.
PNS zaman orba dulu terkenal dengan ABS dan mono-loyalitas
terhadap satu kekuatan politik. 

ASN zaman now mana bisa diarahkan untuk memilih kandidat atau partai tertentu? Apalagi diarahkan oleh atasannya. Sulit. Kita dapat melihat bahwa dalam pergaulan dengan sesama rekan ASN, khususnya para ASN muda, ASN kini telah memiliki pengetahuan politik yang baik dan mampu memahami perbedaan pilihan politik.       

Mendelegitimasi (Hasil) Pemilu

Netralitas ASN menjadi penting bukan hanya pada saat sebelum pencoblosan, tetapi juga pada pasca pencoblosan. Ketidaknetralan ASN dalam proses politik justru akan menjadi peluang bagi pihak yang kalah untuk meragukan hasil pemilu dengan dalih bahwa ASN tidak netral dan terus memihak kandidat tertentu.

Kebiasaan buruk yang sering kita lakukan saat mengalami kegagalan adalah dengan menyalahkan pihak lain, alih-alih mengintrospeksi diri sendiri. Seperti saat kalah main bola, kita seringkali menyalahkan wasit, atau sibuk menyerang pemain lawan.

Untuk itu, ASN tak perlu jauh-jauh menarik dirinya sendiri dalam kontestasi pesta demokrasi. Cukup mengajak masyarakat untuk menggunakan hak suaranya, memilih kandidat yang sesuai dengan keyakinannya. 

Cawe-cawe dalam politik bagi ASN seperti sedang menggali kuburannya sendiri. Cukuplah aspirasi politik kita ekspresikan di bilik suara tanggal 14 Februari nanti.   

Menggagas Demokrasi di Luar Nurul
#1 Pilpres Sesederhana Pemilihan Ketua Kelas

Di tengah ingar-bingar pesta demokrasi yang saat ini berlangsung, saya jadi teringat masa sekolah dulu. Tiap hari pertama di tahun ajaran baru, kita selalu memilih pengurus kelas, yang terdiri dari Ketua Kelas, Wakil Ketua Kelas, Sekretaris, Bendahara, dan perangkat kelas yang lainnya.

Dalam pemilihan tersebut, biasanya para kandidat diusulkan oleh para siswa atau ditunjuk guru wali kelas. Bila tidak ada kesepakatan mufakat, baru dilakukan proses voting. Wali kelas yang akan memandu proses voting, serta penghitungan hasilnya.

Hasilnya, siswa yang dapat suara tertinggi akan menduduki posisi sebagai Ketua Kelas. Siswa yang mendapat suara terbanyak kedua, menjadi Wakil Ketua Kelas. 

Begitupun di posisi ketiga menjadi Sekretaris, yang keempat menjadi Bendahara, dan seterusnya. Setelah pengurus kelas terbentuk, baru ditentukan mengenai kelengkapan kelas lainnya. Seperti, jadwal piket kebersihan, uang kas kelas, atau program lainnya.

Saya jadi membayangkan seandainya sistem pemilu kita memiliki aturan main yang sesederhana itu. Semua kandidat adalah calon Presiden. Hasil pemilu-lah yang akan menentukan posisi dari para kandidat tersebut. 

Kandidat yang mendapat suara terbanyak pertama berhak menjadi seorang Presiden, dan yang mendapat suara terbanyak kedua menjadi Wakil Presiden.

Selama ini, kita mengenal bahwa dalam kontestasi politik tidak ada yang namanya juara 2. Juara 2 sama saja dengan tidak mendapatkan mandat. Karena yang berhak menduduki posisi tersebut selama ini diisi oleh yang juara 1. Berada sebagai runner up perolehan suara, sama saja kalah dari pemilu.

Dalam dunia yang penuh dengan kompetisi, Juara 2 seringkali menjadi orang yang tidak dikenal dan dikenang. Pemilihan ketua kelas mengajarkan kepada kita semua untuk menghargai orang-orang yang tidak menjadi pilihan pertama. Menjadi Juara 2 pun masih dihargai dan masih memiliki posisi strategis.    

#2 Pilpres A La Carte

Atau bisakah kita memilih pemimpin seperti memesan makanan a la carte. Pelanggan dapat memesan menu makanan atau minuman secara custom, tidak dalam menu paket. 

Pelanggan dapat memilih hidangan-hidangan yang mereka inginkan tanpa harus membeli menu yang sudah ditentukan sebelumnya. Dalam konteks pemilu, a la carte seperti ini dapat memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menciptakan kombinasi kepemimpinan sesuai dengan preferensi dan selera rakyat.

Sejak pendaftaran, mereka sudah memilih, ingin mendaftar sebagai kandidat Presiden, atau sebagai Wakil Presiden. Masyarakat yang akan memilih siapa yang terpilih sebagai Presiden, dan siapa yang terpilih sebagai Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara terbanyak akan mulai berpasangan sesaat setelah pengumuman hasil pemilu.

Hal ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi para politisi membangun harmoni dan kolaborasi dalam menjalankan pemerintahan. Tapi, bukankah semua partai politik dan kandidat memiliki niat yang sama untuk memajukan bangsa? 

Kalau niatnya sudah sama-sama baik,
untuk apa terus-terusan bertengkar dalam perbedaan?

Akan tetapi, gagasan demokrasi yang di luar nurul ini mungkin hanya ada di sekolahan. Tempat di mana kita menimba ilmu, memenuhi isi otak. Lalu a la carte, mungkin hanya ada di restoran, tempat di mana kita memenuhi isi perut. 

Undang-undang Dasar negara kita sudah menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Apa kita mau mengutak-atik kembali konstitusi kita?
Nggak habis fikri.

4
0
Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya.

Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya. Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post