Deliberasi Publik di Negara Demokratis

by Bergman Siahaan ◆ Professional Writer | Jan 4, 2020 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Semua bermula dari demokrasi.
Benjamin Barber berkata bahwa tidak ada legitimasi demokratis yang kuat tanpa diskusi yang berkelanjutan. Demokrasi itu sendiri mengacu pada kekuatan rakyat (power of people).
Namun, perlu diingat bahwa demokrasi akan bekerja dengan baik ketika semua suara dapat didengar. Oleh karena itu, keterlibatan publik (public engagement) diperlukan dalam pemerintahan yang demokratis.


Semua bermula dari demokrasi. Benjamin Barber berkata bahwa tidak ada legitimasi demokratis yang kuat tanpa diskusi yang berkelanjutan. Demokrasi itu sendiri mengacu pada kekuatan rakyat (power of people).

Namun, perlu diingat bahwa demokrasi akan bekerja dengan baik ketika semua suara dapat didengar. Oleh karena itu, keterlibatan publik (public engagement) diperlukan dalam pemerintahan yang demokratis.

Istilah musyawarah sudah berakar pada masyarakat Indonesia. Sejak penduduk-penduduk terdahulu mendiami nusantara, musyawarah selalu dilakukan dalam memutuskan sesuatu di berbagai kelompok masyarakat.

Namun, kata ‘deliberasi publik’ (public deliberation) mungkin masih asing di telinga meski istilah ini kian umum digunakan dalam dunia akademis. Istilah yang terdengar keren di ilmu kebijakan publik ini pada dasarnya sama dengan musyawarah yang nota bene urat nadi bangsa Indonesia.

Mengapa deliberasi publik penting?

Para ahli berpendapat bahwa partisipasi dalam forum musyawarah (deliberasi publik), konvensi, dan panel memiliki dampak positif pada sikap dan perilaku masyarakat. Gastil (2000) menyimpulkan bahwa dampak positif dari deliberasi publik adalah menghasilkan lebih banyak informasi dan penilaian reflektif, keberhasilan politik yang lebih besar, dan peningkatan frekuensi aktivitas politik.

Ada sebuah metode dalam praktik kebijakan publik yang disebut deliberative public engagement (keterlibatan publik yang deliberatif) yang merupakan keterlibatan publik yang sengaja diselenggarakan.

Keterlibatan publik deliberatif adalah pendekatan khusus untuk melibatkan orang dalam pengambilan keputusan. Aktivitas seperti Ini memberi waktu untuk berpikir, mempertimbangkan dan membahas masalah sebelum sampai pada suatu pendapat atau pandangan.

Menurut National Consumer Council (NCC), keterlibatan publik yang deliberatif memberi banyak pembuat kebijakan data yang lebih kaya tentang sikap dan nilai-nilai publik. Keterlibatan publik juga menawarkan peluang untuk mengeksplorasi lebih banyak informasi bagaimana merasakan apa yang mereka lakukan, dan memberikan waktu untuk mengembangkan ide, opsi, dan prioritas dengan publik.

Bagi publik, keterlibatan mereka secara deliberatif menawarkan kesempatan untuk berbagi dan mengembangkan pandangan mereka satu sama lain dan langsung dengan para ahli dan pembuat keputusan.
Singapura, misalnya, menyelenggarakan “Dialog Singapura” yang menggelar lebih dari 640 sesi dialog dengan warga Singapura untuk mengetahui pandangan mereka tentang kebijakan pemerintah.

Beberapa rezim yang dikenal otoriter bahkan juga membuka ruang keterlibatan publik. Sebut saja, Pemerintah Zimbabwe, Mozambik dan Tanzania yang mengajak warga dan organisasi masyarakat sipil untuk membahas dan menegosiasikan kebijakan terkait anggaran pemerintah.

Mungkin kita akan beranggapan bahwa hal tersebut bisa saja dilakukan karena negara-negara itu berpenduduk relatif sedikit. Tapi mari kita lihat negara yang banyak penduduknya. China yang berpenduduk terbesar di dunia mempunyai “Kongres Rakyat Nasional” yang dilakukan untuk meminta pendapat publik tentang tagihan dengan menggelar lokakarya, audiensi dan jajak pendapat.

Tatap muka atau deliberasi online?

Teknologi informasi dan komunikasi telah menggeser orang untuk berinteraksi secara online. Mana yang lebih baik, deliberasi tatap muka atau secara online? Apakah kedua hal itu bisa saling menggantikan?

Menurut Gastil, deliberasi tatap muka lebih efisien, lebih kohesif, dan lebih baik dalam menangani masalah kompleks yang memerlukan penilaian kualitatif. Namun demikian, deliberasi online dianggap lebih baik untuk penilaian kuantitatif dan bisa mengurangi pengaruh status sosial peserta individu.

Dalam diskusi tatap muka, interaksi yang terjadi lebih intens karena peserta dapat langsung berdiskusi dan merespons satu sama lain. Prosesnya juga lebih cepat karena peserta berkumpul pada waktu yang sama di tempat tertentu. Berbeda dengan diskusi online yang prosesnya relatif lebih lama karena tanya-jawab atau argumentasi dilakukan melalui media komputer di mana peserta mungkin mengaksesnya pada waktu yang berbeda.

Kelemahan dari diskusi tatap muka adalah potensi keengganan peserta untuk mengeluarkan pendapat atau mempertahankan pendapat mereka karena pengaruh status sosial peserta lain. Kelemahan diskusi tatap muka ini menjadi kekuatan diskusi online, di mana status sosial peserta relatif tidak terlihat.

Di sisi lain, Aicholzer dan Kubicek yang melakukan pengamatan terhadap enam proses konsultasi dan tujuh proses kolaborasi menyimpulkan bahwa diskusi tatap muka menghasilkan kontribusi yang lebih berkualitas dan lebih baik dalam mencapai kesepakatan.

Sementara diskusi online berhasil mendatangkan lebih banyak peserta dan pendapat karena prosesnya lebih praktis dan murah. Dalam diskusi online peserta lebih cepat mendapat dukungan dari peserta lain yang sepemahaman, tetapi juga lebih mudah merubah opini.

Demonstrasi Mahasiswa September 2019?

Salah satu hal yang dapat dijadikan suatu kasus praktik demokrasi adalah adanya aksi demonstrasi.
Indonesia mengalami peristiwa yang memprihatinkan ketika demonstrasi besar-besaran para mahasiswa dan pelajar terjadi pada bulan September 2019. Aksi unjuk rasa itu berlangsung serentak di berbagai kota dan berakhir ricuh.

Hal yang menyedihkan adalah jatuhnya dua korban jiwa dari pihak masyarakat.
Demonstrasi ini merupakan aksi penolakan lanjutan terhadap kebijakan pemerintah untuk mengesahkan RUU KPK dan RUU KUHP. Banyak pasal-pasal yang sudah disepakati oleh pemerintah dan legislatif, tetapi ternyata ditolak publik.

Pemerintah dan DPR mengatakan bahwa deliberasi telah dilakukan bahkan sejak satu tahun sebelumnya. Tim yang dibentuk pemerintah dan DPR telah melakukan serangkaian diskusi tatap muka yang sebagian besar digelar di kampus-kampus. Jika demikian, mengapa para mahasiswa justru melontarkan alasan tidak mengetahui rancangan undang-undang tersebut dan menuduh pemerintah tidak melibatkan publik dalam penyusunannya?

Para mahasiswa yang ramai-ramai menolak kedua RUU tersebut adalah generasi milenial yang sehari-hari hidup di dunia cyber, bahkan mereka pun lahir di era internet. Jika mereka mengaku tidak memahami alasan perubahan kedua undang-undang tersebut dan terkejut dengan isi pasal-pasalnya, maka patut diduga bahwa deliberasi secara online tidak dilakukan atau tidak berjalan dengan baik.

Anak-anak muda itu mungkin tidak hadir di acara dialog-dialog tatap muka, tetapi mereka biasanya hadir di internet. Jika memang upaya untuk menghasilkan keputusan yang deliberatif ingin dicapai, seharusnya pemerintah dan DPR mempertimbangkan karakter generasi milenial ini.

Epilog

Keterlibatan publik yang deliberatif adalah tahap penting dalam proses pembuatan kebijakan pada pemerintahan modern dan demokratis. Proses deliberasi yang diajarkan di kampus-kampus ilmu pemerintahan dan dibahas di jurnal dan seminar internasional tak lain adalah musyawarah yang sudah ada dalam jiwa bangsa Indonesia, jauh sebelum negara republik ini berdiri.

Setiap pembuatan kebijakan publik yang menyangkut nilai-nilai dan kepentingan masyarakat secara luas harusnya diawali dengan deliberasi publik. Tujuannya bukan hanya untuk mendengar suara publik, tetapi juga memberikan pemahaman kepada publik akan hal-hal khusus yang mungkin kurang diketahui publik.

Diskusi secara tatap muka maupun online memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sehingga keduanya harus dilakukan bersama-sama untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kesalahpahaman, tuduh-menuduh, dan penolakan yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk tujuan lain pun dapat diminimalisir.

“There can be no strong democratic legitimacy without ongoing talk” Benjamin Barber, 1984

______

Referensi:

Aicholzer, G, & Kubicek, H. (2016). Evaluating e-Participation. Public Administration and Information Technology, 19.

Gastil, J. (2000). Is Face-to-Face Citizen Deliberation a Luxury or a Necessity for Democracy?

Chadwick, A. (2006). Internet politics; states, citizens, and new communication technologies. England: Oxford University Press.

Naming and Framing Difficult Issues to Make Sound Decisions. (2011). A Kettering Foundation Report.

Rudra, N, & Chandra, S. (2015, April 2). How public deliberation helps economic stability. Washington Post.

1
0
Bergman Siahaan ◆ Professional Writer

Mengabdi di Pemerintah Kota Medan, pernah belajar Ekonomi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara dan program Master of Public Policy di Victoria University of Wellington, New Zealand.

Bergman Siahaan ◆ Professional Writer

Bergman Siahaan ◆ Professional Writer

Author

Mengabdi di Pemerintah Kota Medan, pernah belajar Ekonomi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara dan program Master of Public Policy di Victoria University of Wellington, New Zealand.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post