Oleh : RAHMAD DAULAY*
Mekanisme pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah sebenarnya sudah merujuk pada berbagai aturan yang ada di Indonesia. Mekanisme ini disusun berdasarkan peraturan terkait perbendaharaan negara, penyelenggaraan jasa konstruksi, dan pengelolaan barang milik negara/daerah.
Oleh karena itu, mekanisme ini memungkinkan penanganan permasalahan dan kasus pengadaan, jika terjadi, secara cepat dan tuntas. Ironisnya, aparat penegak hukum (APH), seperti kepolisian, kejaksaan, dan auditor, selama ini ternyata tidak menggunakan mekanisme tersebut. Hal ini terjadi karena APH menggunakan mekanisme yang berbeda. Akibatnya, pelaku pengadaan menganggap telah terjadi praktik ‘kriminalisasi’ oleh APH terhadap mereka.
Walaupun isu kriminalisasi ini telah menjadi perhatian utama Presiden Jokowi karena terhambatnya pertumbuhan belanja pemerintah, sampai sekarang praktik kriminalisasi itu masih terjadi di lapangan, terutama di lingkungan pemerintah daerah. Untuk ‘mendekriminalisasi’ tindakan APH tersebut, artikel ini mencoba memberikan solusi jalan tengah.
———
Data BPS dalam bulan Agustus 2017 ini menunjukkan bahwa jumlah APBN mengalami stagnasi dalam beberapa tahun terakhir.
Konsumsi pemerintah juga cenderung turun. Hal itu menunjukkan bahwa ada faktor yang menghambat penyerapan dana pemerintah, terutama atas dana yang dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa. Faktor penghambat itu adalah ancaman ‘kriminalisasi’ oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap pelaku pengadaan barang/jasa.
APH tidak secara langsung melakukan ancaman kriminalisasi. Bentuk kriminalisasi yang terjadi adalah segala pengaduan masyarakat atas sengketa pengadaan langsung diperlakukan sebagai sebuah kejahatan pidana. Jadi, pengaduan masyarakat sebagai awal, perlakuan sebagai pidana sebagai proses, dan permasalahan hukum sebagai hasil.
Kriminalisasi dalam pengadaan barang/jasa terjadi karena perbedaan persepsi dalam memahami substansi perkara pengadaan. Penerapan pasal-pasal tindak pidana korupsi (tipikor) oleh APH sering dipaksakan atas semua masalah pengadaan. Suatu perbuatan yang sebenarnya hanya bersifat administratif bisa ‘digiring’ oleh mereka untuk memenuhi unsur tipikor.
Padahal, penanganan secara hukum dengan pasal-pasal Tipikor oleh APH mestinya merupakan jalan terakhir yang ditempuh dalam menyelesaikan kasus pengadaan. Penanganan secara administrasi idealnya yang dikedepankan. Terkecuali ditemukan indikasi pelanggaran hukum, barulah masalah itu ditindaklanjuti menjadi kasus tipikor.
Sebab, sebenarnya telah ada mekanisme yang memadai untuk itu, yaitu yang terkait dengan penanganan pengaduan, penanganan kerugian negara, dan penanganan kegagalan bangunan dan ganti rugi.
Penanganan Pengaduan
Penangan pertama terhadap seluruh pengaduan tentang permasalahan pengadaan barang/jasa berada di tangan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Idealnya, APH hanya bisa bekerja setelah mendapatkan laporan atau pelimpahan dari APIP atau LKPP.
Penanganan pengaduan dalam masalah pengadaan mestinya disampaikan kepada APIP dan LKPP. Pengaduan ini harus disertai dengan bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan.
Selanjutnya, APIP atau LKPP menindaklanjuti pengaduan tersebut sesuai dengan kewenangannya. Jika diyakini terdapat indikasi KKN yang akan merugikan keuangan negara, mereka akan melaporkannya kepada APH.
Penanganan Kerugian Negara
Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Setiap kerugian negara/daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selanjutnya, pengenaan ganti rugi kerugian negara/daerah ditetapkan oleh BPK. Apabila ditemukan unsur pidana, maka BPK menindaklanjutinya sesuai peraturan yang berlaku, yaitu menyampaikan kepada APH.
Penyelesaian kerugian negara ini perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.
Dari uraian ini, bisa disimpulkan bahwa kerugian negara/daerah ditangani pertama kali oleh BPK dan bila ditemukan unsur pidana baru ditindaklanjuti kepada APH.
Penangangan Kegagalan Bangunan dan Ganti Rugi
Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik sebagian maupun keseluruhan, dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan penyedia jasa atau pengguna jasa setelah penyerahan akhir pekerjan konstruksi.
Bangunan yang bisa dikatakan mengalami kegagalan bangunan harus ditetapkan oleh penilai ahli. Ganti rugi kegagalan bangunan dapat dilakukan oleh asuransi. Penyelesaian sengketanya juga dilakukan di luar pengadilan. Dari uraian ini, bisa diambil kesimpulan bahwa kesalahan atas kegagalan bangunan ditetapkan oleh penilai ahli.
Sementara itu, terkait dengan ganti rugi, setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi. Sanksi yang bisa diberikan kepada pihak yang menimbulkan kerugian adalah sanksi administratif dan atau sanksi pidana.
Kesimpulannya, semua permalahan yang mungkin timbul dalam proses pengadaan sudah mempunyai saluran dan mekanisme penanganannya sendiri-sendiri sebelum ditangani dengan pasal-pasal Tipikor oleh APH.
Intinya, pengaduan disampaikan ke APIP/LKPP, kerugian negara/daerah ditangani oleh BPK, kegagalan bangunan diperiksa oleh penilai ahli, dan kerugian negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi.
Penyebab Kriminalisasi
Dengan mekanisme yang jelas seperti itu, seharusnya tidak banyak pelaku pengadaan yang terjerat masalah hukum. Sebab, sudah ada prosedur administratif yang bisa memberikan jaminan bagi tuntasnya setiap permasalahan pengadaan tanpa melibatkan APH terlebih dahulu.
Namun, fakta berbicara lain. Pertanyaannya, mengapa masih banyak pelaku pengadaan yang mengalami kriminalisasi pengadaan?
Salah satu penyebabnya adalah karena APH hanya berpedoman pada ‘pakemnya’ sendiri. Mekanisme penanganan permasalahan pengadaan yang diatur dalam sejumlah peraturan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, tidak dianggap sebagai bagian dari proses penyelesaian Tipikor oleh APH.
Sedihnya, sepanjang pengamatan saya, tidak ada satu pasalpun yang mengakui dengan kokoh eksistensi APIP, LKPP, BPK, dan penilai ahli dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Peluang Dekriminalisasi
Arahan Presiden di Istana Negara pada tanggal 19 Juli 2016 telah menegaskan bahwa pembangunan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan APH harus sejalan dengan semangat presiden dalam melaksanakan kebijakan pembangunan.
Instruksi Presiden tersebut meliputi kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan, tindakan administratif tidak boleh dipidanakan, kerugian negara ditentukan oleh BPK, kerugian negara harus konkrit dan tidak mengada-ada, dan permasalahan pengadaan tidak perlu diekspos ke media massa secara berlebihan sebelum dilakukan penuntutan.
Instruksi Presiden tersebut telah disambut gembira oleh para pelaku pengadaan karena bermuatan ‘dekriminalisasi’ pengadaan. Namun, seiring dengan berlalunya waktu, instruksi Presiden tersebut mulai hilang dari ingatan para APH. Mungkin karena dalam tata urutan perundang-undangan posisi Instruksi Presiden ini berada sangat jauh di bawah UU. Sementara itu, APH bekerja berdasarkan UU.
Oleh karena itu, untuk men-dekriminalisasi pelaku pengadaan, kita perlu melakukan harmonisasi antara mekanisme penanganan permasalahan pengadaan dan aturan yang diacu oleh APH. Dengan demikian, instruksi Presiden itu tidak akan hilang dari ingatan APH.
Caranya, para pelaku pengadaan harus berkoalisi dengan LKPP, IAPI, dan APPI untuk duduk bersama dengan APH mengharmonisasi peraturan masing-masing agar selaras dengan instruksi Presiden tanggal 19 Juli 2016 itu.
Mereka perlu mengintegrasikan penanganan permasalahan pengadaan ke dalam berbagai UU yang menjadi acuan APH. Alternatif lain adalah membentuk suatu UU yang bersifat komprehensif terkait penanganan kasus pengadaan barang/jasa di Indonesia yang mengintegrasikan berbagai peraturan yang ada, terutama yang diacu oleh APH.
Dengan integrasi ini, para aktor seperti APIP, LKPP, BPK, dan penilai ahli akan diakui eksistensinya dalam UU yang menjadi acuan APH. Sepanjang integrasi ini tidak dilakukan, maka kriminalisasi APH akan menjadi cerita berulang di negeri ini.
Intinya, dekriminalisasi pengadaan adalah mimpi kita semua.
Salam reformasi, dari Madina untuk Indonesia!
*) Penulis adalah Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatra Utara. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.
Bagi APH berperkara (pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan hingga persidangan) adalah pekerjaan sehari-hari sesuai tupoksi. Sementara bagi ASN itu adalah musibah yang menelan banyak waktu, energi dan biaya. ASN punya tugas dan pekerjaan lain yg seharusnya diproteksi oleh negara, dalam artian harus ada mekanisme yg menjadi perisai ASN utk tidak diperkarakan sejauh memang tidak mencuri uang negara. Sampai tameng itu ada, maaf saya lebih baik menolak untuk menggunakan APBD.