
Film dokumenter Netflix berjudul “Buy Now: The Shopping Conspiracy” menarik perhatian dengan mengungkap sisi gelap budaya konsumsi global yang didorong oleh inovasi teknologi.
Di era yang semakin terkoneksi secara digital, industri modern seperti Amazon dan Apple memainkan peran besar dalam membentuk pola konsumsi masyarakat melalui strategi yang memanfaatkan big data, psikologi konsumen, dan kecanggihan algoritma.
Film dokumenter ini menggambarkan bagaimana kemudahan belanja online yang terlihat sederhana ternyata membawa konsekuensi besar berupa lonjakan produksi barang yang tidak terjual, jejak limbah, dan dampak jangka panjang terhadap perubahan iklim.
Film ini merepresentasikan realitas mengkhawatirkan terkait jejak lingkungan yang ditinggalkan oleh industri sekaligus menyoroti kebutuhan mendesak akan pergeseran menuju praktik yang lebih berkelanjutan.
Tayangan ini memperlihatkan bagaimana industri berusaha untuk membuat konsumen terus-menerus membeli dan mengganti barang mereka, menciptakan siklus konsumsi yang tidak berujung.
Kemudahan Konsumsi di Era Digital: Manfaat atau Bumerang?
Teknologi digital telah merevolusi cara kita berinteraksi dengan barang dan jasa. Internet, ponsel pintar, dan kecerdasan buatan semakin mempercepat inovasi seperti Internet of Things (IoT), blockchain, dan big data yang berdampak besar pada pola konsumsi masyarakat.
Salah satu perubahan paling mencolok terlihat dalam pesatnya pertumbuhan e-commerce. Menurut data Statista (2024), pendapatan global e-commerce diprediksi akan mencapai USD 4.791 miliar pada 2025, dengan jumlah pengguna yang terus meningkat hingga 3,6 miliar pada 2029.
Angka ini menunjukkan betapa pentingnya e-commerce dalam kehidupan sehari-hari, di mana belanja online kini bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan.
Lebih dari sekadar transaksi, teknologi digital juga mengubah cara pelanggan merespons suatu merek atau layanan. Kini, pelanggan dapat dengan mudah berbagi pengalaman dan opini mereka secara online, menjadikan teknologi sebagai jembatan yang memperkuat keterlibatan dan hubungan emosional antara mereka dengan merek favoritnya.
Dari ulasan produk hingga interaksi di media sosial, teknologi memungkinkan pelanggan merasa lebih terhubung, bukan hanya sebagai pembeli, tetapi juga sebagai bagian dari ekosistem digital yang lebih besar.
Namun di balik kemudahan dan inovasi yang ditawarkan oleh teknologi, perubahan ini juga memunculkan tantangan besar. Pola konsumsi yang semakin digital menciptakan siklus yang mempercepat produksi barang dan jasa yang sering kali dibarengi dengan konsekuensi lingkungan dan sosial yang tidak terelakkan.
Industri modern memanfaatkan algoritma untuk mendorong konsumen membeli lebih banyak melalui personalisasi iklan dan rekomendasi berbasis data. Strategi ini, meski meningkatkan kenyamanan, juga memperkuat budaya konsumsi berlebihan.
Ketika Data dan Algoritma Mengendalikan Kita
Film dokumenter “Buy Now! The Shopping Conspiracy” menyoroti strategi yang biasa digunakan oleh perusahaan untuk mengendalikan pola konsumsi global melalui 5 tahapan yaitu sell more, waste more, lie more, hide more, dan control more.
Dalam film dokumenter tersebut, digambarkan perusahaan memanfaatkan big data untuk memahami perilaku konsumen dan mendorong pembelian impulsif.
Amazon, misalnya, menggunakan algoritma
“rekomendasi untuk anda” dan taktik seperti “gratis ongkir” untuk meningkatkan pembelian tanpa terasa memaksa. Analisis interaksi konsumen, seperti klik, warna, desain visual, dan waktu browsing, memungkinkan perusahaan mengoptimalkan pengalaman pelanggan guna memaksimalkan keuntungan.
Di sisi lain, strategi ini menunjukkan bagaimana teknologi telah mengubah belanja menjadi proses yang tidak hanya bersifat fungsional tetapi juga emosional dan terkadang impulsif.
Hal ini menunjukkan bagaimana perusahaan memanfaatkan psikologi konsumen untuk mendorong pembelian terus-menerus yang menciptakan siklus konsumsi yang sulit dihentikan. Industri modern telah menciptakan pola konsumsi yang tidak hanya mendorong pembelian lebih sering tetapi juga sengaja mendesain produk untuk cepat dihancurkan dan dibuang.
Strategi ini, yang dikenal sebagai planned obsolescence, membuat konsumen terjebak dalam siklus pergantian barang yang tak berujung, menciptakan tumpukan limbah baru dengan konsekuensi serius terhadap lingkungan.
Perusahaan raksasa seperti Apple secara aktif mendikte kapan konsumen mengganti produk lama dengan yang baru. Apple mendorong konsumen untuk terus membeli produk terbaru mereka, sementara produk lama sering kali tidak dapat digunakan kembali.
Sebagai hasilnya, jumlah limbah elektronik, termasuk jutaan ponsel yang dibuang setiap tahun terus bertambah, berkontribusi pada krisis limbah elektronik global.
Perusahaan raksasa terus menggaungkan komitmennya terhadap keberlanjutan melalui berbagai inisiatif seperti penggunaan energi terbarukan dan target netral karbon. Namun, kritik terhadap praktik greenwashing tetap muncul, terutama terhadap strategi perusahaan yang memperpendek masa pakai produk agar konsumen terdorong membeli perangkat baru.
Indikasi Greenwashing
Indikasi praktik ini dapat terlihat pada pembaruan perangkat lunak yang memperlambat perangkat lama, desain yang sulit diperbaiki, serta biaya perbaikan yang tinggi. Limbah elektronik juga sering kali dikirim ke negara-negara berkembang, di mana proses daur ulang yang tidak memadai berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat setempat.
Contoh lainnya adalah AirPods, yang didesain dengan baterai yang tidak dapat diganti. Ketika baterai habis, pengguna tidak memiliki pilihan selain membeli unit baru, meskipun perangkat secara keseluruhan masih berfungsi.
Hal ini menyiratkan bagaimana perusahaan sengaja mendesain produk mereka agar sulit diperbaiki, menghapus informasi tentang cara memperbaiki, atau membuat biaya perbaikan lebih tinggi daripada membeli barang baru.
Salah satu ilusi terbesar yang dipasarkan adalah klaim bahwa daur ulang plastik mampu menyelesaikan krisis limbah global. Berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP), dari 7 miliar ton sampah plastik yang dihasilkan di seluruh dunia, hanya 10% yang berhasil didaur ulang.
Adapun 85% sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari lingkungan, menciptakan tantangan serius bagi keberlanjutan ekosistem. Label daur ulang pada kemasan sering kali menjadi bentuk greenwashing, pembohongan publik yang membuat konsumen merasa seolah-olah mereka mendukung pelestarian lingkungan. Padahal, kenyataannya, tumpukan limbah plastik terus bertambah.
Amazon memanfaatkan AI generatif dengan daya komputasi besar yang menghasilkan jejak karbon hingga mencapai 71,54 juta metrik ton pada 2021 sebelum sedikit menurun menjadi 68,82 juta metrik ton pada 2023.
Namun, penurunan ini jauh dari cukup untuk memenuhi target emisi nol bersih pada 2040. Meski ada peningkatan energi terbarukan, skala operasi besar dan ketergantungan rantai pasok global tetap menjadi tantangan.
Kritik juga muncul karena laporan keberlanjutan Amazon hanya mencakup sebagian kecil dari total emisi, membuat klaim keberlanjutan mereka tampak lebih baik dari realitas yang sebenarnya.
Limbah yang dihasilkan dari konsumsi tidak hanya menjadi sampah biasa, banyak dari limbah ini tergolong berbahaya. Limbah elektronik, misalnya, mengandung bahan beracun seperti logam berat, kadmium, timbal, merkuri, dan penghambat api brominasi.
Paparan bahan-bahan ini dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk kanker, gangguan reproduksi, dan kerusakan organ vital. Ketika limbah ini dibuang ke negara-negara berkembang tanpa regulasi yang memadai, racun-racun tersebut dilepaskan ke lingkungan, mencemari tanah, air, dan udara.
Harga yang Harus Dibayar Planet Kita
Sistem konsumsi modern yang didorong oleh keuntungan jangka pendek terus menghasilkan jejak karbon dan limbah yang merusak lingkungan. Sayangnya, tanggung jawab atas pengelolaan limbah sering kali dibebankan kepada konsumen, padahal industri seharusnya mengambil peran lebih besar.
Perusahaan perlu meninggalkan praktik destruktif seperti planned obsolescence dan beralih ke model bisnis ekonomi sirkular, dengan merancang produk yang tahan lama, mudah diperbaiki, dan benar-benar dapat didaur ulang. Selain itu, mereka harus menghentikan greenwashing dan benar-benar berkomitmen pada keberlanjutan dengan langkah nyata, bukan hanya sekadar janji.
Konsumen dapat menjadi kekuatan utama perubahan dengan memilih produk yang benar-benar berkomitmen pada keberlanjutan dan produk yang lebih tahan lama sehingga secara tidak langsung akan memaksa industri untuk bertindak lebih bertanggung jawab.
Namun, upaya ini harus didukung oleh pemerintah melalui regulasi ketat dan insentif untuk praktik berkelanjutan, serta sanksi tegas bagi pelanggar. Hanya dengan kolaborasi ini, kerusakan lingkungan dapat ditekan dan ekosistem bisnis yang bertanggung jawab dapat tercipta.
Selain memilih produk bersertifikasi lingkungan, konsumen dapat berkontribusi dengan mengurangi konsumsi barang sekali pakai, mendukung model bisnis berbasis ekonomi sirkular, serta tidak menggunakan produk sekali pakai. Hal ini secara tidak langsung akan memaksa perusahaan untuk bertindak lebih bertanggung-jawab terhadap lingkungan.
Seperti yang diungkapkan mantan CEO Unilever,
Paul Polman, selama wawancara dalam film ini, selama definisi kesuksesan bisnis masih berfokus pada produksi dan konsumsi yang terus meningkat, dunia akan terus menghadapi krisis keberlanjutan.
Film ini mungkin tidak memberikan solusi konkret, tetapi pesan akhirnya jelas: Memberikan kesadaran bagi kita bahwa kenyamanan dalam pola konsumsi saat ini dapat membawa konsekuensi besar bagi masa depan.
Film ini menyoroti bagaimana prioritas keuntungan sering kali mengorbankan keberlanjutan jangka panjang, sekaligus menyerukan aksi nyata sebelum terlambat.
Setiap langkah kecil, seperti memperbaiki barang, membeli sesuai kebutuhan, dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai, dapat menjadi awal perubahan besar yang diperlukan untuk menciptakan sistem yang mendukung keseimbangan planet sekaligus memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
0 Comments