Bukan maksud hati ingin narsis atau melakukan pencitraan, bukan pula karena pelit. Kalau kurang duit mungkin memang iya. Maklum saya hanya seorang pegawai negeri sipil. Saya tidak bisa memenuhi hasrat membeli apa saja yang saya dan keluarga mau.
Saat saya pulang ke rumah setiap akhir pekan, saya selalu menyempatkan diri untuk mengajak keluarga makan di warung tegal alias warteg. Selain alasan penghematan, hal itu saya lakukan untuk mendidik keluarga saya agar suka membeli makanan di warung pribumi, belanja di warung kecil, ataupun membeli pakaian dan sepatu di pasar rakyat.
Kebiasaan itu tetap saya lakukan, meskipun sesekali saya terpaksa memenuhi permintaan anak-anak untuk membeli baju atau sepatu bermerek atau makan di restoran ternama. Itu pun mereka harus menyiapkan suatu alasan tertentu dan hanya jika saya mampu untuk memenuhinya.
Saya berharap anak-anak terbiasa memiliki sikap prihatin. Kelak ketika mereka telah dewasa, mereka sudah terbiasa untuk tidak menuntut sesuatu yang berlebihan dalam memenuhi kebutuhannya.
Kebiasaan itu nantinya juga akan bermanfaat pada saat mereka telah menjadi orang yang dianggap berhasil kelak. Mereka akan tetap memiliki rasa keberpihakan kepada rakyat kecil.
Saya pun teringat saat saya berada di bangku kuliah. Ada salah satu dosen yang bergelar mentereng lulusan luar negeri. Namun, sang dosen tersebut tidak menunjukkan perbedaan sikap antara sebelum pergi dan sesudah pulang dari menimba ilmu di luar negeri. Sikapnya tetap sama, yaitu selalu bersahaja.
Sang dosen masih terlihat suka berbelanja di pasar tradisional atau menikmati makan di warung rakyat, meskipun hidupnya berkecukupan.
Teringat nasehat beliau, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Belajarlah ilmu pada negeri maju, tetapi janganlah membawa budaya mereka yang tidak sesuai dengan kepribadian kita.”
Saya pun pernah membaca sebuah artikel tentang beberapa negara tetangga yang mampu bangkit dari keterpurukan dan menjadi maju. Beberapa negara itu adalah Korea Selatan, Jepang, dan Cina. Mereka mampu menjadi negara maju karena warga negaranya mencintai budaya dan negaranya.
Salah satu contohnya adalah warga Korea Selatan. Mereka selalu membeli produk negaranya sendiri daripada membeli produk dari negara lain. Mereka rela membeli produk negaranya sendiri, walaupun harganya lebih mahal. Mereka melakukannya dengan sadar karena peduli dan mencintai produk bangsanya sendiri.
Lalu bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia? Sebenarnya sering kita jumpai kalimat ‘Mari kita cintai produk dalam negeri’. Masyarakat pada umumnya dan teman-teman saya pun setuju dengan ungkapan itu. Mereka pun seakan ikut bangga jika ada keluaran produk terbaru dari dalam negeri, apalagi kalau produk itu memang berkualitas.
Namun, memiliki rasa bangga saja tidaklah cukup. Mencintai produk bangsa sendiri harus dibuktikan dengan membeli, memiliki, dan merawatnya. Lebih bagus lagi jika kita bersedia ikut memopulerkan produk tersebut.
Dengan kata lain, kebanggaan sejati semestinya dapat dimanifestasikan dalam sebuah perilaku. Jika hanya mengatakan bangga tetapi jam tangan, sepatu, dan baju yang dipakainya masih saja produk impor, maka kebanggaan dan rasa cintanya dapat kita pastikan palsu.
Salah satu alasan mengapa masyarakat kita belum 100% bangga dan cinta kepada produk dalam negeri adalah karena masyarakat masih cenderung mengedepankan rasionalitas (ekonomi). Dalam masyarakat yang demikian, maka manfaat bagi dirinya sendirilah yang menjadi alasan utama mengapa mereka memutuskan membeli suatu produk. Bagi sebagian besar masyarakat kita barangkali membeli produk impor mungkin dianggap lebih bergengsi dibandingkan membeli produk dalam negeri.
Sementara itu, penjelasan akan adanya manfaat lainnya seperti perluasan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat luas, perkembangan ekonomi negara, dan sebangsanya hanya akan membuat mereka cuma manggut-manggut saja.
Mereka manggut-manggut pertanda paham dengan apa yang kita sampaikan, tetapi belum tentu penjelasan tadi mampu mempengaruhi perilaku mereka. Masalah lapangan kerja membesar dan perekonomian negara menjadi lebih maju, itu soal kesekian bagi mereka. Mereka tahu akan hal itu, tetapi bukan itu alasan utama yang menjadikan mereka membeli produk dalam negeri.
Sebagai masyarakat bekas jajahan (kolonialisasi), ada hal lain yang menarik di masyarakat yang patut kita renungkan. Kita ingin sekali menjadi bangsa yang hebat, tetapi di sisi lain kita selalu merasa inferior (rendah diri) dibanding negara lain, terutama kepada negara bekas penjajah kita dan negara lain yang setara.
Kita seringkali membandingkan apa yang sudah kita punya dengan apa yang dimiliki oleh negara lain. Kemudian, kita merasa ingin berkompetisi dan sebisa mungkin lebih hebat darinya. Seringkali kita dengar kalimat “Kita sudah tidak kalah dari negara A karena kita sudah mampu membuat barang B”. Dengan kebiasaan membandingkan, inferioritas kita justru menjadi abadi.
Jika rasa inferior selalu menggelayuti masyarakat kita, maka sampai kapanpun kita tidak pernah merasa bangga dengan produk bangsa sendiri. Kalaupun ada rasa bangga, sebenarnya itu hanyalah kebanggaan semu karena orientasinya masih dalam bingkai membandingkan, mengejar bangsa lain yang kita rasa sudah superior.
Selain itu, masyarakat kita telah terdidik dengan sangat mapan oleh logika pasar. Semakin mahal harga, semakin dianggap sebagai produk bernilai tinggi. Apalagi jika produk itu diproduksi oleh negara kolonial yang kita anggap superior. Akibatnya masyarakat kita masih sering terjebak pada rasa gengsi.
Jadi, bagaimana agar kita benar-benar bisa bangga dengan produk dalam negeri? Jawabannya adalah hentikan kebiasaan membanding-bandingkan. Makan saja makanan yang ada di sekitar rumah kita, belilah pakaian yang dibuat oleh tetangga kita, dan pakailah sepatu yang diproduksi oleh sentra industri kita.
Lakukan itu dengan tanpa membandingkan. Nikmati saja seperti saya dan keluarga terbiasa menikmati lezatnya makanan di warung tegal sore ini.
Saya paling suka saat pulang kampung, utamanya “sega jamblang”, “sega lengko”, dan “empal gentong”…. Tapi itu baru dirasakan nikmatnya berkuliner bersama keluarga. Hanya saja momen itu akhir-akhir ini sangat jarang dilakukan disebabkan kesibukan masing-masing anak-anak saya yang sdh dalam lingkup kerja dan kuliah. Adapun untuk pakaian, kami biasanya setahun dua kali berbelanja di Tanah Abang, biasanya saat menjelang tahun ajaran baru dan menjelang Idul Fitri. Tapi semua momen berkuliner dan belanja pakaian yang selalu produk dalam negeri itu, selalu menghabiskan kocek yang cukup dalam. Dari cerminan tersebut, jangan ditanya jika sehari-hari kami ya mengandalkan kuliner masakan istri saya di rumah, dan jika terpaksa makan di luar tentu bisa dikira-kira lah… hehehe
Sangat inspiratif…
Sebagai putra kelahiran tegal saya mengucapkan terima kasih telah menjadikan warteg sbg tempat makanan favorit cakbro sekeluarga…
Hampir mirip dengan kami di Jogja Pak, anak-anak kami kalau diajak makan di luar juga lebih memilih “nongkrong” di angkringan.. Alhamdulillah dompet pun jadi aman.. Berlima lengkap makan dengan minum teh atau susu jahe paling banter 30-40 ribu dah kenyang…
#cintaimakananlokal
Bang Atas, petinggi memberi contoh, itu bagus. Tapi, lagi lagi, jangan terlalu tergantung sama petinggi juga, itu hanya akan membuat masyarakat smakin merasa inferior. Kalau perlu masyarakat yg mendidik petinggi. 😊. So, stop membandingkan dgn siapapun.. kita sendirilah yang memegang peranan dan tularkan kepada orang2 sekitar kita..
Terima Kasih mas Agus CH..
kemungkinan pola materialistik sudah mulai menjangkiti masyarakat kita, menilai segala sesuatu dengan takaran nilai dasar. PR bersama untuk mengembalikan kebanggaan dalam negeri, asalkan dimulai dari petingginya untuk mulai berlaku bersahaja juga
Mantaap cak bro