Catatan 2021 Menuju 2024: Merefleksikan Birokrasi Kita Pasca Jokowi

by Redaksi | Jan 27, 2022 | Berita, Pengantar Redaksi | 0 comments

Prolog

Tahun 2021, periode penting di mana ketahanan bangsa ini diuji melalui pandemi, telah kita lalui. Patut diakui bahwa pandemi Covid-19 maupun dampaknya, baik di sisi kesehatan, sosial, dan ekonomi telah mengajarkan bahwa pengetahuan manusia tentang kehidupan di dunia ini ternyata amat sangat terbatas. 

Dengan berbagai istilah dan jargon-jargon, perlahan karena Pandemi, birokrasi Indonesia berubah ke arah kemajuan. Kini, koordinasi antar lembaga mulai dilakukan dengan lebih terukur, sinergis, dan menyeluruh. 

Pandemi memaksa kita bekerja secara kolaboratif, tidak terkotak-kotak dan semakin akas demi penanganan pandemi secara cepat dan tepat. Proses ini dipercepat dengan kemajuan teknologi informasi (TI) dan kesadaran bahwa TI menawarkan banyak manfaat yang signifikan bagi birokrasi.

Hal ini dibuktikan dengan terkendalinya laju peningkatan kasus Covid-19 sehingga menjelang pergantian tahun ke 2022, ledakan kasus di sekitar liburan Nataru, yang sempat dikhawatirkan, tidak terjadi. Birokrasi pun masih berjalan dengan kinerja yang cukup baik dari lembaga-lembaga pemerintahan di dalamnya. 

Meskipun, tentu saja, pengukuran efektivitas kinerja pemerintah masih cenderung berfokus pada penyerapan anggaran, belum sampai pada sejauh apa dampak setiap rupiah anggaran negara terhadap kesejahteraan masyarakatnya. 

Bagaimanapun, harapan untuk pulih dalam berbagai aspek kehidupan semakin terasa. Dari sisi ekonomi, misalnya, tercapainya target penerimaan pajak tahun 2021 dan presidensi Indonesia dalam G-20 menunjukkan bahwa Indonesia layak diperhitungkan dalam kancah global. 

Akan tetapi, pemulihan ekonomi, sebagai pengungkit dari pemulihan pada sektor-sektor lainnya, perlu dikawal dengan sebaik mungkin. Selain soal akuntabilitas keuangan dan kinerja yang perlu dijaga, tren pemulihan yang sedang terjadi menuju birokrasi new normal tidak boleh melewatkan pelajaran baik dari pandemi. 

Karenanya, inovasi dan perbaikan ke arah transformasi digital perlu dijaga, tidak boleh kehilangan momentum. Para pemimpin virtual perlu disokong untuk secara percaya diri tampil dan mengomando perubahan. 

Dengan demikian, generasi millennial yang sedang akan mendominasi birokrasi tidak akan kehilangan teladan dan semangat, atau bahkan tertarik mengikuti fenomena Great Resignation pasca-pandemi sebagaimana terjadi di belahan dunia lainnya.

Fungsionalisasi Jabatan Birokrasi

Di tahun 2021 lalu, kita juga telah melalui fungsionalisasi jabatan di birokrasi. Hampir semua kementerian, lembaga pemerintah, dan pemerintah daerah berduyun-duyun menyelenggarakan pelantikan massal para pejabat strukturalnya menjadi fungsional.

Di atas kertas, upaya debirokratisasi ini telah dan sedang dilakukan. Namun, beberapa hal masih menjadi catatan. Perubahan menjadi fungsional seyogyanya menjadikan para middle managers di birokrasi meningkatkan kinerja teknis profesional institusinya, sekaligus membuktikan bahwa mereka bukan sekedar teknisi politik.

Perubahan birokrasi menjadi lebih fungsional dimaksudkan agar birokrasi menjadi lebih tangkas dan cekatan, atau dalam istilah kekinian adalah agile. Namun demikian, perubahan tentu memerlukan sebuah proses. Birokrasi yang sebelumnya sangat terstruktur kaku, telah terlanjur mendewakan jabatan struktural sebagai jabatan prestige

Bahkan, jabatan itu seringkali digunakan sebagai alat untuk memberi penghargaan kepada pegawai, entah penghargaan berdasar kompetensi maupun berdasar kompensasi. 

Padahal, dengan fungsionalisasi birokrasi yang telah dimulai saat ini, anggapan seperti itu seyogyanya telah pupus ditelan zaman. Jabatan fungsional adalah jabatan profesional, yang seharusnya mendapatkan tempat utama di birokrasi saat ini. 

Untuk mengubah pandangan seperti itu, kita memerlukan waktu dan upaya dari banyak pihak, tak terkecuali para intelektual birokrasi untuk terus menggaungkan perubahan zaman.   

Korupsi dan Bela Negara

Awal tahun 2022, di bulan Januari, kembali kita disuguhi beberapa pemberitaan tentang operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Tak pelak lagi, setiap kita mendengar desingan berita OTT, pasti kita mengaitkannya dengan adanya oknum birokrasi yang melakukan korupsi. Di saat itu pula kita selalu bergumam, “Masih ada lagi, dan lagi?”

Ya, korupsi memang salah satu kejahatan yang paling tua dan sepertinya tak lekang oleh zaman. Bahkan, banyak yang mengatakan korupsi telah menjadi banal di birokrasi. 

Bagaimana tidak banal, oknum melakukan korupsi seperti sebuah kebiasaan sehari-hari. Berbagai analisis juga perdebatan di berbagai diskusi sudah tak bisa dihitung lagi, tapi masih saja belum menemukan kunci agar tidak lagi terjadi. 

Integritas birokrat seringkali didengungkan, termasuk di tahun 2021 yang lalu. Integritas memang salah satu sifat yang diharapkan semakin melekat pada identitas birokrat saat ini dan masa depan. 

Berikutnya, apa makna integritas itu? Apakah sekedar birokrat yang jujur, yang tak bergeming jika diberikan iming-iming? Apakah sekedar birokrat yang mau melaporkan jika terjadi tindakan penyimpangan di lingkungan kantornya? Selain hal itu tidak mudah, pemaknaannya pun bisa berubah. 

Integritas ada baiknya mulai kita maknai sebagai sebuah keberanian. Dengan integritas, birokrat seharusnya lebih dapat semakin berani untuk keluar dari kungkungan tekanan yang menghadapinya, level 4 kompetensi manajerial.

Tekanan tidak hanya berasal dari permasalahan intern di tubuh individu, melainkan juga tekanan dari luar tubuh individu, bahkan juga tekanan dari luar tubuh birokrasi. 

Salah satu tekanan dari luar birokrasi adalah tekanan politik. Bukan jarang, berbagai kejadian OTT adalah penangkapan personil birokrasi yang menjadi agen politik. 

Kepentingannya pun dengan mudah tertebak, untuk menyokong kepentingan politik, entah secara langsung ataupun tidak langsung. Korupsi politik masih menjadi momok di birokrasi sampai dengan saat ini. Beranikah kita, para birokrat, keluar dari tekanan ini? 

Sementara, tahun 2022 ini adalah tahun transisi persiapan menuju Indonesia setelah Jokowi. Akan banyak pergerakan politik yang kemungkinan besar membawa serta birokrasi dalam pusarannya. Sudah siapkah kita? 

Di saat  bersamaan, di tahun 2021, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memanggil secara sukarela para birokrat untuk bersedia menjadi komponen cadangan dalam upaya bela negara. 

Bagi kita para birokrat, sebetulnya panggilan itu dapat kita jadikan sebagai sebuah kesempatan untuk memperkuat diri dalam rangka membela tubuhnya, yakni tubuh birokrasi, dari ancaman dan tekanan dari luar birokrasi. Membela birokrasi adalah juga sebuah gerakan bela negara, karena negara ini digerakkan oleh birokrasi. 

Transformasi Bekerja di Ibukota Nusantara

Negara dan pemerintahan, sepertinya dalam waktu dekat akan mulai digerakkan dari dataran Kalimantan. Pemindahan ibukota negara mulai didengungkan kembali sejak akhir tahun 2021. 

Berbagai selebaran dan paparan yang membahas proses pemindahan pun telah berseliweran di berbagai media sosial. Rencananya, mulai tahun 2023, beberapa kementerian dan lembaga mulai berpindah kantor di ibukota negara yang baru, yang diberi nama Nusantara. 

Terlepas dari pro-kontra ibukota baru berikut namanya, menarik dilihat konsep yang diusung tentang cara bekerja para birokrat nantinya. 

Pada berbagai paparan yang ada, cara bekerja birokrat di ibukota baru direncanakan mengusung tema ‘new way of working”. Konsep tersebut terlihat dari tatanan ruang yang lebih terbuka, tidak kaku, serta sangat kekinian. 

Bahkan, tata ruang dalam kantor digambarkan seperti tata ruang layaknya kantor facebook maupun google. Tatanan ruang tersebut akan membawa cara kerja yang menjadi lebih fleksibel, informal, inovatif, dan kolaboratif.  

Pertanyaannya, dengan tata ruang yang demikian, apakah dapat menjamin cara bekerja birokrat akan berubah? 

Dalam bukunya yang berjudul The Production of Space (1992), Henri Lefebvre mengatakan bahwa ruang merupakan produk sosial. Ruang, termasuk di sini adalah ruang fisik, bertindak sebagai sebuah konstruksi sosial yang kompleks berdasar nilai, dan mampu memproduksi makna yang mempengaruhi persepsi dan praktik sosial di dalamnya. Ruang diproduksi sebagai cara tertentu untuk menjadi alat berpikir dan bertindak. 

Mengacu pada pendapat Lefebvre di atas, maka tata ruang memang dapat mempengaruhi penghuninya dalam berpikir dan bertindak. Namun demikian, hal itu tentu saja masih memiliki prasyarat tertentu, yakni nilai-nilai (values) yang dibawa oleh para birokrat yang datang itu apakah dapat dengan mudah berubah dengan cepat.

Sebab, sampai dengan saat ini, nilai-nilai feodal masih cukup kuat bercokol di lingkungan birokrasi. Pada saatnya nanti tiba, ketika birokrat telah berbondong-bondong menempati ruangan barunya, akan terjadi benturan nilai-nilai dalam bertindak dan bekerja. 

Tentu hal itu perlu menjadi perhatian, jangan sampai konsep yang telah diusung sedemikian hebat, menjadi sia-sia karena belum diantisipasi sebelumnya.

Di sisi lainnya, pengikisan nilai-nilai feodal tersebut sebetulnya telah dimulai dengan adanya fungsionalisasi birokrasi yang telah dibahas di sub-bab sebelumnya. Jika fungsionalisasi birokrasi berjalan dengan baik, maka benturan nilai-nilai itu pun dapat teratasi dengan lebih mudah. 

‘Gangguan’ Pilpres dan Pilkada 2024 

Sementara itu, seperti ditulis oleh Yanuar Nugroho, tahun ini adalah tahun terakhir birokrasi bisa efektif digerakkan oleh Jokowi. Karena, tahun 2023 nanti, suasana istana presiden berikut gerbong birokrasinya sudah dipenuhi dengan hiruk pikuk pergantian Presiden. 

Apa yang menjadi janji Jokowi selama masa pemerintahannya akan digeber untuk dituntaskan di tahun 2023 nanti. Selain itu, kepemimpinan Jokowi di pemerintahan akan sedikit banyak terganggu dengan proses politik menjelang pemilihan presiden selanjutnya. 

Bongkar pasang calon Presiden-Wakil Presiden akan mewarnai dunia perpolitikan tahun mendatang. Sementara, beberapa pasang calon bisa jadi adalah anggota kabinet Jokowi saat ini. Tentu ini juga akan banyak mengganggu jalannya birokrasi tahun depan. 

Bukan hanya Pilpres, pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di tahun 2024 pun akan banyak mengganggu birokrasi di daerah sejak tahun 2023. Jika melihat pengalaman beberapa pilkada sebelumnya, birokrasi di daerah sangat terganggu oleh sentimen politik di daerah. 

Survei yang dilakukan oleh Komite ASN tentang Pilkada tahun 2020 menunjukkan bahwa politisasi birokrasi masih sangat kental di daerah saat menjelang Pilkada. 

Politisasi birokrasi ini meresahkan banyak birokrat di daerah. Bukan saja masalah perubahan visi kepala daerah, tetapi juga banyaknya silang sengkarut kepentingan yang dimiliki inkumben dan penantang yang bertarung.

Kepentingan yang dimaksud mulai dari kepentingan mobilisasi suara sampai kepada modal Pilkada. Birokrasi yang sebetulnya mengemban amanah rakyat dapat berubah seketika menjadi pengemban amanah calon kepala daerah. 

Masih pada survei yang sama, KASN menyimpulkan bahwa pada Pilkada tahun 2020 telah terjadi pelanggaran netralitas ASN pada 109 daerah dari total 137 daerah yang melaksanakan Pilkada.  Sementara, pada Pilkada 2024, terdapat sebanyak 271 daerah yang masa jabatan para kepala daerahnya akan berakhir.  

Menjadi sebuah refleksi, jika ke depan, birokrat atau ASN disebut netral jika dibuat netral senetral-netralnya. Artinya, ASN tidak lagi memiliki hak pilih seperti TNI dan Polri. Ia ada untuk menjaga stabilitas jalannya birokrasi tanpa gangguan hiruk pikuk politik. 

Selain itu, rencana mengubah Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) bukan lagi kepala daerah mesti terus didengungkan dan diwujudkan. Dengan demikian, politisasi birokrasi yang selama ini menjadi momok birokrat dapat ditekan seminimal mungkin. 

Epilog

Saatnya kita mulai merancang Indonesia setelah Jokowi. Perubahan-perubahan mendasar yang sudah dirintis oleh Jokowi, meskipun masih menyisakan beragam masalah dan masih memerlukan penyempurnaan, harus didorong agar birokrasi Indonesia bisa menjadi birokrasi kelas dunia. 

Sebagaimana lazimnya sebuah kebijakan, tentu tidak ada yang lolos dari pro dan kontra. Akan tetapi, jika sisi positifnya lebih besar, mengapa tidak dilanjutkan?

Kekhawatiran terbesar kita bukanlah apa yang akan terjadi di era pasca Jokowi beserta kemungkinan-kemungkinan persoalannya. Melainkan, bagaimana kita melewati proses pesta demokrasi kolosal di tahun 2024 yang akan menjadi penentu wajah Indonesia –termasuk birokrasi–Pasca Jokowi.

Lebih dari 200 juta pemilih nanti akan menggunakan haknya menunjuk pemimpin-pemimpin dan wakil-wakilnya di setiap level pemerintahan untuk bekerja selama lima tahun berikutnya. Para pejabat politis inilah nantinya yang akan memimpin birokrasi mengubah wajah Indonesia. 

Pertanyaannya: Sudah siapkah mereka memilih? Apakah preferensi pilihan mereka akan berpijak pada pemahaman dan pengetahuan yang memadai tentang politik? Apakah mereka aware terhadap konsekuensi-konsekuensi logis dari pilihan-pilihan yang akan mereka ambil? 

Pengalaman berdemokrasi kita selama ini sudah mengajarkan banyak hal. Namun, pelajaran terpenting yang terang benderang adalah masih banyak pemimpin pilihan rakyat yang kinerjanya belum optimal. Bahkan, masih banyak di antaranya yang tidak mampu menghindar dari praktik KKN. 

Dari kondisi itu, kita bisa sepakat dengan William Liddle dan Syaiful Mujani, bahwa penurunan kualitas demokrasi sedang terjadi di negara kita, dan itu adalah beban berat yang akan menyeberang ke era Pasca Jokowi.***

Redaksi

Redaksi

Author

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post