Bola Politik Papa Edy

by Oki Kurniawan ◆ Professional Writer | Dec 17, 2018 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Prolog

Berbicara sepak bola, tampaknya tidak akan pernah ada habisnya. Meski begitu, ada tanda tanya besar yang selalu terngiang di benak banyak orang. Mengapa sulit sekali menemukan 11 pemain untuk berlaga di lapangan hijau, sementara negeri ini dihuni lebih dari 250 juta penduduk. Meminjam perkataan Papa Edy (dengan sedikit perubahan), “Kalau pengurusnya baik, timnasnya juga baik”.

Memang, pelatihlah yang memiliki otoritas dalam memilih pemain yang akan bertanding dan strategi yang akan digunakan selama 90 menit pertandingan. Namun, dibalik itu pengurus juga memiliki kewenangan dalam merekrut pelatih dan tim ofisial.

Saya, adalah salah satu birokrat yang memiliki kegelisahan tingkat tinggi terhadap kondisi persepakbolaan negeri ini. Tulisan ini mencoba menyoroti kondisi keterpurukan sepak bola Indonesia yang berelasi dengan politik praktis.

Sengkarut Timnas

Sudah hampir satu dekade ini persepakbolaan nasional berada dalam kondisi yang tidak baik. Sejak gelaran piala AFF (Asean Football Federation) tahun 2010, begitu banyak konflik terjadi di tubuh federasi sepak bola Indonesia, PSSI.

Masih segar dalam ingatan kita, pada tahun 2012 terjadi dualisme liga yang ada di Indonesia. Ada Indonesian Premiere League (IPL) dan ada Indonesia Super League (ISL). Masing-masing kubu mengklaim bahwa mereka adalah kompetisi profesional yang sah. Sebaliknya, yang lainnya dianggap sebagai liga yang ilegal.

Tidak hanya itu, dalam perkembangan berikutnya muncul dualisme kepemimpinan organisasi. Ada PSSI versi Djohar Arifin, dan ada versi La Nyalla Mattaliti. Masing-masing mengklaim memiliki mandat yang sah dari anggota PSSI.

Masing-masing kubu juga membentuk timnas sendiri-sendiri. Alhasil, dalam gelaran Kualifikasi Piala Dunia 2014, Timnas Indonesia dicukur habis oleh Bahrain dengan skor 10-0. Kekalahan itu menjadi kekalahan terbesar timnas Indonesia sepanjang sejarah. Sampai akhirnya, pemerintah turun tangan untuk membekukan PSSI, dan Indonesia kena sanksi (banned) oleh FIFA selama setahun.

Konflik dalam tubuh PSSI bukan hanya berdampak pada kondisi internal organisasi PSSI sendiri, tetapi juga pada kerinduan publik akan tontonan sepak bola yang menghibur dan menjadi pelega dahaga publik atas prestasi timnas. Pil pahit harus kita telan lagi, yaitu ketika timnas gagal di ajang Piala AFF 2018.

Sepak bola dan Kekuasaan

Sebagian besar dari kita sepakat bahwa muara dari konflik PSSI yang terjadi saat ini adalah politisasi sepak bola. Sepak bola kita dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan politik oleh aktor politik. Bagaimana politik bermain dalam aktivitas sepak bola?

Aristoteles menyebutkan bahwa manusia adalah zoonpoliticon atau makhluk yang berpolitik. Dari awal bangun tidur sampai dengan tidur lagi, manusia melakukan aktivitas politik. Secara luas, politik adalah tentang strategi dalam pencapaian tujuan. Namun, seringkali kita terjebak pada pengertian politik sebagai politik praktis, yakni hal-hal yang berkenaan dengan negara dan kekuasaan.

Adapun kekuasaan, Prof. Ramlan Surbakti (1992) mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain agar berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang dipengaruhi.

Nah, paradigma tentang dunia sepak bola saat ini tidak lagi dipandang sebagai sebuah olahraga semata. Namun, sepak bola dapat dijadikan sebagai tempat atau saluran dalam meraih kekuasaan.

French dan Raven (1960) membagi kekuasaan menjadi 5 kategori yaitu: coercive power; reward power; legitimate power; referent power; dan expert power. Kekuasaan politik masuk kedalam kategori legitimate power, atau kekuasaan yang dimanifestasikan dengan perannya yang sah dan diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Menurut Prof. Tjipta Lesmana (2013), pemain bola yang tenar, apalagi pemain kelas dunia, juga memiliki kekuasaan, dalam kategori expert power. Seorang pemain bola ternama banyak dicari oleh klub sepak bola karena kepiawaiannya dalam mencatak gol, menaikan pamor klub sepak bola dan stakeholders lainnya.

Mereka memiliki nilai (harga) yang tinggi. Semakin tenar dan piawai pemain sepak bola, semakin tinggi pula ‘banderolnya’. Namun, bila kelihaiannya mengolah ‘si kulit bundar’ sudah menurun, nilai (harga)-nya pun ikut turun.

Politik dan sepak bola merupakan dua unsur yang berbeda dan sama-sama tidak menginginkan disatukan, sebagaimana yang ada dalam statuta FIFA. Namun, dibalik perbedaan itu ada kesamaan karakteristik. Dalam urusan politik dan urusan bola, keduanya sama-sama menginginkan kemenangan.

Prakteknya, politik dan sepak bola seringkali dijalankan seiring sejalan. Politisi mengincar kemenangan untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Pemain bola/klub sepak bola mengincar kemenangan untuk mendapatkan ‘pengakuan’ yang muaranya adalah popularitas, kekayaan, atau bahkan menjadi jalan untuk mendapat pasangan yang cantik, tajir, dan seksi.

Mendulang Suara dari Supporter

Untuk menggambarkan ‘bersatunya’ politik dengan sepak bola, mari kita tengok di beberapa negara. Di Italia ada Silvio Berlusconi, bos besar klub sepak bola AC Milan ini juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Italia. Di Asia Tenggara juga ada Thaksin, mantan PM Thailand, yang juga pernah tercatat sebagai CEO klub Manchester City.

Bagaimana dengan di Indonesia? Sudah tidak perlu dituangkan dalam tulisan ini lagi. Kita semua bisa melihat secara gamblang bagaimana permainan politik juga dipraktekan dalam urusan sepak bola.

Dalam setiap gelaran pesta demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional, kita dapat melihat para politisi memainkan ‘kartu bola’. Telah banyak contohnya berbagai kampanye para calon kepala daerah dengan cara mengidentikkan diri mereka seperti kelompok suporter sebuah klub.

Para politisi itu kerapkali mencoba mendekati suara suporter sepak bola dengan menjanjikan pembangunan stadion, fasilitas pendukung, bonus dari APBD, dan lain sebagainya.

Sepak bola Indonesia memang memiliki atmosfer yang menggiurkan, bukan hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dari sisi politik. Suporter sepak bola di Indonesia dapat dikategorikan sebagai suporter yang fanatik terhadap klubnya.

Sebut saja kelompok suporter seperti Bobotoh, The Jak Mania, Aremania, Bonek, dan kelompok suporter lainnya di Indonesia. Para suporter ini bukan hanya memiliki karakter yang fanatik terhadap klub kesayangannya, tapi jumlah mereka juga besar. Bisa dibayangkan bila potensi ini digunakan untuk meraup suara dalam pemilihan umum.

Reformasi Sekedar Mimpi?

Tahun berganti, reformasi sepak bola Indonesia, khususnya tentang reformasi PSSI seperti mengalami stagnansi. Saat ini masalah PSSI bukan adanya dualisme liga ataupun dualisme kepengurusan. Yang menjadi sorotan publik saat ini adalah hattrick jabatan dari pimpinan PSSI. Selain sebagai ketua umum (Ketum) PSSI sejak tahun 2016, Papa Edy merupakan seorang gubernur, dan juga ketua dewan pembina klub PSMS Medan.

Edy Rahmayadi terpilih sebagai Ketum PSSI berdasarkan hasil kongres PSSI tahun 2016. Saat kongres yang diketuai oleh Agum Gumelar, Edy terpilih sebagai ketua PSSI periode 2016-2020 dengan memperoleh 76 suara, mengalahkan dua kandidat lainnya yaitu Moeldoko yang mendapatkan 23 suara dan Eddy Rumpoko mendapatkan satu suara.

Tak dinyana, pada tahun 2017 Edy mengikuti kontestasi pesta demokrasi di Provinsi Sumatera Utara sebagai calon gubernur, dan akhirnya terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara periode 2018-2023.

Memang, aktivitas Edy dikancah politik yaitu sebagai gubernur tidak bertentangan dengan statuta PSSI. Tidak ada aturan yang mengharuskan Edy mundur dari jabatan Ketum PSSI meskipun telah terpilih sebagai gubernur. Begitupun saat mendaftar sebagai calon gubernur, juga tidak ada syarat untuk melepaskan diri dari jabatan federasi keolahragaan.

Namun, publik juga tak bisa memungkiri bahwa dunia sepak bola Indonesia masih banyak didera berbagai macam persoalan, mulai dari integrasi di lingkungan internal PSSI, pemberantasan pengaturan skor, penanganan kerusuhan suporter, pembinaan usia muda, transparansi keuangan, sampai dengan peningkatan prestasi tim nasional.

Masalah-masalah tersebut, harus segera diatasi. Publik rindu akan prestasi timnas sepak bola di kancah internasional. Untuk mengurai benang kusut tersebut, diperlukan orang yang benar-benar memiliki loyalitas terhadap dunia sepak bola Indonesia.

Dengan hattrick jabatan yang dimiliki Papa Edy saat ini, publik menilai tidak ada keseriusan Papa untuk membenahi kondisi sepak bola. Alih-alih membenahi kondisi sepak bola, jangan sampai yang terjadi adalah terbengkalainya tugas yang dijalaninya. Sepak bola tidak tuntas dibenahi, dan janji kampanye terhadap masyarakat Sumut tidak terealisasi.

Harapannya, reformasi sepak bola di Indonesia jangan hanya menjadi sebuah fatamorgana. Sampai kapan PSSI di-bully oleh masyarakat Indonesia karena tidak memiliki visi, misi dan target yang jelas.

Diperlukan visi tajam dan road-map yang jelas tentang pembangunan sepak bola Indonesia ke depan. Untuk itu, masyarakat menilai bahwa pengurusan PSSI tidak bisa dilakukan dengan cara sambilan. Dibutuhkan dedikasi, integritas, dan komitmen yang ekstratinggi untuk segera membenahi PSSI.

Sampai dengan saat ini, menjadi ketua umum PSSI, tidak seperti ketum organisasi/federasi olahraga lainnya, masih dinilai sebagai sebuah langkah atau jalan yang  strategis untuk mencapai kedudukan politik.

Saat ini Papa sudah memiliki legitimasi yang sah secara undang-undang untuk mengatur tata pemerintahan dan sosial masyarakat Sumut. Sebagai Ketum PSSI, Papa juga memiliki kewenangan untuk meracik arah strategi kebijakan sepak bola di Indonesia.

Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana kekuasaan yang berbeda fokus dan lokus yang dimiliki itu beroperasi secara bersama-sama? Atau, bagaimana cara Papa mengoperasikan kekuasaannya? Supaya tidak terjadi abuse of power dan kedua amanah yang ada dapat ditunaikan dengan baik. Papa Edy sendirilah yang bisa menjawabnya.

Epilog

Dalam menjalankan kekuasaan, dimensi etika dan kekuasaan itu sendiri dapat bermain bebas. Pada prosesnya, terkadang etika yang mendominasi, tetapi pada akhirnya kekuasaanlah yang menjadi pemenangnya. Mau menuruti panggilan etika atau dahaga kekuasaan. Semuanya kembali kepada moralitas si empunya.***

 

 

1
0
Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya.

Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Oki Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

ASN Analis Kebijakan di Biro Hukum dan Humas Lembaga Administrasi Negara. Alumni Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad. Suka menulis dan memiliki ketertarikan pada bidang pengembangan kompetensi SDM, politik, kebijakan publik dan isu-isu sosial lainnya. Dapat dihubungi melalui alamat email [email protected] atau bisa di follow instagram @oki_kurnia1 untuk kenal lebih dekat.

1 Comment

  1. Avatar

    Kuwatir sy penulis jg ikut berpolitik praktis dgn tulisan ini. Semoga saja tidak

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post