Bernostalgia Dengan Mike Tyson: Manifestasi Spritualitas

by | Jun 18, 2020 | Sosok | 0 comments

Beberapa hari terakhir ramai diberitakan akan kembalinya Mike Tyson ke ring tinju. Dalam footage latihan tinju yang ditampilkan di media sosial, Tyson masih terlihat begitu seram dan kuat dengan daya pukulan dan gestur pick a boo-nya. Dengan kombinasi itu, Tyson adalah juara dunia sejati dengan gaya boxer terbaik hingga kini. Banyak pengamat menilai, beberapa bulan berlatih sudah cukup mengembalikan Tyson untuk menundukkan Deontay Wilder atau Tyson Fury, juara dunia tinju IBF, WBC, dan WBA saat ini.

Mungkin berlebihan dalam usia 53 tahun Tyson sekarang, ia kembali berlatih untuk pertandingan amal dalam upaya menyumbang korban pandemi Covid-19. Tapi begitulah Mike Tyson, seorang legenda hidup yang lekat dalam memori.

Tentang Mike Tyson, saya jadi teringat televisi hitam putih bermerek Sharp yang ditempatkan di pojok ruangan rumah kami, di bawah lampu bohlam kuning 5 watt. Barang itu menemani kami, yakni saya, bapak, dan beberapa teman untuk menonton Mike Tyson berlaga.

Hari Ahad itu adalah hari pertandingan tinju internasional. Saya harus nekat bolos atau mangkir jam pelajaran, karena Ahad adalah hari bersekolah kami di madrasah tsanawiyah. Sedangkan pertandingan tinju digelar sekitar jam 10 pagi.

Televisi itu jugalah yang mengenalkan saya pada sosok Mike Tyson dan Evander Holyfield di kelas berat, Julio Cesar Chavez, Sugar Ray Leonard, Thomas Hearns di Kelas Welter dan penjelajah, juga tentu saja Felix Trinidad.

Dulu, sekitar pertengahan 80 sampai awal 90-an, olah raga tinju masih terasa ramai dengan berbagai sensasi dan prestasi para petarungnya. Sekarang, mau tidak mau perhatian olah raga adu jotos agak terbagi dengan keberadaan World Wresting Federation (WWF) ataupun  Ultimate Fighting Championship (UFC) tempat Habib Nurmagomedov dan Conor McGregor menebar sensasi. Bisa jadi inilah salah satu alasan mengapa tinju tidak lagi sesemarak dulu.

Siapa Mike Tyson?

Bagi saya, bisa jadi “sepi”nya tinju saat ini karena tidak ada lagi Mike Tyson atau penggantinya yang sepadan. Tyson selayaknya natural born killer, petarung sejati dari sejak dilahirkan.

Dalam sebuah buku yang berjudul Mike Tyson, My Undisputed Truth, My Autobiography (2013), Tyson menjelaskan tentang siapa dirinya sesungguhnya. Besar di Catskill, kawasan ghetto di Brooklyn, Tyson dikenal sebagai tukang kelahi yang sulit ditandingi. Karakter kerasnya sudah terlihat sejak kecil. Rodney, abang kandung berselisih lima tahun darinya, kerap jadi korban kekesalan dan amarahnya.

Rodney cenderung pendiam. Sehingga, ajakan-ajakan untuk nyolong roti di toko makanan datang dan berasal dari Tyson. Jika menolak, Tyson tak segan mengumbar amarahnya ke Rodney.

Namun, meski keras pada abangnya, Tyson adalah pembela sejati untuk kebenaran. Sayang, kebenaran itu menurut yang diyakininya saja. Dengan watak kerasnya, mudah saja membayangkan kelahi dan pertarungan jalanan di Brooklyn yang mengikutsertakannya, juga kriminalitas. Dalam pengakuannya, pada umur 12 tahun, Tyson sudah 29 kali ditangkap polisi karena tindakan kriminal dan perkelahiannya.

“Aku tak terkalahkan,” sombongnya pada orang-orang sekitarnya. Dalam berkelahi, kemampuannya untuk menghindari serangan lebih cepat dari serangan lawannya.

Dalam menyerang, sekali pukul sudah cukup membuat lawannya tersungkur, kalau perlu sampai semaput. Untuk segala yang tidak mampu menandinginya, dengan pongah Tyson menilai dirinya adalah “Alexander The Great” modern.

Kekuataan pukulannya memang sudah menakutkan dari remaja, sekaligus mengkhawatirkan ayahnya, Jimmy Kirkpatrick Jr. Kekhawatiran yang sangat beralasan karena perangai beringas dan tidak bisa diatur Tyson.

Jimmy berusaha keras mencari jalan keluar hingga akhirnya takdir menemukan Tyson dengan Cus d’Amato. Cus adalah orang yang memberi koridor cara bertarung dalam tinju kepada Tyson, membuatnya jadi mesin petarung yang sangat menakutkan lawan-lawannya kelak.

Constantin D’Amato nama lengkapnya. Lelaki tua asal Italia ini membuka lembaran baru Tyson. Brett McKay dalam The Warrior Monk Philosophy of  Trainer Cus D’Amato: the 5 Strategic Principles That Turned Mike Tyson into A World Champion (2019), menuturkan betapa gelut dan adu jotos di atas ring tinju bukan hanya tentang seseorang dengan kekuatan fisik tak terperi.

Bertinju  bukan hanya sekedar bertanding, lalu menang, uang datang, dan selesai. Namun, Brett menjelaskan bahwa dalam melatih Tyson, Cus menjalankan strategi yang banyak dijalankan para pendeta dengan penguasaan dan pengendalian dirinya atas hawa nafsu.

Para pendeta yang biasa menyepi itu sengaja mengasingkan diri, menjauhi keramaian, dan menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran yang diyakini. Semua itu ditempuh untuk tujuan akhir berupa pencapaian spiritualitas tertinggi dengan zat yang serba Maha.

Manifestasi Spiritualitas

Di tangan Cus, spiritualitas para pendeta itu dimanifestasikan dalam disiplin diri yang tinggi pada Tyson. Laku disiplin ini dijalankan dengan ketat pada Tyson tidak dengan sebuah komunikasi yang frontal. Cus pada akhirnya mendaulat Tyson menjadi anak angkatnya. Dengan status itu, waktu demi waktu bersama Tyson bisa lebih akrab dan hangat.

Cus menjalankan lima strategi berlatih yang intens untuk membentuk Tyson baru. Pertama, sepenuhnya fokus pada misi. Cus ingin Tyson tidak membagi lagi waktunya untuk nyolong roti di toko atau memalak orang di tengah jalanan Brooklyn.

Yang dilakukan hanyalah berlatih dan berlatih di gym kecil di kawasan Catskill. Disiplin yang tinggi untuk berlatih membuat Tyson memiliki body goal sempurna sebagai petarung sangar. Tidak heran jika dia dijuluki Iron Mike kelak.

Kedua, membaca dan belajar untuk memperluas wawasan dan membangun sikap hidup. Mungkin tidak banyak yang tahu, Cus d’Amato bisa membentuk Tyson remaja untuk dekat dengan buku. Tulisan Ernest Hemingway, Vyodor Dovtoyevsky, Frederick Nietzche dan penulis lain dilahapnya di sela latihan di gym. Disebutkan, buku Dumas, The Count of Monte Cristo adalah buku favoritnya.

Ketiga, mengontrol pikiran dan realitas. Pada Tyson, Cus menekankan pentingnya menguasai pikiran sendiri agar tidak mudah dipengaruhi sekitar. Dalam kaitan ini, disebutkan bahwa Cus percaya akan kekuatan telepati pikiran, dimana kontrol atas pikiran sekarang akan menentukan kesuksesan nantinya.

Keempat, jadikan yang nyaman menjadi tidak nyaman di atas ring. inilah filsafat penghancuran musuh yang ditekankan pada Tyson. Segala yang terlihat enak dan nyaman pada musuh harus dihancurkan dengan segala daya. Letih, bagi Cus, 90% di antaranya hanyalah soal psikologi. Oleh karena itu, bertarung di atas ring adalah soal mengerahkan segala yang dimampu dalam diri.

Kelima, Belajar untuk mengontrol dan menggunakan rasa takut. Saya kutip sepenuhnya pendangan Cus tentang rasa takut:

“Fear is the greatest obstacle to learning. But fear is your best friend. Fear is like fire. If you learn to control it, you let it work for you. If you don’t learn to control it, it’ll destroy you and everything around you.

Like a snowball on a hill, you can pick it up and throw it or do anything you want with it before it starts rolling down, but once it rolls down and gets so big, it’ll crush you to death.


So one must never allow fear to develop and build up without having control over it, because if you don’t you won’t be able to achieve your objective or save your life.”

Ketakutan adalah hambatan terbesar untuk belajar. Tapi ketakutan adalah teman baikmu. Ketakutan seperti api. Jika Anda belajar mengendalikannya, ia akan bermanfaat untuk Anda. Jika Anda tidak belajar mengendalikannya, itu akan menghancurkan Anda dan semua yang ada di sekitar Anda.

Seperti bola salju di atas bukit, Anda dapat mengambilnya dan melemparkannya atau melakukan apa pun yang Anda inginkan sebelum bola itu mulai menggelinding. Begitu bola itu menggelinding dan menjadi besar, itu akan menghancurkan Anda sampai mati.

Jadi seseorang tidak boleh membiarkan rasa takut untuk berkembang tanpa kendali, karena bisa membuat Anda tidak akan dapat mencapai tujuan ataupun menyelamatkan hidup Anda.

Cus menyadari tetap ada potensi rasa takut dalam diri manusia, pun Tyson. Ungkapan Cus tersebut menempatkan rasa takut dalam dua sisi manusiawinya. Namun jika seseorang mampu mengelola rasa takut dengan baik, hal itu bisa menjadi modal yang dahsyat untuk menggerakkan potensi kekuatan fisik yang mampu merobohkan apapun di depannya.

Kesalahan dan Kedewasaan

Dengan pola dan filosofinya dalam melatih, Cus telah membentuk Tyson menjadi ‘mesin pembunuh’ yang sulit dihentikan. Sayang, Cus meninggalkan Tyson selamanya sebelum Tyson paripurna sebagai atlet adu jotos dengan lingkaran kehidupan yang demikian keras.

Setahun setelah Cus meninggal, Tyson menjadi juara dunia tinju termuda dalam sejarah hingga kini. Tyson berumur 20 tahun kala itu dengan sederet rekor mengalahkan petinju petinju besar: Leon Spinks, Larry Holmes, Trevor Berbicks, Shannon Briggs, dan lain-lain.

Andai Cus masih bisa mendampingi Tyson, saya yakin Tyson bisa meminalisir diri dengan falsafah yang ditanamkannya. Cus bisa menjadi living legend dalam diri Tyson untuk menghindari skandalnya dengan Desiree Washington yang menjadi awal mula kehancuran karirnya.

Andai Cus masih bisa mendampingi, Tyson tidak akan tergoda dengan gelimang uang Don King yang menjerumuskannya dalam kehidupan jetset yang menggerogoti insting membunuhnya, hingga ia tak perlu memakai cara curang untuk mengalahkan Evander Holyfield.

Namun, saya masih melihat sisi sportif dan pengakuan atas segala kesalahan yang dilakukannya. Dalam penutup otobiografinya, dengan tenang dia menjelaskan gambar-gambar perjalanan karirnya. Di antaranya adalah insiden gigit telinga yang dilakukannya ke Holyfield.

Sangat mungkin, pengakuan itu merupakan bagian dari kedewasaannya, dengan menjadikan masa lalu yang pahit sebagai bagian pelajaran dan pengakuan diri. Bisa jadi, itu adalah bekas ajaran Cus pada Tyson untuk mengakui realitas yang ada di sekitarnya dengan jantan, bahkan jika itu adalah rasa bersalah.

Cus, dengan demikian, adalah belahan jiwa sesungguhnya pada diri Mike Tyson. Dia memberi pelajaran penting tentang bagaimana mengontrol diri agar tidak menjadi berlebihan dengan emosi dan kekuatan diri, mengarahkan potensi tersebut menjadi kekuatan dan energi positif.

2
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post