Sekitar setahun lalu Ayla, putri saya, meminta dibelikan rubik.
Entah dari mana keinginan itu muncul, mungkin dari teman sekelasnya. Yang jelas, saya menyambut dengan gembira permintaan tersebut.
Dengan cukup mengeluarkan uang lima belas ribu rupiah,
rubik pun sudah berada dalam genggamannya. Permintaan untuk dibelikan rubik melayangkan angan saya ke masa kecil dulu. Bermain rubik sempat mewarnai hari-hari saya di tahun delapan puluhan.
Tak heran kalau kemudian saya pun sering kali tertangkap basah oleh Ayla sedang asyik bermain rubik.
Learning Process, Pelajaran dari Menyusun Rubik
Rasa penasaran untuk menyusun enam sisi rubik terus terang masih tersimpan rapi. Waktu kecil prestasi saya hanya mampu menyelesaikan satu sisi saja. Sekian kali diulang hasilnya tetap sama, satu sisi.
Dengan adanya internet saya yakin bisa meningkatkan kemahiran saya dalam bermain rubik. Segeralah saya cari tutorialnya melalui Google dan YouTube. Sesuai prediksi saya, tutorial menyelesaikan rubik bertebaran di internet. Lalu, saya pelajari dan praktikkan tutorial tersebut. Ajaib, kurang dari hitungan hari dua sisi rubik bisa saya selesaikan dengan mengikuti petunjuk tutorial.
Saya baru tahu bahwa penyelesaian rubik ada formulanya dan bisa dipelajari. Dulu, sewaktu saya kecil, ketika sekedar istilah “internet” saja belum sampai ke telinga, saya dibuat takjub dengan keberhasilan anak-anak kecil yang bisa menyelesaikan enam sisi rubik yang saya saksikan melalui layar TV tetangga. Dalam pikiran saya, pastilah anak itu sangat cerdas.
Ternyata, kini menyelesaikan rubik bukan menjadi satu hal yang istimewa. Banyak anak-anak yang mampu menyelesaikan rubik dengan cepat. Keberadaan internet rupanya memungkinkan siapapun belajar bagaimana menyelesaikan rubik, termasuk saya.
Lalu, apakah saya sudah berhasil menyusun enam sisi rubik? Belumlah. Saya belum sempat menuntaskan tutorial itu hingga mencapai tujuan akhir. Tapi saya percaya, saya akan bisa menyelesaikannya jika saya mempelajari tips-tips-nya suatu saat kelak. Hanya masalah waktu saja karena saya terpaksa harus menangguhkan ikhtiar saya mewujudkan mimpi menata keenam sisi rubik.
Keberhasilan saya meningkatkan kemampuan menyusun dua sisi rubik pada prinsipnya menunjukkan pentingnya proses pembelajaran atau learning process. Sebaliknya, sekeras apapun usaha saya kerahkan di masa silam, sepanjang apapun waktu saya kerahkan untuk menaklukkan rubik, tak akan pernah menampakkan hasil jika saya tidak pernah mempelajari bagaimana caranya.
Hal yang sama juga berlaku dalam setiap proses pembelajaran di mana pun terjadinya. Entah itu di sekolah, di tempat kerja, ataupun dalam organisasi.
Organisasi Pembelajar sebagai Pilar Continuous Improvement
Dalam sebuah artikelnya yang berjudul Building a Learning Organization, David A. Garvin menegaskan mengapa organisasi juga butuh belajar.
Menurut Garvin, bagaimana mungkin organisasi akan mengatasi permasalahannya, memperkenalkan produknya, meningkatkan kinerjanya tanpa melakukan proses pembelajaran yang membuat seluruh unsur di dalam organisasi mampu melihat hal-hal baru.
Garvin juga menegaskan bahwa, “the absence of learning, companies and individuals simply repeat old practice.” Hal inilah yang juga dapat digunakan sebagai alat ukur apakah suatu organisasi merupakan sebuah organisasi pembelajar atau bukan. Indikatornya, apakah organisasi Anda melakukan kesalahan yang sama dua kali?
Sama halnya dengan apa yang saya lakukan di masa kecil, sesering dan selama apapun saya bermain rubik, tanpa melakukan proses pembelajaran saya tidak akan pernah mampu menata lebih dari satu sisi. Perubahan baru terlihat ketika saya meluangkan waktu untuk mempelajari bagaimana strateginya menyusun rubik.
Lalu, apa yang dimaksud dengan learning organization atau organisasi pembelajar?
Ada banyak definisi tentang organisasi pembelajar. Salah satunya adalah yang diutarakan oleh Peter Senge. Dia katakan, organisasi pembelajar adalah organisasi di mana orang-orang secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya dalam menciptakan sesuatu yang mereka inginkan, pola pikir baru ditumbuhkan, tujuan bersama diberikan ruang, dan orang-orang di dalamnya belajar bagaimana mereka belajar bersama.
Jika demikian, apakah dalam organisasi yang dalamnya terdapat individu-individu pembelajar sudah dapat disebut sebagai sebuah organisasi pembelajar? Garvin menegaskan bahwa organisasi pembelajar tidak hanya terkait dengan subyek dan proses pembelajaran saja, tapi juga harus dikaitkan dengan hasilnya.
Hal ini terlihat dari definsi Garvin tentang learning organization, organisasi pembelajar juga mencakup perilaku bagaimana organisasi merespon pengetahuan dan wawasan baru yang telah diciptakan, didapatkan, dan didistribusikan ke seluruh anggota organisasi. Makanya, Garvin mensyaratkan dua hal yang harus dimiliki oleh organisasi pembelajar: knowing what to do dan doing what we know.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari sangat mudah kita dapatkan. Dalam hal penyajian makanan keluarga, misalnya, saya sering dan suka melihat tayangan memasak baik melalui video, TV ataupun artikel. Sayangnya, ketika saya kembali ke dapur yang saya lakukan hanyalah memasak tanpa membuka kembali resep yang sudah saya peroleh. Alhasil, masakan saya sering dikomplain oleh anak-anak, apalagi kalau terkait dengan per-kue-an.
Dalam konteks birokrasi hal ini bisa kita lihat dari berapa banyak program training, workshop, dan benchmarking yang diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan pegawai. Namun, apakah peningkatan tersebut sudah diejawantahkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, masih menjadi tanda tanya.
Jadi, individu pembelajar tanpa memperlihatkan sebuah hasil pembelajaran belum bisa dikatakan sebagai sebuah organisasi pembelajar.
Apa yang Dilakukan Organisasi Pembelajar
Garvin, dalam artikel yang sama, menguraikan bahwa dalam implementasinya, organisasi pembelajar dijalankan secara melekat dan terus menerus dalam proses bisnis organisasi. Training, workshop, dan benchmarking hanyalah sebagian dari contoh aktivitas yang dapat dilaksanakan. Garvin menyinggung lima aktivitas utama dalam sebuah organisasi pembelajar.
Pertama, organisasi menggunakan systematic problem solving dalam memecahkan masalah, termasuk dalam hal ini menggunakan statistik dan metode ilmiah, bukan sekedar perkiraan ketika mereka mendiagnosis suatu permasalahan.
Kedua, mendorong experimentation untuk menghasilkan ataupun melakukan pengujian atas pengetahuan baru yang dapat dilaksanakan baik melalui ongoing programs maupun program yang terpisah. Ongoing programs dimaksudkan untuk melakukan eksperimen sebagai salah satu upaya untuk melakukan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement).
Ketiga, learning from the past experience, di mana organisasi belajar untuk melakukan reviu atas keberhasilan dan kegagalannya dengan melakukan pembandingan dengan capaian organisasi di masa lalu. Proses pembelajaran ini harus dilakukan secara terbuka dan hasilnya juga harus dapat diakses oleh seluruh pegawai.
Keempat, tak hanya belajar dari pengalaman di masa lalu, organisasi juga harus bersedia melakukan learning from others, atau belajar dari organisasi lain.
Kelima, Garvin menyatakan bahwa agar pengetahuan tersebar secara cepat dan efisien ke seluruh anggota organisasi, maka pengetahun tersebut harus di-share, bukan disimpan oleh satu atau dua orang saja.
Implementasi di Indonesia
Dari kelima aktivitas tersebut, poin ketiga dan keempat pada prinsipnya sudah banyak dilakukan oleh pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) yang mulai dibangun berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 1999 sebenarnya sudah mengisyaratkan instansi pemerintah untuk melakukan dua pola pembelajaran sebagaimana yang disarankan oleh Garvin.
Dalam menyajikan laporan kinerja, instansi pemerintah tidak hanya diharapkan dapat membandingkan target dengan realisasi, tapi juga dengan capaian tahun-tahun sebelumnya serta dengan capaian pemda lain.
Sayangnya, terlepas dari semakin banyaknya pemda yang mendapatkan nilai A dalam evaluasi kinerja, pembelajaran sebagaimana yang diharapkan oleh Garvin perlu menjadi refleksi. Sudahkah pengukuran kinerja dilakukan secara dialogis dan melibatkan seluruh pegawai? Jika yang dilakukan hanya sebatas pemenuhan pelaporan, maka proses pembelajaran tidak akan pernah berjalan dan memberikan hasil sesuai harapan.
Dari sisi pembandingan dengan instansi lain, Garvin sempat menyebut tentang benchmarking atau comparative study. Dalam hal ini instansi pemerintah di Indonesia juga sudah melakukan. Lagi-lagi, perlu direfleksikan, sejauh mana proses pembelajaran berjalan? Sudahkah studi banding memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan?
Tentang hal ini Garvin menyindir, benchmarking ‘industrial tourism’. Benchmarking adalah suatu kegiatan yang dimulai dari identifikasi dan penelusuran best-practice instansi-instansi, lalu dilanjutkan dengan mempelajari praktik yang diterapkan dalam organisasi sendiri, kemudian melakukan kunjungan dan penggalian informasi secara menyeluruh.
Lalu, hasil dari benchmarking dianalisis untuk menghasilkan rekomendasi perbaikan sebelum akhirnya dapat diimplementasikan. Makanya, selain biaya dan waktu yang dibutuhkan cukup signifikan, keputusan untuk melakukan benchmarking perlu dipertimbangkan dengan matang.
Yang dimaksud learning from others, karakteristik ketiga dalam organisasi pembelajar, sebenarnya tidak terbatas pada proses pembelajaran dari organisasi lain, tapi juga stakeholders. Mendengarkan pendapat stakeholders akan menstimulasi proses pembelajaran.
Hal ini senada dengan saran Otto Scharmer, pengusung theory U, yang mensyaratkan kita untuk melakukan listening atau mendengar dari berbagai penjuru, dari diri sendiri, orang lain, dan dari diri kita di masa yang akan datang jika ingin menjadi pemimpin perubahan.
Epilog
Jika demikian, apa prasyarat agar proses pembelajaran dalam suatu organisasi dapat tumbuh subur? Pada paragraf awal dalam artikelnya, Garvin menyatakan bahwa organisasi pembelajar tidak lahir begitu saja, tanpa sebuah kesengajaan.
Organisasi pembelajar juga tidak muncul sebagaimana cendawan di musim hujan. Perlu upaya yang secara sengaja dirancang dan diimplementasikan secara terus menerus agar proses pembelajaran terus berlangsung sehingga akhirnya menjadi sebuah culture yang melekat pada organisasi.
Salah satu kata kunci dalam membangun organisasi pembelajar adalah keterbukaan manajemen terhadap kritik, bukan sebaliknya bersifat defensif. Tujunnya agar iklim dialogis yang menjadi basis untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi dapat tercipta.
Dalam hal ini, pegawai juga harus diberikan kesempatan untuk merefleksikan apa yang sudah mereka lakukan, baik dalam hal rutinitas aktivitas sehari-hari maupun terhadap hal-hal yang bersifat strategis.
Berani mencoba?
“Learning organizations cultivate the art of open, attentive listening. Managers must be open to criticism.” (David A Garvin)
Instansi pemerintah adalah instansi pembelajar. banyak inovasi dan hal baru yang terus dipelajari untuk meningkatkan sistem pelayanan kepada masyarakat termasuk menyampaikan laporan kinerjanya. Bukan hanya pada level organisasi….insan ASN harusnya pembelajar. Semuanya bisa terwujud dimulai dari pimpinan (tone of the top). jika masih ada instansi pemerintah/ASN yang bukan merupakan instansi/insan pembelajar, maka sia sialah keberadaanya.